Membongkar Stigma Profesi HSE: Bukan Sekedar Bagian Nengak-Nengok
Rubrik | 2025-12-02 17:31:08
Di berbagai sektor industri, profesi Health, Safety, and Environment (HSE) kerap kali diremehkan atau bahkan dijadikan bahan candaan. Istilah “BNN”—singkatan dari “Bagian Nengok-Nengok”—sering muncul sebagai julukan untuk mereka yang setiap hari terlihat berkeliling lapangan, menegur pekerja yang lupa memakai helm, atau memeriksa apakah prosedur keselamatan sudah dijalankan. Pandangan seperti ini mencerminkan kurangnya pemahaman masyarakat industri terhadap makna dan tanggung jawab profesi HSE yang sesungguhnya.
Di balik pekerjaan yang tampak sederhana, tersimpan peran vital dalam menjaga keselamatan nyawa manusia, kestabilan proses kerja, dan kelestarian lingkungan. HSE bukan sekadar pengawas yang menegakkan aturan, tetapi pengendali utama yang memastikan setiap pekerja dapat beraktivitas secara aman dan pulang ke rumah dalam keadaan selamat.
Profesi HSE menuntut keahlian yang tidak ringan. Mereka harus memahami prinsip-prinsip teknis industri, mengenali potensi bahaya di setiap tahapan proses kerja, serta merancang sistem pencegahan yang komprehensif. Selain itu, mereka juga harus mampu berkomunikasi secara efektif dengan berbagai pihak—mulai dari manajemen hingga pekerja lapangan—agar kesadaran akan pentingnya keselamatan bisa tertanam dalam budaya kerja sehari-hari.
Tidak jarang, posisi ini menuntut keberanian moral untuk menegur atau menghentikan proses kerja ketika ditemukan potensi bahaya, meski keputusan tersebut bisa saja berhadapan dengan kepentingan produktivitas dan tekanan target. Ironisnya, ketika semua berjalan lancar dan tidak terjadi kecelakaan, keberhasilan HSE sering kali tidak dianggap sebagai hasil kerja keras, melainkan dipandang sebagai hal yang “memang seharusnya begitu.” Padahal, kondisi aman justru merupakan bukti nyata bahwa sistem keselamatan berjalan efektif berkat dedikasi dan kehati-hatian mereka.
Stigma negatif terhadap profesi HSE bukan hanya bentuk ketidakadilan terhadap tenaga kerjanya, tetapi juga berpotensi membahayakan keseluruhan sistem kerja. Ketika pekerja atau bahkan pihak manajemen menganggap HSE sekadar pengawas tanpa nilai strategis, budaya keselamatan menjadi lemah. Sikap abai terhadap peringatan dan prosedur keselamatan dapat menyebabkan meningkatnya risiko kecelakaan, cedera, atau bahkan kematian di tempat kerja.
Menurut data International Labour Organization (ILO), lebih dari dua juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Angka ini menunjukkan bahwa keselamatan bukanlah formalitas administratif, melainkan aspek fundamental yang menentukan keberlanjutan industri dan kesejahteraan manusia. Dalam konteks ini, HSE seharusnya dilihat bukan sebagai “penegak aturan” semata, tetapi sebagai mitra strategis perusahaan dalam memastikan proses produksi berjalan efisien tanpa mengorbankan kemanusiaan dan lingkungan.
Sudah saatnya kita menanggalkan anggapan bahwa petugas HSE hanyalah “bagian nengok-nengok” yang tugasnya sekadar mengingatkan dan menulis laporan. Profesi ini adalah pilar utama yang menopang keselamatan dan keberlanjutan industri. Mereka bekerja dengan dedikasi tinggi, meski kerap tidak mendapat sorotan atau penghargaan yang layak. Teguran yang terdengar cerewet sebenarnya adalah bentuk kepedulian agar tidak ada satu pun nyawa yang hilang sia-sia di tempat kerja.
Di balik setiap inspeksi, analisis risiko, dan laporan keselamatan, terdapat niat tulus untuk menjaga agar setiap orang bisa pulang dalam keadaan utuh kepada keluarganya. Oleh karena itu, menghargai profesi HSE bukan hanya soal etika profesional, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap nilai kemanusiaan yang mendasari setiap aktivitas industri. Mereka mungkin tidak disanjung, tetapi keberadaannya menyelamatkan banyak kehidupan. Sebutan “Bagian Nengok-nengok” semestinya berubah menjadi “Bagian Nyelamatin Nyawa”, karena di tangan mereka, keselamatan manusia dan masa depan industri dijaga setiap hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
