Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ainun Qolbi R

Ketika FOMO dan Konsumerisme Menjadi Hiburan Serta Status Sosial Generasi Muda

Eduaksi | 2025-11-20 14:43:50
Cr. Pinterest

Pernahkah kalian melihat video unboxing yang viral di TikTok atau Instagram, di mana seorang remaja maupun khalayak dewasa membuka sebuah kotak misterius yang kerap disapa dengan "blind box"" dengan rasa antusias yang tinggi, berharap mendapatkan barang langka? Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari budaya konsumsi modern yang melekat pada generasi muda. Blind box buying, atau membeli sebuah kotak misterius tanpa mengetahui isi di dalamnya yang secara tidak langsung merujuk pada "gambling but make it cute version". Fenomena tersebut telah menjadi simbol bagaimana Fear of Missing Out (FOMO) dan konsumerisme digital bersatu membentuk perilaku konsumsi generasi Z. Mulai dari figur anime, merchandise K-pop, hingga kosmetik edisi terbatas, aktivitas ini lebih dari sekadar membeli barang, hal tersebut adalah pengalaman sosial, hiburan, dan cara mengekspresikan identitas.

FOMO adalah salah satu pendorong utama fenomena ini. Ketika individu merasa takut tertinggal dari tren, momen, atau pengalaman yang dianggap penting oleh lingkungannya, disana lah media sosial hadir sebagai amplifier yang sempurna. Video unboxing, review produk, dan konten viral lainnya menimbulkan kesan bahwa “semua orang sudah melakukannya.” Algoritma platform seperti TikTok dan Instagram semakin memperkuat paparan ini dengan menampilkan konten serupa secara berulang, menciptakan tekanan sosial yang membuat pengguna merasa harus segera membeli barang tertentu. Berbasis dengan label “limited edition” atau peringatan “hanya beberapa kotak tersisa” memicu urgensi buatan, sehingga pembelian impulsif menjadi hal yang wajar. Sensasi “harus memiliki sebelum kehabisan” membuat blind box bukan sekadar barang, tetapi pengalaman yang mengikat secara emosional.

Selain FOMO, budaya konsumerisme modern juga memperkuat fenomena ini. Generasi Z melihat konsumsi sebagai sarana mengekspresikan diri, membangun status sosial, dan menjadi bagian dari komunitas tertentu. Blind box tidak lagi semata soal fungsi barang, melainkan tentang simbol dan nilai sosial. Membuka kotak, kemudian membagikan hasilnya di media sosial, memberi pengakuan dari teman dan komunitas online, yang menjadi validasi identitas digital. Konsumsi pun berubah menjadi performativitas dimana barang bukan sekadar dimiliki, tetapi dipamerkan dan dikagumi, menandakan siapa diri mereka di dunia virtual.

Daya tarik blind box terletak pada ketidakpastian dan kelangkaan. Sensasi “kejutan” memicu hormon dopamine, menghasilkan rasa senang dan penasaran yang membuat konsumen ingin terus mencoba. Brand sengaja menciptakan item langka atau ultra rare untuk mendorong pembelian berulang, sementara komunitas kolektor aktif di media sosial memperkuat nilai sosial barang tersebut. Aktivitas jual-beli dan trade di platform online menambah dimensi kompetitif dan sosial, sehingga blind box menjadi arena hiburan, koleksi, dan pembuktian status sekaligus.

Fenomena ini sangat relevan di era digital saat ini. Algoritma media sosial yang agresif mempromosikan tren secara berulang, sehingga pengguna merasa semua orang membeli produk yang sama. Unggahan unboxing menjadi konten bernilai tinggi, mengubah konsumsi menjadi tontonan yang memengaruhi eksistensi digital. Brand pun semakin kreatif dalam menciptakan hype dengan merilis produk terbatas atau musiman, sementara tekanan untuk menampilkan citra diri ideal di media sosial mendorong generasi muda membeli barang bukan semata untuk fungsi, tetapi untuk eksistensi. Konsumsi pun berubah menjadi hiburan, permainan sosial, sekaligus cara menegaskan identitas diri.

Namun, di balik sensasi dan kegembiraan, tren ini memiliki sisi gelap. Blind box mendorong pembelian impulsif dan overconsumption, yang berpotensi menimbulkan kerugian finansial, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Ketergantungan emosional pun bisa muncul, karena sensasi “menang” ataupun "puas" ketika mendapatkan item langka dapat bersifat adiktif. Fokus tersebut pada simbol barang daripada fungsi nyata menegaskan bagaimana konsumerisme modern semakin dirancang untuk menciptakan kebutuhan yang tidak nyata dan mengeksploitasi emosi pengguna, terutama rasa takut tertinggal.

Fenomena blind box menjadi cermin nyata bagaimana konsumsi digital telah berevolusi. Generasi muda kini tidak hanya membeli untuk kebutuhan, tetapi membeli untuk pengalaman, hiburan, dan eksistensi sosial. Setiap kotak yang dibuka menjadi momen emosional, sebuah cerita yang dibagikan secara online, dan cara menegaskan identitas di dunia digital. FOMO dan konsumerisme saling bersinergi, menciptakan budaya konsumsi yang serba cepat, adiktif, dan sangat terkait dengan media sosial. Bagi mereka, blind box bukan sekadar produk, melainkan simbol status, kesenangan, dan bagian dari cara hidup di era digital.

Kasus nyata menunjukkan fenomena ini dengan jelas. Misalnya, seorang remaja di Jakarta membeli blind box photocards edisi terbatas seharga Rp500.000 per kotak. Setelah mendapatkan kartu langka, ia menjualnya kembali dengan harga Rp2 juta di grup komunitas online. Fenomena serupa juga terjadi pada tren mini figur di TikTok, di mana video unboxing influencer viral membuat banyak remaja membeli beberapa kotak sekaligus karena takut ketinggalan tren. Bahkan di ranah skincare, brand lokal yang meluncurkan mystery box edition berhasil menarik konsumen muda membeli beberapa kotak sekaligus, meskipun mereka tidak mengetahui isinya, hanya karena ingin mengikuti hype yang diciptakan influencer.

Fenomena blind box buying menunjukkan bagaimana FOMO (Fear of Missing Out) dan budaya konsumerisme saling berinteraksi dalam membentuk perilaku konsumsi generasi muda di era digital. Konsumsi tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi menjadi sarana ekspresi diri, simbol status sosial, dan cara berpartisipasi dalam komunitas tertentu. Media sosial dan algoritmanya berperan sebagai amplifier, menciptakan urgensi, hype, dan ruang gema (echo chamber) yang memperkuat keputusan pembelian impulsif.

Kasus nyata seperti tren unboxing photocard K-pop, mini figur, atau mystery box skincare menunjukkan bahwa blind box buying menggabungkan unsur ketidakpastian, kelangkaan buatan, dan validasi sosial, sehingga menghadirkan sensasi emosional yang membuat konsumen terus kembali membeli. Di sisi lain, fenomena ini juga menimbulkan risiko overconsumption, kerugian finansial, dan ketergantungan emosional, karena nilai simbolik sering lebih diutamakan daripada fungsi barang itu sendiri.

Secara keseluruhan, blind box buying menjadi representasi nyata bagaimana konsumerisme modern dan FOMO memengaruhi perilaku digital generasi Z. Tren ini menegaskan pentingnya kesadaran kritis dalam konsumsi, agar kebutuhan emosional dan sosial tidak berubah menjadi jebakan finansial dan psikologis bagi kon

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image