Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andreansyah Putra Nasution

Bahaya yang tak Kita Dengar: Kekosongan Hukum dalam Era Always Listening

Eduaksi | 2025-12-14 12:53:13
The Power of Listening - Why Being Silent and Truly Listening Can Transform Your Relationships.pinterest by VHTC

Siang itu, saya duduk di ruang tamu pintu jendela terbuka sedikit, sinar matahari menyusup ke sudut sofa. Di meja kopi ada ponsel, di sudut rak berdiri speaker pintar, dan di pojok ruangan sebuah smart TV siap standby. Semuanya tampak biasa, tak mencolok. Namun, dalam kesunyian itu, jangan salah: bisa jadi kita sedang diawasi dalam arti paling halus dan privat. Dan fenomena ini “pengawasan diam-diam” oleh perangkat pintar adalah salah satu tantangan hukum paling nyata dan paling jarang dibahas di Indonesia hari ini.

Dengan tingkat penetrasi internet dan perangkat pintar yang terus membesar, ancaman terhadap privasi kita bukan lagi fiksi. Namun sayangnya, regulasi kita masih berjalan tertatih-tatih.

Data: Dari Internet ke Rumah Pintar Kita Semakin Terhubung

Beberapa fakta terbaru menunjukkan betapa dalamnya kita telah tenggelam dalam ekosistem digital.Hingga tahun 2025, jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 229,4 juta jiwa.Sebagian besar dari mereka mengakses internet melalui smartphone. Secara global, pada 2024 tercatat terdapat sekitar 18,8 miliar perangkat yang terhubung Internet of Things (IoT) perangkat pintar seperti speaker, kamera, smart-TV, sensor rumah naik dari sekitar 10 miliar di 2019.

Sejalan dengan itu, survei global menunjukkan bahwa banyak pengguna rumah pintar khawatir tentang privasi dan keamanan: 52% pengguna smart-home mengkhawatirkan potensi kontrol tidak sah, sementara hampir setengah pengguna perangkat wearable atau pelacak kebugaran menyatakan kekhawatiran terhadap privasi data.

Dengan data-data ini, jelas bahwa teknologi pintar bukan lagi barang futuristik ia sudah ada di ruang tamu kita, di saku kita, dan dalam rutinitas sehari-hari. Namun, regulasi hukum kita belum sepenuhnya siap mengawal segala potensi risiko yang muncul.

Mengapa “Data Mikro Perilaku” Itu Berbahaya

Kebanyakan regulasi dan wacana publik soal “privasi” masih fokus pada data identitas seperti nama, alamat, NIK, data keuangan. Padahal, dalam ekosistem perangkat pintar modern, yang paling banyak direkam seringkali bukan data identitas, melainkan data perilaku mikro:Pola suara intonasi, tekanan, kecepatan bicara.Kebiasaan sehari-hari kapan kita bangun, durasi tidur, pola penggunaan TV, frekuensi berbicara.Gaya hidup preferensi tontonan, musik, aktivitas rumah, hingga interaksi dengan orang lain di dalam rumah.

Menurut penelitian Kesehatan Mental Berbasis Sensor Ponsel yang dipublikasikan di National Institutes of Health (NIH), sensor-sensor di perangkat mobile/smart-home bisa mengidentifikasi atribut sensitif: kondisi kesehatan, perilaku, hingga kerentanan psikologis.

Dengan data tersebut, pembuat algoritma bisa membentuk profil psikografis yang jauh lebih dalam daripada sekadar nama dan alamat. Bahkan, sistem bisa memprediksi suasana hati, stres, kebiasaan belanja, preferensi politik terkadang sebelum kita sendiri menyadarinya.Ketika data mikro perilaku disalahgunakan melalui iklan yang hiper-target, manipulasi opini publik, atau penargetan berdasarkan kerentanan maka privasi kita tidak hanya “dilacak”, tetapi “direkayasa”.

Kenapa Hukum Kita Belum Siap dan Kenapa Ini Masalah Serius

Indonesia sudah memiliki regulasi untuk melindungi data pribadi. Namun, regulasi ini: Berfokus pada data identitas, administratif, keuangan, atau data besar (big data, transaksi).Jarang menjangkau data otomatis yang dikumpulkan secara diam-diam oleh perangkat di rumah.

Mengandalkan konsep persetujuan (consent) melalui “syarat layanan (terms of service)” yang dalam praktiknya sulit disebut sebagai persetujuan sadar karena pengguna sering merasa tidak punya pilihan selain menyetujui agar bisa menggunakan alat.

Dengan demikian, banyak tindakan pengumpulan data mikro terjadi secara legal, tanpa transparansi, dan tanpa kontrol publik. Padahal di banyak negara, masalah ini sudah menjadi isu regulasi serius. Perangkat dengan fitur “always listening” yang mendengarkan mikrofon sepanjang waktu mulai diatur ketat, dengan kewajiban bagi produsen untuk memberi indikator visual ketika perangkat aktif, atau membatasi data yang boleh dikumpulkan.

Di Indonesia, kita belum sampai di sana. Dan setiap hari, semakin banyak perangkat pintar memasuki rumah masyarakat tanpa kontrol hukum memadai.

Nilai Ekonomi dan Risiko Keamanan ,Keduanya Tinggi

Perangkat pintar dan IoT bukan sekadar tren gaya hidup mereka adalah bagian dari ekonomi global yang sangat besar. Dengan miliaran perangkat IoT terhubung, data yang dihasilkan setiap detik adalah harta karun bagi perusahaan teknologi: untuk iklan, analitik perilaku, prediksi, dan layanan berbayar.

Namun, data itu juga rentan. Survei global menunjukkan bahwa rumah dengan jumlah perangkat banyak memiliki risiko gangguan keamanan dan pelanggaran privasi lebih besar.

Tambahkan pula fakta bahwa banyak perangkat IoT menggunakan protokol yang tidak aman, kerap telat mendapat pembaruan keamanan, atau bahkan default password yang mudah ditebak semua itu meningkatkan potensi penyalahgunaan. Dengan demikian, tanpa regulasi dan kontrol yang tepat, pengumpulan data mikro bisa berubah menjadi “alat pengawasan massal”, dibungkus dengan janji-janji kenyamanan.

Narasi Nyata: Saat Rumah Kita Menjadi Laboratorium Tanpa Izin

Bayangkan sebuah keluarga di Jakarta suami istri dengan dua anak, membeli speaker pintar untuk membantu hal sehari-hari: memutar musik, mengatur lampu, memberi pengingat jadwal. Anak-anak menonton kartun di smart TV. Ibu menyetel timer untuk memasak lewat aplikasi di ponsel. Semua tampak normal, bahkan modern.

Namun, tanpa mereka sadari:Mikrofon speaker merekam suara di ruang tamu setiap hari.Smart TV menyimpan riwayat tontonan, jam nonton, bahkan reaksi Anda terhadap adegan tertentu (tertawa, terkejut).Ponsel mengikuti pola tidur, kebiasaan bangun, dan kapan Anda biasanya membuka aplikasi media sosial.

Perangkat-perangkat itu bersama membentuk data profil perilaku sangat mendetail data yang sangat berharga bagi perusahaan iklan, tetapi berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Jika nanti terjadi kebocoran data seperti identitas, kita sudah sering dengar tapi jika data perilaku keluar? Siapa yang peduli? Siapa yang akan melapor?Itulah bahaya senyap yang “tak kita dengar”.

Untuk menghadapi realitas ini, hukum dan kebijakan di Indonesia harus dirancang ulang dari paradigma “menghukum setelah terjadi pelanggaran” ke paradigma “melindungi sebelum potensi bahaya muncul.” Beberapa langkah yang mendesak. Artinya: perlindungan hukum terhadap pengumpulan, penyimpanan, dan distribusi data ini.

Kewajiban transparansi dan indikator visual pada perangkat dengan fitur “listening”.

Misalnya: lampu kecil yang menyala saat mikrofon menyala, notifikasi penggunaan data, akses kontrol yang jelas.Produsen tidak boleh hanya menyerahkan penyataan dalam “syarat layanan” ada tanggung jawab moral dan legal terhadap data pengguna. Pengguna perlu memahami bahwa teknologi pintar bukan hanya kemudahan, melainkan juga tanggung jawab; bahwa “setuju” bukan selalu sinonim dengan “aman”. Tidak semua data harus disimpan selamanya. Data lama yang tidak relevan harus dihapus mirip regulasi di Uni Eropa atau negara dengan regulasi ketat.

Waktunya Hukum Mendengar dengan Mata Terbuka

Kita tidak bisa lagi menolak kemajuan teknologi dan memang teknologi telah memberi kenyamanan, efisiensi, dan akses yang luar biasa. Namun, setiap kemajuan membawa konsekuensi, terutama terhadap hak fundamental: privasi dan kebebasan pribadi.

Fenomena “always listening” dan pengumpulan data mikro adalah ancaman nyata terhadap privasi manusia modern: halus, diam-diam, dan sulit dideteksi. Dan kritik paling mendasar: hukum kita belum menyentuh ruang ini secara serius. Jika kita tidak mulai hari ini mendesak regulasi, membangun kesadaran publik, dan menata ulang kerangka hukum maka esok hari, rumah kita sendiri dapat menjadi laboratorium data tanpa izin, dan kita warganegara digital akan menjadi objek pengawasan yang tak kita sadari.

Hukum bukan hanya soal menghukum pelanggaran. Hukum seharusnya menjadi perisai bagi yang rentan terutama terhadap ancaman yang tak bersuara. Saatnya kita mendengar bahaya bahkan ketika ia tidak bersuara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image