Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image I Nyoman Krisnadana Surya Brahmantya

Pengaruh Teater terhadap Pelajar di Masa Pubertas

Edukasi | 2025-12-05 00:40:22

Oleh I Nyoman Krisnadana Surya Brahmantya

Mahasiswa Universitas Airlangga (NIM: 143251091)

Masa pubertas merupakan periode penting dalam perkembangan seorang remaja. Pada tahap ini, pelajar mulai mencari, memahami, dan membentuk jati diri mereka. Proses ini tidak selalu mudah karena remaja cenderung sangat peka terhadap pengaruh dari lingkungan sekitar. Salah satu kegiatan yang sering memberikan pengaruh besar adalah teater sekolah. Kegiatan ini memang menawarkan banyak manfaat, seperti melatih percaya diri, kreativitas, dan kerja sama. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa teater juga dapat memberikan dampak yang tidak disadari, terutama bagi pelajar yang masih berada dalam proses pencarian identitas diri.

Dalam teater, setiap siswa dituntut untuk memerankan karakter tertentu. Ada yang harus menjadi tokoh pemberani, ada yang harus menjadi sosok pemarah, ada pula yang berperan sebagai tokoh pendiam, licik, atau bahkan sangat berbeda dari sifat asli mereka. Ketika proses pendalaman karakter dilakukan, beberapa pelajar mulai benar-benar menyerap sifat dari tokoh yang mereka perankan. Fenomena ini wajar terjadi karena teater mendorong pemainnya untuk memahami emosi, cara berbicara, dan pola pikir tokoh tersebut secara mendalam. Bahkan, sering kali pembina teater meminta para pemain untuk “menjadi” karakter tersebut, bukan sekadar menirunya, sehingga kedalaman peran semakin kuat dalam pikiran mereka.

Namun, di sinilah tantangannya muncul. Pelajar yang masih berada pada masa pubertas sering kali belum memiliki konsep diri yang kuat. Ketika mereka terlalu sering atau terlalu dalam memainkan peran tertentu, muncul kemungkinan bahwa sifat karakter tersebut terbawa ke kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelajar yang awalnya pendiam justru menjadi lebih agresif setelah sering memerankan tokoh antagonis. Sebaliknya, pelajar yang awalnya percaya diri dapat merasa lebih tertutup jika terlalu lama memainkan karakter pemalu atau penuh ketakutan. Situasi seperti ini dapat membingungkan mereka karena perubahan tersebut tidak sepenuhnya berasal dari diri sendiri, melainkan dari karakter yang mereka pelajari.

Perubahan ini bukan berarti terjadi karena ketidakseimbangan emosional, tetapi karena pelajar pada usia ini sedang berada dalam fase pencarian, sehingga apa pun yang mereka jalani dapat menjadi bagian dari proses pembentukan diri. Karakter tokoh drama yang kuat dan kompleks sering kali memberikan warna baru dalam cara mereka melihat diri sendiri. Mereka mulai mempertanyakan apakah sifat-sifat tertentu berasal dari karakter bawaan atau hanya pengaruh dari peran yang dimainkan. Jika tidak disadari, sifat-sifat ini dapat membingungkan dan akhirnya membuat pelajar kehilangan jati diri asli mereka. Mereka bisa saja merasa “lebih cocok” menjadi karakter panggung daripada diri mereka sendiri, padahal itu hanya ilusi akibat proses penghayatan yang mendalam.

Selain itu, pengaruh lingkungan teater juga dapat memperkuat perubahan tersebut. Dalam proses latihan, siswa sering diminta untuk mengulang dialog, gerak tubuh, dan ekspresi tertentu. Kebiasaan ini akhirnya menempel dalam diri mereka tanpa mereka sadari. Beberapa pelajar bahkan merasa bahwa karakter panggung mereka lebih “menarik” daripada diri mereka yang sebenarnya, sehingga mereka mulai membawa sifat tersebut ke kehidupan sosial. Mereka bisa menjadi lebih dramatis, lebih emosional, atau lebih tegas daripada biasanya. Hal ini dapat menyebabkan pelajar merasa terjebak dalam peran yang sebenarnya tidak mencerminkan diri mereka. Jika berlangsung lama, perubahan ini dapat mempengaruhi hubungan sosial mereka, baik di sekolah maupun di rumah.

Meski demikian, teater tidak seharusnya dianggap sebagai penyebab utama hilangnya jati diri. Teater tetap merupakan kegiatan edukatif yang sangat bermanfaat. Yang perlu diperhatikan adalah pendampingan yang tepat dari guru maupun pembina teater. Pelajar perlu diarahkan untuk memahami bahwa karakter yang mereka perankan hanyalah tugas seni, bukan identitas pribadi. Setelah pementasan selesai, mereka perlu diajak kembali untuk melepas karakter tersebut melalui diskusi, refleksi, atau kegiatan lain yang membantu mereka membedakan antara “peran panggung” dan “diri sendiri”. Proses ini penting agar pelajar tidak terbawa suasana panggung ke dalam kehidupan nyata dan tetap dapat mengontrol kepribadian asli mereka.

Selain pendampingan dari guru, dukungan teman sebaya dan keluarga juga sangat penting. Orang tua perlu memahami bahwa perubahan perilaku yang muncul selama masa latihan teater bisa jadi hanya bersifat sementara. Dengan memberikan ruang bagi pelajar untuk bercerita, memahami proses yang mereka jalani, dan mendengarkan pengalaman mereka, keluarga dapat membantu pelajar menemukan keseimbangan dan kembali pada identitas pribadi mereka. Teman sebaya pun dapat berperan sebagai pengingat bahwa karakter panggung hanya bagian dari pertunjukan, bukan cerminan diri yang sebenarnya.

Sebagai pelajar, memahami batas antara karakter drama dan identitas pribadi sangat penting. Teater boleh menjadi ruang belajar, berekspresi, dan berlatih keberanian, tetapi tidak untuk membuat seseorang kehilangan dirinya. Justru, teater seharusnya membantu pelajar menemukan potensi diri, bukan mengaburkan siapa mereka sebenarnya. Dengan bimbingan yang tepat, teater dapat menjadi sarana yang memperkaya pengalaman emosional dan sosial, sekaligus membantu remaja memahami berbagai perspektif tanpa harus kehilangan arah.

Dengan pendampingan yang tepat dan kesadaran diri yang kuat, teater dapat menjadi media yang memperkaya pengalaman remaja tanpa membuat mereka tersesat dalam peran yang bukan milik mereka. Pelajar harus tetap ingat bahwa siapa pun karakter yang mereka mainkan di atas panggung, jati diri mereka di luar panggung adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dan harus dijaga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image