QRIS dan Wisata Lokal: Mampukah Indonesia Menyaingi Standar Global?
Wisata | 2025-11-12 15:26:14
Kalau kita lihat ke negara tetangga, pembayaran dengan kode QR sudah jadi hal yang sangat biasa. Thailand punya PromptPay, Malaysia punya DuitNow QR, Singapura dengan SGQR, Jepang dengan JPQR, sementara China bahkan sudah menjadikan Alipay dan WeChat Pay bagian dari kehidupan sehari-hari. Indonesia sendiri baru meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada tahun 2019. Menurut saya, langkah ini memangpatut diapresiasi karena langsung mendorong masyarakat ke arah digital, tapi pertanyaannya “Apakah QRIS di wisata lokal sudah cukup siap untuk bersaing dengan standar global?”
Saya melihat QRIS punya banyak peluang. Pertama, efisiensi transaksi. Wisatawan tidak perlu repot bawa uang tunai, cukup scan QR dan pembayaran beres. Hal ini bisa membuat pengalaman wisata lebih nyaman, sama seperti di Singapura yang hanya butuh satu kode QR untuk semua aplikasi. Kedua, QRIS bisa mendukung promosi UMKM. Dengan transaksidigital, data penjualan lebih rapi dan bisa dipakai untuk strategi promosi. Pola ini mirip dengan yang ada di China, dimana data transaksi dipakai untuk mendorong pariwisata. Ketiga, QRIS bisa membantu transparansi dan pemberdayaan UMKM.
Catatan transaksi digital bisa jadi bukti untuk mengajukan kredit, sebagaimana PromptPay di Thailand berhasil mendukung masyarakat mengakses layanan keuangan.Namun, ada juga sisi yang bikin saya kritis. Masalah paling besar adalah kesenjangan infrastruktur internet. Banyak desa wisata di Indonesia masih kesulitan sinyal, sehingga QRIS sering tidak bisa dipakai. Studi di Kelurahan Tanjung Harapan menunjukkan transaksi QRIS kerap gagal hanya karena jaringan lemah. Lalu, literasi digital UMKM masih terbatas. Hasilpenelitian di Batu Lawang memperlihatkan pedagang masih bingung membaca laporan digital meskipun sudah pakai QRIS. Selain itu, preferensi wisatawan juga tidak sama. Wisatawan asing terbiasa dengan QR, tapi banyak wisatawan lokal, terutama generasi lebihtua, masih lebih nyaman dengan uang tunai. Di sisi lain, sudah ada beberapa contoh nyata di Indonesia yang menurut saya cukup berhasil. Misalnya, Desa Wisata Cikaso mulai menerapkan tiket masuk dengan QRIS sehinggapembayaran lebih transparan. Di Wisata Siring Banjarmasin, pedagang merasa lebih mudah
mencatat transaksi dengan QRIS. Bahkan, pelatihan di Batu Lawang membuat UMKM mula mengenal pencatatan keuangan digital, walaupun belum semua lancar.Kalau dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya masih dalam posisi mengejar. Singapura sudah lebih dulu memudahkan turis lewat SGQR yang lintas aplikasi. Jepang gencar mempromosikan JPQR untuk wisatawan asing. China jelas lebih jauh lagi, karena hampir semua transaksi masyarakat pakai QR. Indonesia baru sampai tahap kerja sama lintasnegara ASEAN, di mana QRIS bisa dipakai di Thailand, Malaysia, dan Singapura, serta sebaliknya. Menurut saya, langkah ini bagus, tapi kalau mau bersaing global, integrasi dengan Jepang dan China harus segera diwujudkan.
Buat saya, QRIS adalah langkah besar dalam digitalisasi pariwisata Indonesia. Ia memberi efisiensi, transparansi, dan peluang bagi UMKM. Tapi saya juga tidak menutup mata bahwa infrastruktur kita masih lemah, literasi digital belum merata, dan preferensi wisatawan masihcampur-campur. Menurut saya, solusi yang realistis adalah pendekatan hybrid seperti QRIS tetap diperluas tapi uang tunai jangan dihapus dulu, supaya semua wisatawan bisa terakomodasi. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan jaringan internet di desa wisata dan rutin mengadakanpelatihan digital bagi UMKM. Terakhir, kerja sama internasional harus diperkuat supaya QRIS bisa sejajar dengan standar global. Kalau itu bisa dijalankan, saya yakin QRIS bukan hanya jadi alat bayar, tapi juga simbol kesiapan pariwisata Indonesia menghadapi dunia digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
