Ketika AI Mahir Menulis Puisi: Lalu, Bagaimana Peran Sastrawan?
Sastra | 2025-11-20 09:51:20
Beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin mengerogoti dunia. Ia tidak hanya lihai menghitung data atau mengenali wajah, kini ia mampu meniru cara berpikir dan bersikap layaknya manusia. Bahkan, ia telah menandingi kemampuan menulis manusia dengan cara menciptakan karya sastra hanya dalam hitungan detik. Dari menulis cerpen, puisi, prosa, naskah drama, dan lain sebagainya diiringi berbagai variasi gaya bahasa.
Banyak orang kagum dengan kinerjanya. Bayangkan, hanya berbekal ketikan “Buatkan puisi tentang rindu kepada seseorang tidak bisa dimiliki”, dalam hitungan detik, belum sampai 5 menit AI akan meluncurkan larik-larik puitis yang mengagumkan karena menggunakan gaya bahasa yang menarik.
Namun, di balik semua itu, muncul sebuah pertanyaan besar. Di mana tempat sastrawan di dunia yang serba AI?
Ini adalah pertarungan sunyi antara sastrawan dan AI, antara rasa dan algoritma. AI memang mahir menyusun kata, tapi ia belum tentu menghidupkan makna. Bisakah ia merasakan rindu?
Faktanya, AI tidak pernah benar-benar merasakan. Puisi yang ditulis oleh AI lahir dari kumpulan data, bukan dari pergulatan batin atau pengalaman hidup. Mungkin, ia bisa meniru gaya puisi Sapardi Djoko Damono, WS. Rendra, maupun Chairil Anwar. Tetapi, ia tidak bisa merasakan gejolak cinta seperti Sapardi, mengungkapkan rindu seperti WS. Rendra, atau memberontak dalam sunyi seperti Chairil.
Sastrawan: Jiwa di Balik Untaian Kata
Peran sastrawan tidak hanya hadir ketika menulis. Peran sastrawan akan terus mengalir, laksana air yang membawa nilai-nilai kemurnian. Sastrawan adalah penafsir zaman, ia tidak hanya menulis, tetapi juga merekam kehidupan dan menggugat ketidakadilan. Sastrawan menghidupkan makna dalam peristiwa, mengolah emosi, dan menghadirkan kejujuran manusia di balik keindahan kata. Ketika AI menciptakan puisi yang sempurna secara struktur, sastrawan justru menawarkan ketidaksempurnaan yang jujur, dan di situlah letak keistimewaannya.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Alih-alih bersaing, mungkin kita bisa memanfaatkan kecerdasan buatan yang semakin merajalela. Sastrawan dan AI dapat berkolaborasi untuk menciptakan dan menyempurnakan suatu karya sastra. AI bisa menjadi sumber inspirasi, konsultasi ide, atau membantu mencari diksi, sementara sastrawan sebagai penggerak, pengendali utama yang memberi jiwa dan menghidupkan rasa pada karya. Jadi, AI di masa depan hanya akan membantu sastrawan, bukan sebagai pengganti dirinya berkarya. AI memang mahir mencipta, tapi sastrawan adalah pengendali rasa.
Pada akhirnya,puisi itu lahir dari rasa, dan rasa adalah sesuatu yang tidak dapat ditanamkan kepada mesin. AI bisa meniru, tetapi tidak bisa merasakan cinta, kehilangan, atau rindu. Selama manusia masih memiliki perasaan, sastra akan terus bernapas, dan sastrawan akan selalu punya tempat, bukan sebagai pesaing AI, tapi sebagai sumber makna yang hakiki.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
