Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rusydina Ruwaida

Sebuah Cerita tentang Buku Antologi yang Mengubah Hidup

Edukasi | 2025-12-05 07:02:22
Dokumentasi Kegiatan (Sabtu, 25 Oktober 2025)

Karya Pertama yang Membuka Dunia

Di Panti Asuhan Muhammadiyah Semampir, kami menemukan kenyataan pahit yang sangat kontras: anak-anak yang penuh cerita, tetapi tidak punya ruang untuk bercerita. Mereka sering menulis di belakang buku pelajaran, di sobekan kertas, bahkan di bagian kosong kalender yang tergantung di dinding panti. Kreativitas itu ada dan hidup, tetapi tidak punya wadah.

Ketika kami mengajak mereka menulis untuk buku antologi, mereka tertegun. Beberapa bertanya:

“Beneran bisa? Aku kan masih kecil.” “Cerita kayak gini boleh?” “Kalau jelek gimana, Mbak?”

Tidak butuh waktu lama untuk menyadarkan mereka bahwa kualitas tulisan bukan tujuan utama keberanian menulis itulah yang menjadi pintu pertama untuk mengenali diri sendiri.

Dan perlahan, mereka mulai menulis. Ada yang menulis tentang pahlawan, ada yang menulis tentang kampung halaman, ada yang menulis tentang kehilangan, dan ada pula yang menulis tentang masa depan Indonesia versinya sendiri. Mereka menulis dengan hati jujur, polos, dan apa adanya.

Di Meja Penyuntingan, Saya Belajar Mendengar

Proses penyusunan antologi “Karya Anak Negeri” sebenarnya bukan hanya kegiatan editorial. Itu adalah proses mendengarkan. Saya belajar bahwa setiap cerita, sekecil apa pun, punya beban perasaan di belakangnya.

Ada seorang anak menulis kisah tentang ibunya yang meninggal. Ia menutup ceritanya dengan kalimat, “Semoga ibu membaca ceritaku dari surga.” Saya terdiam lama.

Ada anak lain yang menulis tentang cita-cita menjadi tentara. Dalam tulisannya, ia menulis, “Aku ingin melindungi Indonesia karena tidak ada yang melindungiku waktu kecil.” Kalimat itu menampar saya lebih keras dari apa pun.

Setiap paragraf yang mereka tulis bukan sekadar rangkaian kata itu adalah fragmen hidup, pengalaman, luka, harapan, dan keberanian yang coba mereka tafsirkan melalui bahasa.

Di titik itu, saya menyadari bahwa anak-anak ini tidak butuh dikasihani. Mereka butuh didengarkan. Dan menulis adalah cara paling lembut untuk membuat mereka merasa bahwa suara mereka dianggap.

Hari Ketika Nama Mereka Terbit

Momen paling emosional dari seluruh proses itu adalah ketika buku antologi akhirnya selesai dicetak. Anak-anak berkumpul, duduk melingkar, menatap buku itu seolah melihat sesuatu yang suci. Ketika saya membuka halaman daftar penulis, mereka berebut:

“Itu namaku!” “Mbak, aku masuk halaman berapa?” “Bukunya beneran ada fotonya ya?”

Ada anak yang memeluk bukunya erat-erat, seakan takut buku itu hilang. Ada juga yang meminta dua eksemplar satu untuk disimpan, satu lagi ingin ia kirim ke guru SD-nya agar gurunya tahu bahwa ia sekarang sudah menjadi penulis.

Di mata mereka, saya tidak melihat “penerima bantuan panti”. Yang saya lihat adalah penulis kecil yang baru saja menemukan panggung pertamanya.

Dan bukankah itu tujuan dari literasi? Bukan untuk mencetak anak yang sekadar pandai membaca, tetapi anak yang percaya bahwa suaranya layak didengar.

Menulis Sebagai Ruang Pulih dan Ruang Tumbuh

Dalam diskursus sosial, kita sering berbicara tentang pendidikan, ketimpangan, atau pemberdayaan. Tetapi kita jarang membahas bahwa menulis bisa menjadi ruang terapi bagi mereka yang tumbuh dalam keterbatasan. Menulis membuka jalan bagi anak-anak untuk mengurai rasa yang sulit mereka ceritakan secara lisan.

Beberapa anak menuliskan masa lalunya, yang mungkin terlalu berat untuk diceritakan secara langsung. Melalui tulisan, mereka menemukan cara yang lebih lembut untuk berbicara.

Ada juga yang menulis tentang masa depan yang mereka harapkan sebagai dokter, perawat, penulis, atau guru mengaji. Menulis memberi mereka gambaran bahwa masa depan itu mungkin, bahwa mimpi itu sah.

Saya belajar bahwa ketika anak menulis, mereka sedang menyembuhkan diri. Ketika anak menulis, mereka sedang membangun jati diri. Dan ketika tulisan itu diterbitkan, mereka belajar bahwa dunia mau mendengarkan.

Antologi Ini Bukan Buku — Ini Adalah Jendela

Antologi “Karya Anak Negeri” bukan sekadar kumpulan cerita. Ia adalah jendela untuk melihat Indonesia dari sudut pandang anak-anak yang mungkin tidak pernah muncul di panggung besar: anak panti yang tumbuh dalam keterbatasan, tetapi memiliki kekayaan imajinasi.

Dalam setiap kalimat, kita melihat Indonesia versi mereka: Indonesia yang ingin damai, adil, dan penuh kesempatan untuk semua orang. Mereka menulis bukan karena diwajibkan, tetapi karena menulis memberi mereka harapan.

Jika pemerintah sedang sibuk membangun Ibu Kota Baru, membangun infrastruktur, atau memperbaiki ekonomi, maka melalui tulisan anak-anak ini, kita diingatkan bahwa membangun manusia adalah fondasi dari semua pembangunan.

Ketika Pena Menjadi Doa

Setelah proyek kebangsaan selesai, saya sebagai mahasiswa Universitas Airlangga yang terlibat dalam proyek ini menyadari satu hal bahwa kami tidak sedang mengajari mereka menulis. Sebaliknya, mereka yang mengajarkan kami bagaimana menghargai cerita.

Mereka yang mengajarkan bahwa suara kecil pun bisa bergema jika diberi ruang.

Dan mereka pula yang mengingatkan bahwa kadang, perubahan besar Indonesia tidak dimulai dari gedung pemerintah atau rapat nasional tetapi dari sebuah pena kecil yang berani menuliskan mimpi.

Karena pada akhirnya, setiap bangsa besar lahir dari orang-orang yang percaya bahwa suaranya berarti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image