Otomasi Al: Berkah Efisiensi atau Ancaman PHK Massal?
Teknologi | 2025-11-28 12:24:34
Di tengah revolusi industri 4.0, otomasi dan kecerdasan buatan (AI) menjadi dua kata kunci yang semakin sering terdengar. Bayangkan saja, pabrik-pabrik yang dulunya bergantung pada tenaga manusia kini digantikan oleh robot pintar yang bisa bekerja 24 jam tanpa lelah. Di Indonesia, fenomena ini sudah mulai terlihat, seperti di sektor manufaktur otomotif di Bekasi atau tekstil di Bandung. Namun, apa sebenarnya pengaruh otomasi dan AI terhadap dunia industri? Apakah ini berkah atau justru ancaman? Mari kita ulas lebih dalam.
Pertama-tama, mari bicara soal manfaatnya. Otomasi, yang melibatkan penggunaan mesin untuk tugas repetitif, telah meningkatkan efisiensi produksi secara drastis. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor manufaktur Indonesia tumbuh 5,68% pada triwulan II-2025, tertinggi sejak 2022, sebagian berkat adopsi teknologi otomatis. Contohnya, di pabrik semen seperti Semen Indonesia, robot otomatis memastikan proses pencampuran bahan lebih akurat, mengurangi limbah hingga 20%. Sementara itu, AI membawa kecerdasan lebih lanjut. Algoritma AI seperti machine learning bisa memprediksi kerusakan mesin sebelum terjadi, sehingga menghemat biaya perawatan. Di industri makanan, perusahaan seperti Indofood menggunakan AI untuk menganalisis data rantai pasok, memastikan stok bahan baku selalu optimal meski fluktuasi harga global.
Pengaruh positif ini juga terlihat pada produktivitas tenaga kerja. Di negara maju seperti Jepang, otomasi telah menciptakan pekerjaan baru di bidang pemeliharaan robot dan pengembangan software. Di Indonesia, Kementerian Perindustrian mendorong program "Making Indonesia 4.0" yang menargetkan peningkatan kontribusi industri terhadap PDB hingga 25% pada 2030. AI membantu dalam hal ini, misalnya melalui chatbot di e-commerce seperti Shopee yang menangani ribuan pertanyaan pelanggan sekaligus, membebaskan karyawan untuk fokus pada tugas kreatif. Hasilnya? Pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan daya saing global meningkat.
Namun, tak bisa dipungkiri, ada sisi gelap dari kemajuan ini. Salah satu dampak negatif terbesar adalah pengangguran struktural. Otomasi menggantikan pekerjaan rutin, seperti operator mesin di pabrik tekstil. Laporan McKinsey 2019 menyebutkan bahwa hingga 23 juta pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh otomasi dan AI hingga 2030, meski juga menciptakan 27–46 juta pekerjaan baru. Di Indonesia, ini berarti jutaan buruh pabrik, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bisa kehilangan mata pencaharian. Ambil contoh kasus Astra International, yang pada 2024 menerapkan otomasi gudang dan digitalisasi, menyebabkan PHK sekitar 1.200 karyawan di sektor otomotif. Di sini, kita melihat ketidaksetaraan semakin lebar: perusahaan seperti GoTo Logistics yang mengadopsi AI untuk optimalisasi rute pengiriman, hemat hingga 18% bahan bakar berdasarkan laporan tahunan 2024, justru membuat mitra ojek online harus bersaing lebih ketat.
Untuk mengilustrasikan dampak nyata, pertimbangkan kisah Siti, 42 tahun, buruh tekstil di Majalaya, Bandung. Ia kehilangan pekerjaan saat pabriknya memasang 12 robot tenun otomatis pada 2024. Kini, Siti ikut pelatihan cobot (robot kolaboratif) di Balai Latihan Kerja (BLK) Bandung, berharap bisa kembali bekerja sebagai operator hybrid. Cerita seperti ini menunjukkan betapa otomasi bisa merenggut, tapi juga membuka pintu jika ada jaring pengaman.
Selain itu, ada isu etika dan keamanan. AI yang bergantung pada data besar bisa menimbulkan bias jika data pelatihan tidak inklusif. Di industri keuangan, misalnya, algoritma pinjaman online di Indonesia kadang diskriminatif terhadap kelompok ekonomi rendah. Belum lagi risiko cyber attack; pabrik otomatis seperti di Kawasan Industri Cikarang rentan diretas, yang bisa menghentikan produksi dan merugikan ekonomi nasional. Pemerintah perlu waspada, karena tanpa regulasi yang kuat, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang baru, pengaruh negatif ini bisa memburuk.
Lalu, bagaimana menyikapinya? Kuncinya adalah adaptasi. Pendidikan dan pelatihan ulang menjadi prioritas. Universitas seperti ITB dan UI sudah menawarkan program AI dan otomasi, tapi perlu diperluas ke vokasi. Pemerintah bisa mengadopsi model Singapura, di mana subsidi diberikan untuk reskilling pekerja. Program Kartu Prakerja 2025 menargetkan 1,2 juta pekerja dilatih keterampilan dasar AI melalui kemitraan dengan Microsoft, membekali 100.000 talenta muda dengan modul AI gratis. Di sisi perusahaan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengusulkan insentif pajak super deduction hingga 150% untuk pelatihan otomasi, mendorong investasi pada SDM terampil.
Pada akhirnya, hybrid model (kombinasi manusia dan mesin) bisa jadi solusi, seperti di Toyota Indonesia yang melatih karyawan mengoperasikan robot kolaboratif (cobots). Dalam kesimpulan, pengaruh otomasi dan AI dalam industri adalah pedang bermata dua: mendorong inovasi dan efisiensi, tapi juga menimbulkan tantangan sosial. Di tengah target Indonesia Emas 2045, kita harus memastikan teknologi ini inklusif, agar manfaatnya dirasakan semua lapisan masyarakat. Mari kita sambut era ini dengan persiapan matang, bukan ketakutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
