Ampel Surabaya dengan Bahasa-bahasa yang Mengiringi Peziarah
Kultura | 2025-12-16 10:46:52
Di pelataran Ampel yang selalu ramai, sebuah papan kusam berdiri tanpa banyak suara. Pada permukaannya, bertumpuk kata–kata dalam beragam bahasa: Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Mandarin, dan Jepang. Setiap huruf seolah menjadi jembatan, menuntun siapa pun yang melintas untuk memahami satu hal yang sama—bahwa sebelum memasuki ruang yang lebih sakral, ada adab yang perlu dijaga. Di tengah hiruk-pikuk doa dan langkah kaki, papan sederhana itu menjadi pengingat sunyi: bahwa keberagaman tidak hanya terlihat pada wajah-wajah yang datang, tetapi juga pada bahasa-bahasa yang mengiringi perjalanan mereka mendekat kepada yang Ilahi.
Bagi sebagian orang, papan itu mungkin hanya instruksi biasa tentang aturan berpakaian. Namun bagi saya, ia berdiri sebagai penanda yang memuat lebih dari sekadar kata. Papan itu merekam pertemuan panjang antara budaya, keimanan, dan sejarah migrasi ke daerah Surabaya. Memuat banyak bahasa berarti memuat banyak kemungkinan pembaca. Seolah Ampel berkata bahwa siapa pun yang datang—entah dari masyarakat lokal seperti Surabaya, hingga manca negara—tetap berada dalam lingkaran pesan yang sama: bahwa kesopanan adalah bahasa yang tak memerlukan kesepahaman selain niat yang baik.
Di balik tampilannya yang mulai pudar, papan itu membawa konotasi yang menarik. Ia menunjukkan bahwa Ampel bukan hanya ruang ibadah, melainkan simpul budaya yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Bahasa-bahasa itu bekerja sebagai representasi dari keramaian manusia yang datang untuk berziarah. Di titik ini, saya teringat pada pemikiran Roland Barthes yang melihat tanda sebagai sesuatu yang bergerak dari makna sebenarnya menuju makna tambahan atau makna kiasan. Pada level permukaan, papan itu hanyalah peringatan. Namun pada lapisan yang lebih dalam, ia berbicara tentang identitas kolektif dan cara suatu masyarakat menjaga kesakralan tempatnya.
Bahasa yang banyak pada satu papan juga menghadirkan narasi halus tentang keterbukaan. Ampel, yang berakar pada sejarah penyebaran Islam di pesisir Jawa, telah lama menjadi tempat bertemunya peziarah dari berbagai latar. Keberagaman bahasa pada papan itu bukan hanya upaya fungsional untuk dipahami, tetapi menjadi simbol bahwa sakralitas di sini bersanding dengan keragaman. Alih-alih menutup diri, Ampel justru menyambut dengan cara yang paling sederhana: melalui kata-kata yang dapat dimengerti oleh lebih banyak orang.
Yang menarik, keberadaan papan itu juga menjadi bentuk kontrol sosial yang lembut. Ia tidak membentak, tidak memaksa, tidak menakut-nakuti. Ia hanya menggantung di dinding, membiarkan setiap peziarah menginterpretasikan pesan kesederhanaannya: berpakaianlah dengan pantas, hormatilah ruang yang sedang kamu masuki. Dalam kepadatan Ampel, pesan sesederhana itu justru menemukan tempatnya—dijaga oleh bahasa, diperkuat oleh kebiasaan, dan dipahami secara kolektif.
Akhirnya, papan kusam itu mengingatkan saya bahwa bahasa tidak pernah berdiri sendiri. Setiap kata adalah jejak hubungan sosial, pertemuan budaya, dan kebutuhan manusia untuk dipahami. Di Ampel, bahasa-bahasa itu bukan hanya alat komunikasi, melainkan bagian dari perjalanan spiritual para peziarah. Mereka datang dengan doa, dengan harapan, dan tanpa sadar, juga diiringi oleh kata-kata yang tertera di papan itu—kata-kata yang menuntun, menjaga, dan menyapa mereka, tanpa pernah meninggalkan suara.
Di tengah arus manusia yang datang dan pergi, papan multibahasa itu akhirnya terlihat bukan hanya sebagai instruksi, tetapi sebagai cermin kecil dari cara wilayah Ampel membangun keteraturannya sendiri. Ia adalah pengingat bahwa ruang suci tidak pernah berdiri tanpa aturan, dan aturan itu selalu membutuhkan medium untuk menjangkaunya—dalam hal ini, bahasa. Dari papan kusam itulah wilayah Ampel menata diri, menjaga harmoni, dan merawat adab para peziarah yang datang membawa harapan dari berbagai penjuru.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
