Cerita Klasik Seiris Tempe
Gaya Hidup | 2022-03-11 19:24:37Pagi tadi saya sarapan dengan "menu pandemi". Ini menu yang murah, tetapi nilai gizinya memadai. Murah jadi pilihan utama.
Untuk bertahan, harus banyak siasat. Itu tadi, musti pandai-pandai memilih "menu pandemi". Salah satu menu itu adalah tempe. Itupun tempe rebus, karena tempe goreng juga lebih mahal gara-gara langka minyak goreng. Lain dari pada itu, belakangan ini gorengan musti dikurangi karena khawatir mempengaruhi tenggorokan. Banyak gorengan tenggorokan bisa gatal, dan ini sering dikaitkan dengan omicron.
Jadi, mengkonsumsi tempe rebus boleh dibilang "kebetulan". Maksudnya, kebetulan lagi pandemi, kebetulan penghasilan berkurang, kebetulan ada makanan murah tapi bergizi, kebetulan minyak goreng langka, maka jadilah menu andalan.
Dalam sejarahnya, orang mengkonsumsi tempe juga kebetulan kok. Sejarawan Onghokham pada awal tahun 2000 pernah menulis artikel “Tempe, Sumbangan Jawa untuk Dunia”. Ia menulis, pada 1814 jumlah penduduk Jawa sekitar 4,5 juta jiwa. Ketika itu, menu makanan orang Jawa didominasi pangan hewani berbasis pekarangan. Namun ada periode tanam paksa (1830-1870) yang mewajibkan petani menjadi kuli kontrak pada masa itu. Akibatnya kesempatan petani untuk berburu, beternak, atau memancing jadi berkurang. Pasokan daging menyusut. Kebetulan, mulai dikenallah tempe. Secara tidak langsung, tanam paksa membuat tempe semakin penting sebagai asupan makanan sehat.
Menu pandemi pagi itu agak lain dari biasanya. Setelah diteliti seksama, ternyata ukurannya berubah, lebih kecil dan lebih tipis. "Harganya sama," kata istri yang punya langganan dekat rumah. "Tempe mentah lagi mahal".
Mahal? Ah, ini persoalan klasik. Benar juga, harga kedelai impor lagi naik. Dari tahun ke tahun persoalan sama. Tahun ini, maupun tahun 1990 an, malah sebelumnya, "kebetulan" pemicu harga tempe sama: kedele impor lagi mahal.
Kenaikan harga kedelai tersebut bepengaruh terhadap harga tempe lokal karena perajin tempe memilih bahan baku impor. Kementerian Pertanian mencatat sekitar 86,4% kebutuhan kedelai berasal dari impor.
Volume impor kedelai 2021 mencapai 2,49 juta ton, atau naik 0,58% dibandingkan tahun sebelumnya. Amerika Serikat menjadi pemasok utama kedelai impor dengan nilai impor mencapai US$1,29 miliar atau Rp 18,32 triliun. Volume impor dari Amerika Serikat mencapai 2,15 juta ton. Pada 2020, BPS mencatat impor kedelai sebanyak 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar.
Kenapa impor? Kebetulan alasannya sama dengan tahun-tahun sebelumnya: produksi dalam negeri rendah. Tahun 2010 produksi kedelai nasional 907.000 ton, dan cenderung turun dalam satu dekade, yakni hanya 424.200 ton pada 2019. Penurunan ini disebabkan luas panen yang juga menyusut dari 660.800 ha pada 2010 menjadi 285.300 ha pada 2019.
Lagi pula perajin tempe memang lebih suka memakai kedelai impor. Kata mereka, ukuran kedelai lokal tidak seragam dan kurang bersih, karena kulit ari kedelai lokal sulit terkupas. Waktu jadi tempe, pengukusannya akan lebih lama karena lebih keras.
Bilamana membaca persoalan di atas, tampaknya masalah tempe ini merupakan siklus kepasrahan. Ada saat pengkonsumsi tempe mengurangi menu pandemi ini karena mahal. Pasrah saja. Kepasrahan yang berulang.
Lho, kemana negara? Jangan banyak berharap, kebijakan memang tak berpihak kepada kaum tempe. Padahal, tempe ini penyelamat. Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, banyak perajin tempe yang justru berjaya selama pandemi korona. Misalnya, pengrajin tempe di Nusa Tenggara Barat, di mana permintaan mereka naik 10% sampai 50%. Hal ini terkait dengan melemahnya daya beli, sehingga orang lebih pilih mengkonsumsi tahu tempe, ketimbang lauk jenis lain.
Memang tidak tinggi konsumsi tempe, tetapi rakyat membutuhkannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan rata-rata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,139 kg tempe dalam sepekan. Menurut Statista, konsumsi kedelai per kapita Indonesia 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85% dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg. Namun konsumsi diperkirakan meningkat mulai 2020 hingga 2029.
Dalam Outlook Kedelai 2020, Kementerian Pertanian menyebutkan, peningkatan konsumsi kedelai didorong turunnya daya beli masyarakat. Resesi ekonomi menyebabkan kemampuan masyarakat membeli protein hewani menurun. Alhasil tempe dan tahu adalah alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein.
Maka dari itu, kaum tempe yang "kebetulan" jadi korban pandemi, terima saja siklus kepasrahan ini. Kasihan para pemimpin yang sedang fokus menangani omicron. Kaum tempe tak perlu teriak-teriak, toh tempe bukan prioritas elite. Kita syukuri saja walau makan tempe rebus dengan ukuran lebih kecil dan lebih tipis. Sampai kapan? Sampai harga internasional turun lagi. Tetapi jangan kaget, tahun depan siklus kepasrahan akan terulang. Selalu begitu cerita seiris tempe. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.