Mengenal Infak Produktif dan Infak Konsumtif
Ekonomi Syariah | 2025-12-05 15:50:26
Secara bahasa, kata infak berasal dari akar kata anfaqa--yunfiqu yang berarti mengeluarkan atau membelanjakan. Dalam istilah syariat, infak adalah mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan yang diperintahkan Allah, baik untuk keluarga, masyarakat, maupun kepentingan umat.
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 267:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu..." (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an menjelaskan bahwa ayat ini mencakup seluruh bentuk infak, baik infak wajib seperti zakat, maupun sunnah seperti sedekah dan infak sukarela. Artinya, setiap pengeluaran harta yang diniatkan karena Allah Taala adalah bentuk ketaatan yang berpahala.
Infak Konsumtif
Infak konsumtif adalah pemberian harta yang langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan penerima, seperti memberi makanan, pakaian, atau biaya pengobatan. Sifatnya langsung habis pakai, namun sangat dibutuhkan dalam situasi darurat.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Siapa yang menghilangkan satu kesusahan dari seorang mukmin di dunia, maka Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di akhirat." (HR. Muslim)
Infak konsumtif mencerminkan rasa empati dan solidaritas. Ia adalah bentuk kasih sayang yang hadir cepat ketika seseorang kelaparan, sakit, atau kehilangan tempat tinggal. Dalam konteks sosial, jenis infak ini membantu menyeimbangkan beban hidup antarindividu.
Infak Produktif
Infak produktif adalah bentuk pengelolaan infak yang diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi dan kemandirian. Sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, infak yang baik bukan sekadar menghapus lapar hari ini, tetapi juga membuka jalan agar penerima dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Uang tidak berhenti di tangan penerima, tapi berputar menjadi penggerak manfaat.
Contoh infak produktif, di antaranya mberikan modal usaha kepada dhuafa, pelatihan kerja bagi yatim, atau pengembangan lahan pertanian wakaf.
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ، فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ، وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ، وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki..." (QS. Al-Baqarah [2]: 261)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan multiplier effect dari infak yang ditata dengan bijak dan berorientasi jangka panjang. Seperti menanam benih, hasilnya tumbuh dan terus memberi manfaat.
Infak produktif dan wakaf berbeda berdasarkan hukum Islam dan praktik pengelolaannya. Keduanya berbeda dari segi hak kepemilikan, sifat harta, dan tujuan pengelolaan.
Infak produktif digunakan untuk pemberdayaan ekonomi dan sosial secara berkelanjutan, serta boleh digunakan dan habis, selama tujuannya memberi manfaat jangka panjang. Sedangkan wakaf secara syariat berarti menahan pokok harta (al-'ayn) dan mengalirkan manfaatnya (al-manfa'ah). Artinya, harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihibahkan, karena status kepemilikannya telah berpindah menjadi milik Allah SWT untuk kepentingan umat.
Kapan Konsumtif, Kapan Produktif?
Kedua bentuk infak sejatinya bukan untuk dipertentangkan, tetapi disesuaikan dengan kondisi penerima. Saat seseorang dalam keadaan genting, seperti lapar, sakit, atau kehilangan rumah, maka infak konsumtif menjadi penolong pertama. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, infak produktif menjadi jembatan menuju kemandirian.
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi dalam Fiqh az-Zakah menegaskan bahwa prinsip Islam adalah ta'awun (saling tolong-menolong) menuju istiqlal (kemandirian). Umat yang kuat secara ekonomi akan lebih mampu menebar manfaat kepada sesamanya.
Dalam dunia yang kian konsumtif, infak produktif menjadi napas segar karena mengubah bantuan menjadi kekuatan dan menjadikan penerima sebagai pemberi berikutnya.
Di sisi lain infak konsumtif memperlihatkan kepedulian dengan wajah manusianya. Maka, Islam menuntun kita untuk seimbang dengan berinfak dengan hati dan mengelolanya dengan hikmah, sebagaimana sabda Nabi Saw:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Akhirnya, tujuan infak bukan hanya mengurangi kemiskinan, tapi menumbuhkan martabat manusia, agar setiap insan mampu memberi, bukan sekadar menerima. (Agus ID)
Referensi:
Al-Qur'an
Sahih Bukhari
Sahih Muslim
Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, Al-Qurthubi
Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim, Ibnu Katsir
Ihya' Ulumuddin, Imam Al-Ghazali
Fiqh az-Zakah , Yusuf Al-Qaradawi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
