Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rika Sadiyah

Korupsi dan Bencana, Ketika Krisis Moral Memperburuk Krisis Alam

Edukasi | 2025-12-08 22:45:09

Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta-Kepala Unit Antikorupsi dan Anti Intoleransi UMJ

sumber gambar internet

Setiap kali bencana terjadi, banjir, longsor, atau kebakaran hutan, kita sering menyebutnya sebagai “bencana alam”. Padahal, tidak semua bencana bersumber dari alam, banyak diantaranya adalah hasil dari keputusan yang keliru, tata kelola yang lemah, dan pada beberapa kasus, adanya praktik korupsi yang berlangsung dalam senyap. Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember, kita perlu menengok relasi penting antara korupsi dan bencana, dua krisis yang saling memperbesar dampaknya. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat bencana tertinggi di dunia, BNPB melaporkan bahwa sepanjang 2023 terjadi lebih dari 5.400 kejadian bencana, mayoritas berupa bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan. Tren ini berlanjut, hingga November 2025, tercatat 2.919 kejadian bencana, dan sekitar 98 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi, angka-angka ini memberi pesan jelas, bencana bukan insiden kecil, tetapi realitas yang terus berulang dari tahun ke tahun. Namun tingginya angka bencana tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan yang terus terdegradasi. Kerusakan hutan, konversi lahan yang tidak terkendali, pembangunan yang tidak taat tata ruang, hingga izin usaha yang diwarnai praktik suap, semuanya berkontribusi terhadap meningkatnya risiko dan intensitas bencana. Ketika hutan gundul karena izin diberikan tanpa kajian lingkungan yang benar, ketika proyek tanggul, normalisasi sungai, atau penguatan tebing dikerjakan rendah mutu akibat anggaran dipotong untuk “fee”, ketika kawasan konservasi berubah menjadi area bisnis karena permainan dalam perizinan, maka yang kita hadapi bukan semata bencana alam, tetapi bencana tata kelola.

Sejumlah riset memperkuat hal ini, studi tentang potensi korupsi dalam dana lingkungan menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk mitigasi, rehabilitasi, dan program adaptasi iklim sangat rawan diselewengkan bila pengawasan lemah. Kasus-kasus suap perizinan kehutanan, manipulasi batas kawasan hutan, atau korupsi dalam proyek pasca bencana seperti rehabilitasi sekolah dan infrastruktur air, seperti yang ditemukan di Lombok dan Palu, menunjukkan bahwa situasi darurat maupun sektor sumber daya alam menjadi lahan empuk bagi praktik korupsi, terkadang yang lebih ironis, setiap bencana justru membuka peluang baru bagi korupsi. Situasi genting sering dijadikan alasan untuk melonggarkan prosedur, membypass lelang, atau menyalurkan bantuan tanpa transparansi. Banyak laporan menunjukkan bantuan yang tidak tepat sasaran, manipulasi data penerima, hingga mark up belanja darurat, ini membuat masyarakat mengalami dua penderitaan sekaligus, terdampak bencana, lalu dirugikan oleh korupsi dalam penanganannya.

Oleh sebab itu, memerangi korupsi tidak dapat dipisahkan dari upaya mengurangi risiko bencana, integritas bukan hanya persoalan moral, tetapi juga prasyarat keselamatan public, tanpa integritas, mitigasi tidak berjalan, tata ruang diperdagangkan, dan lingkungan dikelola dengan pendekatan transaksional, dalam kerangka ini, korupsi adalah akar yang memperparah frekuensi dan dampak bencana. Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Kita perlu menegaskan kembali bahwa pencegahan bencana bukan hanya soal teknologi atau anggaran, tetapi soal tata kelola yang bersih. Pemerintah harus memperkuat transparansi izin lingkungan, membuka data tata ruang secara publik, melakukan audit ketat atas proyek-proyek mitigasi, dan memastikan distribusi bantuan dilakukan dengan standar akuntabilitas tinggi, sementara itu masyarakat sipil perlu dilibatkan untuk mengawasi jalannya kebijakan-kebijakan vital tersebut.

Kampus juga memegang peranan strategis, Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi bukan sekadar materi tentang hukum atau keuangan negara, melainkan pendidikan moral untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup. Penelitian-penelitian tentang mitigasi bencana, tata kelola ruang, dan integritas perlu terus diperkuat, mahasiswa harus dibentuk menjadi generasi yang berani berkata “tidak” pada praktik manipulatif dan mampu mendorong budaya kejujuran di semua level. Dalam perspektif keagamaan, amanah menjaga bumi adalah bagian dari ibadah. Merusak lingkungan atau mengambil keuntungan dengan mengorbankan keselamatan orang lain adalah bentuk kezaliman, karena itu, pemberantasan korupsi adalah bagian dari ikhtiar moral untuk menjaga ciptaan Allah SWT dan melindungi sesama manusia.

Selain itu, perlu disadari bahwa kebijakan pembangunan yang tidak berlandaskan integritas selalu melahirkan ruang-ruang risiko baru. Banyak daerah yang sesungguhnya memiliki kerentanan geologis tinggi, tetapi tetap diberikan izin pembangunan permukiman atau industri karena intervensi kepentingan tertentu. Sikap abai ini membuat masyarakat berada di garis depan ancaman bencana, padahal secara ilmiah mestinya wilayah tersebut dilindungi. Di sinilah kita melihat bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi penyebab langsung dari rapuhnya daya tahan ruang hidup Masyarakat, dan tidak hanya itu, korupsi juga merusak kepercayaan publik, yang merupakan komponen penting dalam penanganan bencana. Ketika masyarakat tidak percaya pada pemerintah, pengumuman evakuasi menjadi diabaikan, bantuan dianggap tidak adil, dan partisipasi publik dalam kesiapsiagaan menjadi rendah. Distrust ini membuat penanganan bencana semakin kompleks. Maka, membangun integritas berarti sekaligus membangun kepercayaan yang memperkuat respons masyarakat saat bencana terjadi.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa bencana tidak semata berasal dari curah hujan atau pergerakan tanah. Banyak bencana lahir dari kebijakan yang lemah, nilai yang rapuh, serta integritas yang dikompromikan. Korupsi memperlebar jurang kerentanan itu, membuat kerusakan semakin besar dan pemulihan semakin sulit. Jika kita ingin mengurangi risiko bencana, maka korupsi harus diberantas, jika kita ingin lingkungan yang aman dan lestari, maka integritas harus menjadi fondasinya. Peringatan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia bukan sekadar ritual tahunan, tetapi pengingat tegas bahwa masa depan Indonesia bergantung pada keberanian kita untuk berkata, “cukup sudah”, korupsi tidak boleh terus memperparah bencana bangsa ini. (Salam Antikorupsi)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image