Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwiandra Maura Yatisza Putri

Pesantren di Panggung Viral: Menjaga Ruh Tradisi di Tengah Layar Digital

Agama | 2025-12-14 19:39:09
https://sulteng.kemenag.go.id

Fenomena budaya pesantren yang tersebar luas di media sosial baru-baru ini menggemparkan internet. Dunia pesantren telah masuk ke ruang digital dengan lebih luas dari sebelumnya, berkat video yang menampilkan santri yang mengenakan pakaian sarung dengan gaya modern, konten komedi khas pondok, dan cerita sehari-hari di asrama yang dikemas dengan estetika. Di satu sisi, hal ini berfungsi sebagai penghubung antara dunia tradisional dan kontemporer. Sebaliknya, muncul pertanyaan mendasar tentang viralitas budaya pesantren: apakah itu masih mencerminkan nilai-nilai aslinya atau hanya menjadi barang digital untuk mendapatkan perhatian dan popularitas?

Pesantren sebagai Ruang Budaya dan Nilai

Sekarang ini, pesantren telah memperluas fungsinya tidak hanya sebagai lembaga pendidikan agama. Mereka juga berfungsi sebagai pusat sosio-kultural yang mendukung karakteristik unik bangsa Indonesia sambil tetap menghormati kesederhanaan, disiplin, dan kebersamaan. Kehidupan seorang santri dibangun di atas nilai-nilai moral ikhlas dan ukhuwah yang tertanam dalam karakter seseorang saat mereka mengamalkannya, bukan hanya sekadar dipelajari. Dalam ranah sosio-kultural, pesantren berfungsi untuk melestarikan budaya bangsa sambil juga berperan sebagai benteng moral di tengah kemajuan globalisasi yang tak henti-hentinya.

Di era TikTok dan Instagram, segala sesuatu yang dianggap unik dan autentik dengan cepat berubah menjadi tren. Budaya pesantren yang dulu kerap dilihat sebagai sesuatu yang konservatif kini justru menjadi sumber inspirasi estetik baru. Kita melihat santri tampil modis dengan sarung, membuat konten parodi kehidupan pondok, hingga menghadirkan sisi humor dari keseharian di pesantren. Fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk ekspresi budaya baru di mana santri berusaha menegosiasikan identitas mereka di ruang publik modern.

Namun di balik tren tersebut, muncul kekhawatiran tentang terjadinya komodifikasi budaya. Nilai-nilai luhur pesantren seperti kesederhanaan dan keikhlasan berisiko direduksi menjadi sekadar tampilan visual yang menarik penonton, tanpa makna spiritual yang mendalam. Budaya yang seharusnya menjadi sarana pendidikan moral justru terancam berubah menjadi hiburan semata. Kini, pesantren menghadapi dilema besar: bagaimana menjaga keaslian nilai-nilai tradisional sambil beradaptasi dengan tuntutan modernitas. Di tengah situasi di mana kamera dan algoritma mulai mengambil peran seperti “kyai baru” dalam menentukan siapa yang populer, kesadaran kritis menjadi sangat penting agar pesantren tidak kehilangan jati dirinya.

Munculnya tokoh-tokoh muda yang mempopulerkan kehidupan pesantren melalui media sosial sering dikaitkan dengan budaya pesantren yang menjadi viral saat ini. Mereka berhasil menarik jutaan orang dan bahkan menjadikan pesantren sebagai gaya hidup baru. Dilihat dari sudut pandang ekonomi budaya, fenomena ini menarik untuk diperiksa dari sudut pandang ekonomi budaya: pesantren yang sebelumnya dianggap tradisional sekarang memiliki nilai ekonomi dan daya tarik pasar.

Antara Spiritualitas dan Komersialisasi

Namun, orientasi dakwah dapat berubah menjadi orientasi konsumsi ketika pesantren dianggap sebagai merek atau citra. Spiritualitas menjadi formatif, dan arti "ikhlas" menjadi tidak jelas ketika diukur dengan perspektif dan tingkat keterlibatan. Oleh karena itu, perlu ada etika digital untuk pesantren yang mengatur apa yang layak ditampilkan dan bagaimana menjaga kesakralan nilai di pasar algoritma.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image