Iman di Tengah Arus Digital
Gaya Hidup | 2025-12-16 19:42:33
Allah SWT berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. "(QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini terasa semakin relevan di zaman ketika informasi bergerak lebih cepat daripada nalar. Media sosial telah menjadi ruang baru bagi umat manusia untuk berbicara, menilai, dan membentuk opini. Ia memberi kemudahan, tetapi juga membawa ujian yang tidak ringan, terutama bagi seorang Muslim yang menjadikan iman sebagai kompas hidupnya.
Tidak dapat dipungkiri, ruang digital menawarkan banyak kebaikan. Dakwah dapat menjangkau lebih luas, ilmu mudah diakses, dan solidaritas kemanusiaan dapat tumbuh lintas batas. Banyak anak muda Muslim menemukan semangat beragama justru dari ruang digital. Dalam hal ini, teknologi menjadi wasilah yang bernilai.
Namun, di saat yang sama, ruang digital bukanlah ruang yang sepenuhnya bebas nilai. Ia bekerja dengan logika tertentu, mendorong apa yang ramai dan mengabaikan apa yang tenang. Tanpa disadari, cara berpikir dan cara bersikap kita perlahan dibentuk oleh apa yang sering kita lihat dan konsumsi. Maka di sinilah letak ujiannya, apakah kita mengikuti arus, atau menjaga arah.
Islam sejak awal mengajarkan bahwa kebebasan tidak pernah berdiri sendiri. Setiap kebebasan selalu terkait dengan pertanggungjawaban. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang dianggap berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Hadits ini bukan sekadar peringatan personal, tetapi juga isyarat tentang pentingnya kesadaran kolektif. Informasi yang kita sebarkan tidak berhenti pada diri kita. Ia membentuk opini, memengaruhi sikap, bahkan bisa mengarahkan cara pandang masyarakat. Karena itu, tabayyun bukan hanya adab individu, tetapi fondasi bagi kehidupan sosial yang sehat.
Dalam Islam, akhlak tidak lahir dari tren, tetapi dari keyakinan. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa lisan adalah cermin hati. Di era digital, media sosial menjadi perpanjangan lisan itu. Apa yang kita unggah mencerminkan nilai apa yang sedang kita hidupi. Ketika ruang digital dipenuhi amarah, celaan, dan prasangka, sesungguhnya yang sedang diuji bukan teknologi, tetapi arah berpikir umat.
Di sinilah seorang Muslim dituntut untuk tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi penjaga nilai. Bukan berarti menjauh dari ruang digital, melainkan hadir dengan kesadaran. Menggunakan media sosial bukan hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga untuk menjaga kebenaran, keadilan, dan martabat sesama.
Hasan al-Bashri pernah berkata, “Bukan banyaknya bicara yang membuat seseorang mulia, tetapi kualitas kata-katanya.” Kalimat ini seolah menegur budaya digital yang sering mengukur nilai dari viralitas. Dalam pandangan Islam, yang bernilai bukan yang paling ramai, tetapi yang paling benar dan membawa maslahat.
Bagi generasi muda Muslim, tantangan terbesar bukan pada kurangnya ruang berekspresi, tetapi pada kemampuan menjaga arah di tengah kebebasan. Ketika semua orang bisa bicara, maka yang membedakan adalah siapa yang tetap berpegang pada nilai. Ketika opini bertebaran, maka yang penting adalah keberanian untuk tidak ikut larut dalam arus yang menjauhkan dari kebenaran.
Pada akhirnya, ruang digital hanyalah alat. Ia bisa menjadi sarana kebaikan atau sebaliknya. Seorang Muslim tidak dituntut untuk memusuhi zaman, tetapi untuk menghadirkan nilai di dalamnya. Menjaga akhlak di ruang digital berarti menjaga peradaban, meski dimulai dari hal-hal yang tampak kecil: memilih apa yang dibagikan, bagaimana berbicara, dan untuk tujuan apa suara digunakan.
Karena iman bukan hanya diuji di ruang ibadah, tetapi juga di ruang publik termasuk ruang digital dimana tempat nilai, arah, dan kesadaran saling berhadapan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
