Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Azril Hafizurrahman

Bom Rakitan di Sekolah: Ketika Alarm Bahaya Sudah Terlambat Kita Dengarkan

Sekolah | 2025-12-09 11:10:06

Ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar insiden kriminal. Ia adalah tamparan keras yang menunjukkan ada masalah dalam cara orang tua mendampingi anak-anak saat ini, baik di sekolah, keluarga, maupun ruang digital tempat anak-anak kita tumbuh. Apa yang terjadi pada Jumat siang itu mengingatkan kita bahwa krisis kedisiplinan, kesehatan mental, dan pengawasan digital pada remaja sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan.

Ledakan terjadi tepat setelah khutbah Jumat di masjid sekolah. Awalnya sebagian siswa mengira itu suara sound system yang korslet. Namun suara dentuman kedua menghapus semua dugaan ringan. Beberapa siswa berjatuhan, terluka oleh serpihan logam dan paku yang menghantam kepala, lengan, dan kaki. Belakangan, polisi memastikan ledakan itu adalah bom rakitan, lengkap dengan bahan peledak dan rancangan yang cukup matang untuk melukai puluhan orang.

Yang lebih mengejutkan lagi, pelaku diduga bukan orang luar. Ia seorang siswa sendiri remaja 17 tahun yang disebut tertutup, sering dibully, dan diduga memendam kemarahan yang tidak pernah tersampaikan. Polisi menemukan barang-barang mencurigakan seperti kabel pemicu, remote, hingga senjata tiruan dengan tulisan ekstrem. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa pelaku mungkin sudah lama mengakses konten radikal dan kekerasan melalui internet, merakit ide tentang “pembalasan” tanpa ada orang dewasa yang menyadarinya.

Di titik ini, kita perlu jujur bertanya: mengapa seorang pelajar bisa sampai merakit bom di rumahnya tanpa terdeteksi?

Jawabannya mungkin terdengar pahit. Ya, karena kita selama ini terlalu fokus pada nilai akademik, terlalu sibuk dengan kurikulum, dan terlalu percaya bahwa anak-anak akan “baik-baik saja” selama mereka berada dalam sistem sekolah.

Padahal nyatanya, remaja hari ini hidup di tiga dunia sekaligus:

1. Dunia nyata yang menuntut interaksi sosial,

2. Dunia sekolah yang menuntut prestasi, dan

3.Dunia digital yang memberi ruang anonim untuk pelarian, pembelajaran, sekaligus potensi penyimpangan.

Ketika satu dari tiga dunia itu runtuh, misal karena bullying, mereka mencari kompensasi di dunia lainnya. Jika yang mereka temukan adalah konten kekerasan, tutorial merakit bahan berbahaya, forum gelap, atau ideologi ekstrem, maka jurang menuju tindakan brutal terbuka sangat lebar.

Insiden ini bukan hanya tragedi fisik, ia mengungkap kegagalan parenting orang tua masa kini dalam mengelola kesehatan mental anak remaja. Di sekolah, program anti-bullying sering menjadi formalitas belaka. Guru BK kewalahan menangani puluhan siswa dengan masalah berbeda-beda. Di rumah, orang tua bekerja seharian, berharap anak “tumbuh sendiri”. Di internet, algoritma tak peduli apakah yang ditonton anak adalah konten positif atau ajakan kekerasan yang penting, mereka terus menonton.

Ledakan di SMAN 72 seharusnya menjadi peringatan keras. Bukan hanya bagi aparat, tetapi bagi semua kita yang terlalu lama mengabaikan sinyal-sinyal kecil: anak yang berubah murung, menyendiri, tiba-tiba agresif, atau menutup diri. Tanda-tanda itu selama ini dianggap fase remaja biasa. Ternyata bisa berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap.

Keamanan sekolah memang perlu diperkuat. Pemeriksaan rutin, edukasi bahaya bahan peledak, hingga pelatihan protokol kedaruratan harus jadi standar baru. Tapi upaya teknis saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah membangun ekosistem kepedulian ruang di mana guru tidak sekadar mengajar, melainkan mengenal muridnya; orang tua tidak sekadar menyediakan fasilitas, tetapi hadir secara emosional; dan negara tidak sekadar merespon bila terjadi tragedi, tetapi mencegah sebelum semuanya terlambat.

Bom itu sudah meledak, tapi peringatannya masih terasa. Ini mengingatkan kita bahwa banyak anak sebenarnya sedang kesulitan, namun sering kali kita tidak benar-benar menyadarinya.

Penulis: Muhammad Azril H, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Bandung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image