Guru: Sebuah Lentera Bagi Bangsa yang Perlu Dijaga
Lentera | 2025-11-28 09:48:44
Setiap tahun, Hari Guru Nasional menjadi momentum yang mengingatkan kita semua pada pentingnya pendidikan dan sosok pendidik bagi kemajuan sebuah bangsa. Setiap tanggal 25 November, bangsa ini merayakan Hari Guru Nasional dengan berbagai upacara, ungkapan terima kasih, dan rangkaian perayaan simbolis. Di panggung-panggung sekolah, para murid menunjukkan cinta mereka pada guru mereka melalui bunga kertas, puisi, dan lagu-lagu penghormatan. Namun dibalik gegap gempita seluruh perayaan ketika seremoni berakhir, tersisa sebuah pertanyaan dalam benak kita yakni seberapa sungguh-sungguh kita telah menghargai guru atau para pendidik di negeri ini?
Penghormatan tanpa kesejahteraan adalah bentuk penghargaan yang setengah hati dan di sinilah persoalan besar pendidikan kita berada. Tidak dapat dipungkiri, guru dan para pendidik merupakan fondasi utama ketika kita berbicara tentang kemajuan sebuah bangsa. Mereka membentuk karakter, mengasah nalar kritis, dan menyiapkan generasi yang kelak memegang kendali masa depan. Guru merupakan pekerjaan mulia yang mana mempersembahkan hidupnya untuk dapat menjadi lampu yang terus-menerus menerangi jiwa dan pikiran anak didiknya sepanjang masa. Namun ironisnya, pekerjaan yang sangat strategis ini seringkali tidak diimbangi dengan kehidupan yang layak bagi mereka sendiri. Para pendidik sebagai sosok yang mengemban tugas mulia seringkali diabaikan dalam realita.
Di lapangan, masih banyak para pendidik terutama guru honorer yang menerima gaji jauh di bawah standar kebutuhan hidup. Bahkan tidak sedikit di antara para pendidik yang rela bekerja lebih bahkan ganda demi menutupi kekurangan keuangan yang mereka miliki. Hal ini tentu menjadi ironi saat di ruang kelas mereka tampil menjadi pahlawan, namun di luar kelas mereka harus berjuang bahkan untuk sekedar bertahan hidup.
Permasalahan terkait kesejahteraan para pendidik pada dasarnya lahir sebagian besar dari permasalahan ketimpangan kebijakan, sistem penganggaran yang kurang berpihak, serta birokrasi yang rumit. Berbicara terkait kesejahteraan guru dan para pendidik pada dasarnya bukan sekadar berbicara soal nominal dan gaji semata. Namun, hal ini lebih jauh menyoal martabat sebuah bangsa yakni soal bagaimana negara menghargai profesi yang menentukan kualitas peradaban ini. Ketika para pendidik tidak hidup dalam kondisi layak, hal ini tentu akan berdampak pada kualitas pengajaran yang dihasilkan. Saat energi mereka terpecah, waktu untuk pengembangan diri berkurang, dan semangat inovasi melemah, pada akhirnya yang paling dirugikan adalah siswa. Sebab pendidikan yang baik hanya bisa lahir dari para pendidik yang memiliki kesejahteraan dan ketenangan batin. Berkaca dari berbagai negara di belahan dunia, kita dapat melihat bahwasanya tidak ada negara maju yang tidak menempatkan guru pada posisi terhormat secara moral maupun ekonomi.
Lebih lanjut, hari guru seharusnya bukan hanya dilewati menjadi sekadar perayaan semata, namun menjadi pengingat dan pembelajaran bagi kita semua. Hari guru bukan hanya tentang mengucapkan terima kasih, tetapi juga momen refleksi apakah kita sudah menyediakan kondisi yang layak bagi mereka yakni para pendidik untuk bekerja? Apakah kebijakan pendidikan sudah benar-benar memihak para pendidik? Apakah kita sudah mengakui nilai fundamental profesi yang mereka emban?
Ucapan terima kasih adalah hal yang indah dan menyentuh hati, namun disamping itu bentuk penghargaan yang sesungguhnya yakni berupa kebijakan yang berpihak juga diperlukan. Jika masyarakat memahami pentingnya peran guru dan para pendidik dalam pertumbuhan bangsa ini, seharusnya kita dapat memandang peningkatan kesejahteraan mereka sebagai sebuah investasi nasional bukan sekadar pengeluaran anggaran.
Menghargai guru bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Orang tua, murid, bahkan masyarakat luas memiliki peran yang sama yakni melalui pemberian penghormatan waktu dan penghormatan terhadap pekerjaan mereka tanpa turut serta melakukan sebuah intervensi yang lebih dalam, membangun komunikasi yang sehat, tidak meremehkan profesi mereka, tidak menuntut hal-hal yang tidak masuk akal, dan memercayai bahwa setiap mereka bekerja hanya untuk kebaikan murid-muridnya.
Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan merayakan hari Guru. Namun kita harus memastikan bagaimana apresiasi tersebut tidak berhenti pada selebrasi simbolis semata karena ketika penghargaan menjadi budaya bukan seremoni, profesi guru akan berdiri dengan martabat yang lebih kuat. Guru layak mendapatkan penghormatan setiap hari yakni melalui kebijakan yang adil, perlakuan yang manusiawi, dan pengakuan atas besarnya peran mereka dalam kehidupan kita.
Menghargai guru bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi komitmen jangka panjang dan komitmen ini dapat dimulai dari kesadaran sederhana seperti yakni meyakini tanpa seorang guru, maka tidak ada cahaya yang diteruskan melalui profesi lain yang bisa tercipta melalui relung-relung ilmu pengetahuan. Guru adalah tangan-tangan sabar yang tidak hanya mengajarkan huruf dan angka, tetap juga membentuk karakter, membesarkan keberanian, menuntun hati, dan menyalakan cahaya dalam diri setiap anak. Tanpa mereka, perjalanan tumbuh kembang anak tidak akan pernah sama. Lebih lanjut, penghargaan sejati kepada guru sebaiknya bukan hanya ucapan terima kasih setiap tanggal 25 November, namun dengan memastikan mereka yang memilih jalan hidup sebagai pendidik mendapat pelatihan yang layak, lingkungan kerja yang manusiawi, kesempatan berkembang, dan kesejahteraan yang pantas. Sebab kualitas pendidikan tidak mungkin dihasilkan oleh guru yang bekerja dalam kondisi serba terbatas dan mengapresiasi guru berarti menginvestasikan masa depan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
