Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nizar mutiara

Ketika Hubungan Emosional Beralih ke Kecerdasan Buatan

Teknologi | 2025-12-12 00:19:25
Ilustrasi Remaja Kecanduan AI (sumber gambar: FREEPIK)

Secara kasat mata, kehidupan di zaman modern ini tampak begitu ramai dengan grup Whatsapp yang selalu aktif berdering, notifikasi media sosial yang tak pernah berhenti dari pagi hingga malam, serta kemudahan untuk melakukan rapat secara virtual atau video call tanpa batas waktu dan jarak. Namun, ironisnya masih banyak orang merasa semakin kesepian dan sulit menemukan ruang yang benar-benar aman untuk menuangkan perasaannya secara jujur tanpa khawatir dihakimi atau disalahpahami. Sebuah penelitian dari Universitas Tarumanagara tahun 2024 yang melibatkan 237 responden dewasa secara spesifik menggunakan UCLA Loneliness Scale version 3 untuk mengukur tingkat kesepian dan Chatbots as Social Companion Survey untuk menilai persepsi terhadap AI chatbot menemukan hubungan positif yang sangat kuat, artinya semakin tinggi skor kesepian seseorang maka semakin positif pula pandangan mereka terhadap chatbot AI sebagai teman bicara yang bisa diandalkan sehari-hari.

Di tengah kehampaan tersebut, kecerdasan buatan muncul sebagai solusi dalam bentuk chatbot seperti ChatGPT dan asisten virtual seperti Siri dan Google Assistant yang selalu siaga 24 jam tanpa jeda, berbeda jauh dengan manusia yang sering kali merasa lelah setelah mendengarkan curhatan panjang, sibuk dengan rutinitas sendiri, atau tanpa sengaja memberikan penghakiman yang membuat pembicara merasa tidak nyaman, AI justru menawarkan respons yang cepat dalam hitungan detik dan bebas dari emosi pribadi sehingga fokus mendengarkan. Hal ini dibuktikan dari studi fenomenologi kualitatif pada Generasi Z di Universitas Diponegoro secara mendalam mewawancarai mahasiswa yang mengaku menggunakan AI sebagai “pelampiasan semosi” ketika tidak memiliki teman dekat yang tersedia atau merasa tidak bisa sepenuhnya dipercaya untuk berbagi cerita pribadi yang bersifat sensitif.

Alasan utama mengapa begitu banyak orang merasa jauh lebih aman dan nyaman berkomunikasi dengan AI adalah karena tidak ada sedikit pun rasa takut akan penghakiman yang akan didapat, penyebaran gosip ke orang lain, atau penilaian negatif yang sering menyertai percakapan dengan sesama manusia, sehingga pengguna berani mengungkapkan rahasia yang dimilikinya. Penelitian dari University of Kansas tahun 2025 secara eksperimental membandingkan preferensi responden saat membahasa isu kesehatan yang memalukan seperti gangguan kecemasan, masalah seksual, atau kecanduan, dan menemukan bahwa 68% peserta lebih memilih chatbot AI daripada dokter atau terapis manusia karena merasa lebih anonim tanpa tatapan mata atau ekspresi wajah yang bisa membuat mereka malu.

Selain itu, AI mampu merespons dengan pola yang sangat terstruktur, tenang, dan sepenuhnya fokus pada masalah pengguna tanpa pernah menyisipkan drama pribadi, keluhan sendiri, atau ego yang mengalihkan perhatian dari topik utama, misalnya ketika pengguna curhat “Aku lagi patah hati nih”, AI akan memberikan jawaban langsung dengan empati dan saran praktis tanpa balasan seperti “Aku juga lagi banyak masalah” yang sering membuat pembicara merasa diabaikan.

Dari perspektif positif yang tak terbantahkan, chatbot AI berfungsi sebagai penolong awal yang sangat berharga bagi individu yang sedang menghadapi kesulitan mengakses layanan psikolog karena biaya, jarak yang jauh, atau stigma sosial di lingkungan sekitar, serta bagi mereka yang tidak memiliki pertemanan atau keluarga yang benar-benar suportif. Namun di sisi lain ada tanda bahaya serius yang tidak boleh diabaikan di mana penelitian dari arXiv tahun 2025 secara longitudinal melacak 1.200 pengguna selama 6 bulan dan menemukan bahwa pola penggunaan chatbot yang berlebihan lebih dari 3 jam per hari justru meningkatkan ketergantungan secara emosional sebesar 42% dan membuat jarak psikologis dengan manusia nyata semakin lebar hingga 31% karena menghindari peningkatan cara berkomunikasi yang efektif seperti menyelesaikan konflik, menerima perbedaan pendapat, dan menghadapi ketidaksempurnaan orang lain, sehingga jika seorang terus-menerus memilih kembali ke layar ponsel daripada berinteraksi di dunia nyata, maka kemampuan sosial dan empati antarmanusia bisa mengalami kemunduran bertahap yang berpotensi merusak kualitas hidup jangka panjang.

Mungkin sudah tiba waktunya bagi kita semua untuk bijak menggunakan AI sebagai jembatan perubahan yang membantu membuka pintu curhatan ke dunia nyata yang penuh warna emosi manusiawi, sehingga kesepian digital yang semula terasa seperti beban berat bisa bertransformasi menjadi keterhubungan yang nyata dan jauh lebih kaya, bermakna, dan memuaskan bagi kehidupan individu maupun komunitas secara keseluruhan. Akhirnya, keputusan besar ini sepenuhnya berada di tangan kita masing-masing apakah algoritma pintar akan menggantikan sepenuhnya peran sahabat dan keluarga, ataukah justru menjadi pendorong yang cerdas untuk membantu kita menemukan kembali arti kebersamaan sejati dalam bentuk lebih matang dan berkelanjutan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image