Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shofia Latifah

Gen Z dalam Jerat Hustle Culture: Krisis Kesehatan Mental di Usia Produktif

Gaya Hidup | 2025-12-11 15:48:51

Di tengah optimisme Indonesia Emas 2045, muncul ancaman tersembunyi yang mengintai 70 juta Gen Z Indonesia. Fenomena Hustle Culture yang menormalisasi kerja tanpa henti kini bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan menjadi ancaman krisis kesehatan publik yang membutuhkan perhatian serius.

Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan 20,31% pemuda usia 15-24 tahun masuk kategori NEET (not in education, employment, or training), sementara survei We Are Social Indonesia menemukan 50,2% Gen Z menghabiskan waktu luang di media sosial, dua kondisi paradoks ini kian memperparah tekanan produktivitas ekstrem.

Bagaimana Kita Melihat Fenomena Hustle Culture?

Dalam perspektif sosiologi kesehatan, hustle culture dapat dipahami melalui konsep sosiologi tubuh yang melihat tubuh bukan sekadar entitas biologis, melainkan arena sosial tempat kekuasaan, norma, dan identitas diperebutkan. Gen Z tidak lagi memandang tubuh sebagai sesuatu yang perlu dirawat, tetapi sebagai aset produktif yang harus dioptimalkan terus-menerus.

Sebagai digital native, mereka dibanjiri konten rutinitas kerja ekstrem dari influencer di berbagai platform media. Media sosial berfungsi sebagai mesin pengawasan modern atau panopticon digital yang membuat Gen Z tidak hanya diawasi oleh orang lain, tetapi juga mengawasi diri sendiri. Setiap konten yang diunggah menjadi pembuktian bahwa mereka "cukup produktif." Tubuh yang tidak menghasilkan sesuatu dianggap tubuh yang gagal. Istirahat tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan biologis, melainkan sebagai pemborosan waktu atau bahkan tanda kelemahan moral.

Tekanan ini diperkuat oleh kondisi ekonomi struktural. Ekonomi gig yang menjanjikan fleksibilitas ternyata menyimpan ancaman seperti tanpa jaminan sosial, kontrak jangka pendek, dan pendapatan tidak menentu, Gen Z terpaksa mengadopsi mentalitas kerja tanpa henti sebagai strategi bertahan hidup. Dalam kondisi ini, hustle bukan pilihan gaya hidup, melainkan respons rasional terhadap prekarisasi kerja di era digital.

Ketika Gen Z Kehilangan Hak untuk Istirahat

Berbeda dengan pekerja formal yang memiliki cuti sakit, pekerja gig tidak punya jaring pengaman sosial. Sakit berarti kehilangan pendapatan dan klien. Akibatnya, Gen Z terus bekerja meski tubuh dan mental mengirim sinyal bahaya. Muncul productivity guilt atau rasa bersalah saat berhenti bekerja. Istirahat terasa seperti "keluar jalur" dari tuntutan produktivitas yang tidak pernah selesai.

Nilai diri Gen Z kini diukur dari output seperti side hustle, portofolio prestasi, atau konten viral. Produktivitas tinggi dianggap ukuran kesuksesan, sementara gagal mencapai standar produktivitas diperlakukan seperti kegagalan pribadi.

Krisis Kesehatan Mental Gen Z

Dampak kesehatan mental paling serius dari hustle culture adalah burnout, yaitu kelelahan fisik dan mental akibat kerja tanpa jeda. Dalam perspektif sosiologi tubuh, burnout bukan sekadar "kegagalan individu" mengelola stres, tetapi bentuk pemberontakan tubuh terhadap norma produktivitas yang tidak manusiawi. Tubuh yang burnout menolak untuk terus berfungsi sebagai mesin yang harus selalu efisien, sebuah resistensi biologis terhadap tekanan sosial yang eksploitatif.

Selain burnout, hustle culture memicu kecemasan (anxiety) karena individu terus membandingkan pencapaiannya dengan standar ideal yang dibentuk media sosial. Rasa takut tertinggal (fear of falling behind) membuat mereka terjebak dalam pola pikir serba cemas dan hiperkompetitif. Gangguan tidur dan keletihan berkepanjangan juga menjadi dampak signifikan. Pola istirahat yang berantakan akibat kerja yang meresap ke semua ruang hidup membuat tubuh kehilangan kesempatan untuk pulih, sementara otak tetap berada dalam mode waspada tinggi.

Dalam jangka panjang, tekanan produktivitas ekstrem dapat berkembang menjadi depresi, baik ringan maupun berat. Perasaan tidak berharga, kelelahan emosional, dan hilangnya motivasi menjadi tanda bahwa tubuh dan pikiran berada pada titik jenuh. Hustle culture juga menghancurkan hubungan sosial. Waktu untuk keluarga dan teman tergerus, koneksi emosional yang seharusnya menjadi sumber dukungan melemah.

Akibatnya, banyak Gen Z mengalami social withdrawal atau menarik diri dari pertemuan sosial karena lelah secara emosional. Isolasi ini memperburuk kondisi mental, padahal kehilangan jaringan sosial merupakan salah satu faktor risiko tertinggi untuk depresi dan kecemasan. Pada titik ini, dampak hustle culture tidak lagi bisa dianggap sebagai persoalan kesehatan individu, melainkan telah berkembang menjadi masalah kesehatan publik yang menunjukkan bagaimana norma budaya dan tekanan sosial dapat membentuk pola sakit dalam suatu generasi.

Slow Living hingga Quiet Quitting

Meski demikian, muncul gerakan perlawanan dari sebagian Gen Z yang mulai menolak glorifikasi kerja berlebihan. Slow living mempromosikan hidup pelan dengan menikmati momen sederhana. Konsep work-life balance mendorong batas jelas antara kerja dan istirahat. Soft life era menolak glorifikasi kesibukan demi gaya hidup yang memprioritaskan self-care dan hubungan bermakna.

Quiet quitting atau bekerja sesuai job desc tanpa lembur berlebihan juga menjadi bentuk perlawanan pasif terhadap norma kerja ekstrem. Gerakan ini bisa dipahami sebagai upaya merebut kembali tubuh dari logika produktivitas kapitalis. Gen Z mulai menyadari bahwa tubuh mereka bukan mesin, kesehatan bukan komoditas yang bisa dikorbankan demi pencapaian ekonomi, dan istirahat adalah hak dasar.

Namun, gerakan-gerakan ini masih bersifat individual dan terfragmentasi. Tanpa dukungan kebijakan struktural, upaya counter movement ini tidak akan cukup untuk mengatasi akar masalah yang sistemik.

Antara Bonus Demografi dan Krisis Kesehatan Mental

Pemerintah perlu mengakui bahwa hustle culture bukan sekadar masalah gaya hidup individual, melainkan krisis kesehatan publik yang mengancam kualitas bonus demografi Indonesia. Tanpa intervensi segera, 70 juta Gen Z yang seharusnya menjadi motor Indonesia Emas 2045 justru akan menjadi generasi yang terkikis kesehatan mentalnya.

Yang terpenting saat ini adalah pemerintah dapat mengupayakan perubahan struktural dimana pemerintah dapat memberikan perlindungan sosial yang memadai, regulasi kerja yang manusiawi jaminan kesehatan, dan mekanisme kerja yang tetap mendukung kesejahteraan fisik maupun psikologis untuk memastikan Gen Z tidak memilih antara pendapatan dan kesehatan mental.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image