Saat Anjing Menjadi Tersangka: Catatan Tentang Rabies dan Salah Kaprah Masyarakat
Eduaksi | 2025-12-17 10:51:06
goddreamli on Pinterest" />
Coba bayangkan, di sebuah desa kecil, seekor anjing peliharaan yang biasanya jinak tiba-tiba digiring ke pos kesehatan. Pemiliknya panik, tetangga berbisik-bisik, dan anjing itu dijadikan tersangka utama penyebar rabies. Rabies, penyakit yang sering disebut sebagai penyakit anjing gila, memang menakutkan. Namun, apakah anjing selalu bersalah?
Rabies adalah penyakit virus yang menyerang sistem saraf manusia dan hewan. Virus ini biasanya ditularkan melalui air liur hewan yang terinfeksi, seperti gigitan atau cakaran. Gejalanya dimulai dengan demam, sakit kepala, dan kelelahan, lalu berkembang menjadi kejang, halusinasi, dan akhirnya koma bahkan kematian jika tidak diobati. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rabies menyebabkan sekitar 59.000 kematian per tahun di seluruh dunia, sebagian besar di Asia dan Afrika.
Yang menarik, rabies tidak hanya dari anjing. Hewan liar seperti kelelawar, rakun, atau anjing hutan juga bisa berperan sebagai pembawa virus. Bahkan, di beberapa negara, rabies dari kelelawar lebih umum daripada dari anjing. Namun di Indonesia, anjing menjadi sumber utama karena populasi anjing liar yang tinggi dan vaksinasi yang belum merata.
Masyarakat sering kali salah paham tentang rabies. Salah satu mitos terbesar adalah "anjing gila" yaitu anjing yang tiba-tiba agresif dan menggigit tanpa alasan. Padahal, rabies pada anjing bisa muncul dalam dua bentuk: furious (anjing menjadi agresif) atau paralytic (anjing lemah dan lumpuh). Namun tidak semua anjing agresif berarti rabies; bisa saja karena stres, mengalami cedera, atau pelatihan yang buruk.
Mitos lain: rabies hanya menular dari anjing. Faktanya, manusia bisa terkena rabies dari hewan manapun yang terinfeksi, termasuk kucing, monyet, atau bahkan hewan peliharaan yang divaksinasi tapi belum sempurna. Ada juga yang percaya bahwa rabies bisa sembuh sendiri tanpa vaksin. Pemikiran ini salah besar! Tanpa perawatan cepat, rabies hampir selalu berakibat fatal. Vaksin post-exposure (setelah terpapar) bisa menyelamatkan nyawa jika diberikan tepat waktu.
Di Indonesia, kesalahpahaman ini sering muncul karena kurangnya edukasi. Banyak orang masih membunuh anjing liar secara brutal saat ada kasus rabies, padahal hal tersebut tidak efektif. Sebaliknya, edukasi masyarakat, program vaksinasi massal dan pengendalian populasi hewan lebih penting untuk dilakukan. Menurut Hasanov et al. (2018), “Edukasi publik memiliki peran yang sangat penting dalam pengendalian rabies, termasuk mendorong kepemilikan hewan yang bertanggung jawab dan memastikan perilaku mencari layanan kesehatan yang tepat.”
Rabies bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga sosial. Di masyarakat, anjing sering dijadikan kambing hitam, padahal manusialah yang bertanggung jawab atas penyebarannya melalui kurangnya vaksinasi. Bayangkan, jika kita semua lebih sadar akan pentingnya vaksinasi, kita bisa mencegah tragedi seperti anak-anak yang kehilangan nyawa karena gigitan anjing.
Solusinya sederhana: vaksinasi rutin untuk hewan peliharaan, hindari kontak dengan hewan liar, dan segera cuci luka jika tergigit. Pemerintah perlu lebih gencar kampanye edukasi, seperti yang dilakukan di beberapa daerah dengan konsep One Health yaitu pendekatan terintegrasi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Daftar Pustaka:
- Hasanov, E., Zeynalova, S., et al. (2018). Assesing the Impact of Public Education on a Preventable Zoonotic Disease: Rabies. Epidemiology and Infection, 146(2), 227-235. Diakses dari https://doi.org/10.1017/S0950268817002850
- World Health Organization (WHO). (2023). Rabies Fact Sheet. Diakses dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
