Mengapa Manusia Purba tidak Mengenal Warna Biru?
Sejarah | 2025-12-14 13:00:51
Jika Anda melihat ke langit atau samudra, warna biru adalah hal yang paling dominan. Namun, para sejarawan dan ahli linguistik menemukan fakta mengejutkan: bahasa-bahasa kuno seperti Yunani Kuno, Tiongkok, Jepang, hingga Ibrani tidak memiliki kata untuk warna "biru". Bagi mereka, warna biru seolah-olah tidak eksis di dunia ini.
Bukti dari Karya Sastra Klasik
Rahasia ini pertama kali terungkap ketika William Gladstone, seorang sarjana yang kemudian menjadi Perdana Menteri Inggris, membaca kitab Odyssey karya Homer. Ia menyadari bahwa Homer mendeskripsikan warna laut dengan sebutan "merah anggur yang gelap" (wine-dark sea), bukan biru.
Homer menggunakan istilah untuk hitam, putih, merah, dan sesekali hijau atau kuning, tetapi tidak pernah sekalipun menyebutkan warna biru. Hal yang sama ditemukan dalam manuskrip kuno di berbagai belahan dunia lainnya.
Mengapa Ini Terjadi?
Secara biologis, mata manusia purba sebenarnya sama dengan kita sekarang. Mereka bisa melihat gelombang cahaya biru, tetapi otak mereka belum merasa perlu untuk memberi nama pada warna tersebut. Mengapa?
• Kelangkaan di Alam: Di alam liar, warna biru sangat jarang ditemukan pada benda padat. Tidak ada hewan biru (yang bisa dimakan), buah berwarna biru, atau bunga biru yang umum.
• Langit Bukanlah "Benda": Meskipun langit berwarna biru, manusia purba tidak menganggap langit sebagai objek yang memiliki warna, melainkan sebagai ruang atau suasana.
• Prioritas Warna: Manusia biasanya menciptakan nama warna berdasarkan kegunaannya. Merah (darah dan bahaya) serta Hijau/Kuning (tumbuhan dan makanan) adalah yang pertama diberi nama karena penting untuk kelangsungan hidup.
Bangsa Mesir: Sang Pelopor Biru
Bangsa Mesir Kuno adalah budaya pertama yang memiliki kata untuk warna biru. Mengapa? Karena mereka adalah bangsa pertama yang mampu memproduksi pewarna biru secara sintetis melalui proses kimiawi. Begitu mereka bisa "membuat" dan "memiliki" warna biru pada perhiasan dan cat mereka, barulah mereka merasa perlu memberikan nama pada warna tersebut.
Kisah tentang warna biru ini mengajarkan kita bahwa cara kita melihat dunia sangat dipengaruhi oleh bahasa yang kita gunakan. Jika kita tidak memiliki kata untuk sesuatu, otak kita cenderung mengabaikannya. Dunia kita menjadi lebih berwarna seiring dengan berkembangnya bahasa dan teknologi kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
