Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ramdhan Harits A

Gacha: Antara Seru, Cemas, dan Ketagihan

Games | 2025-11-12 12:12:18

Gacha Itu Apa, Sih?

Sources : Wuthering Waves, Honkai Star Rail. Punishing Gray Raven

Buat banyak orang, main game itu jadi pelarian dari rutinitas hidup yang kadang terasa monoton. Tapi sekarang, bermain nggak lagi cuma soal menyelesaikan misi atau menikmati cerita. Dalam beberapa judul populer seperti "Honkai: Star Rail", "Wuthering Waves", "Zenless Zone Zero", dan banyak judul lain, ada sistem bernama gacha yang jadi bagian utama keseruannya.

Gacha itu sederhananya kayak undian digital. Player ngumpulin mata uang virtual (kadang hasil main, kadang beli pakai uang asli) terus “nge-pull” buat dapetin karakter atau item langka. Kita ambil satu contoh dari Honkai: Star Rail misalnya, kemungkinan dapet karakter bintang lima cuma sekitar 0,6% di antara 90 pull. Itu pun belum menghitung persentase 60/40 apabila player dalam kondisi rate off (kondisi player antara dapat karakter limited atau standard). Karena hasil dari gachanya acak, banyak player terus nyoba, berharap “Next Pull” mereka akhirnya bawa hoki. Di titik itu, main game perlahan mulai terasa kayak taruhan kecil yang dikemas dengan grafis keren dan musik megah.

Kenapa Bisa Bikin Nagih

Secara psikologis, sistem kayak gacha disebut variable-ratio reward jenis pola hadiah yang paling bikin ketagihan karena pemain nggak tahu kapan hadiah berikutnya bakal keluar. Setiap percobaan selalu ngasih sedikit harapan, dan justru ketidakpastian itulah yang bikin orang terus coba lagi. Pola ini sama persis kayak yang dipakai mesin slot atau lotre.

Riset Spicer dkk. (2022) dalam "Loot boxes and problem gambling: Investigating the “gateway hypothesis”" menunjukkan, pemain yang sering beli loot box yang merupakan salah satu jenis dari gacha punya kecenderungan lebih tinggi ngalamin perilaku mirip judi. Studi González-Cabrera dkk. (2023) dengan judul "Loot box purchases and their relationship with internet gaming disorder and online gambling disorder in adolescents: A prospective study" juga nemuin remaja yang terbiasa beli loot box lebih mungkin nyobain perjudian online beberapa bulan kemudian. Jadi ya, batas antara “main game” dan “berjudi kecil-kecilan” bisa setipis layar ponsel.

Meta yang Datang dan Pergi

Kalau kamu main Honkai: Star Rail atau game RPG gacha sejenis, pasti tahu istilah “meta” atau karakter yang lagi kuat dan paling dicari. Tapi meta ini cepat banget berubah. Karakter yang dulu dibilang “dewa damage” bisa tiba-tiba kalah pamor gara-gara update baru. Banyak pemain akhirnya ngerasa harus ikut banner setiap kali karakter baru rilis, biar nggak ketinggalan.

Uniknya, beberapa karakter meta cuma benar-benar efektif kalau udah dapetin duplikat karakternya. Contohnya Cyrene, yang katanya baru bisa digunain secara normal kalau udah E2 (3 Duplikat) atau lebih. Buat sampai ke situ, player harus gacha berkali-kali yang artinya pengeluaran bisa melambung tinggi.

Menurut penelitian Andri Seta Baskara (2025) dalam "The influence of perceived aggressive monetization on mobile gamers' in-app purchase behavior", fenomena kayak gini disebut aggressive monetization atau strategi bisnis yang lebih fokus ngejar keuntungan ketimbang kepuasan pemain. Game didesain supaya pemain terus keluar uang buat ngejar meta baru. Jadinya, yang tadinya kompetisi antar-karakter berubah jadi kompetisi antar-dompet.

Bukan Cuma Soal Uang

Kelihatannya sepele sekedar “nge-pull” tapi efeknya bisa serius. Studi Lucy Tran dkk. (2024) di The Lancet Public Health nyebut, sekitar 1,4% orang dewasa di dunia udah ngalamin gangguan judi, dan angka yang berisiko jauh lebih tinggi. Kalau mekanisme mirip judi ini muncul di game yang bisa diakses siapa aja, termasuk anak di bawah umur, dampaknya otomatis jadi urusan kesehatan masyarakat.

Banyak pemain mengaku stres atau nyesel setelah sadar udah ngeluarin banyak uang tanpa hasil. Efek “senang” pas dapet karakter langka sebenarnya hasil dari hormon dopamin di otak. Tapi sensasi itu cepat hilang, dan tubuh minta diulang. Di situlah lingkaran kecanduan mulai terbentuk.

Fenomena di Indonesia

Indonesia termasuk salah satu pasar game terbesar di Asia Tenggara. Data dari GGWP.id nunjukin ada lebih dari 76 juta pemain mobile, dengan nilai industri capai Rp 22,9 triliun pada 2022. Dan game dengan sistem gacha jadi penyumbang besar di angka itu.

Nggak sedikit gamer muda yang ngaku pernah habisin ratusan ribu sampai jutaan rupiah demi karakter limited. Karena transaksi bisa lewat e-wallet atau pulsa, bahkan anak sekolah pun bisa ikut “nge-pull” pakai uang asli tanpa pengawasan. Beda sama Jepang atau Belgia yang udah punya regulasi soal loot box, Indonesia masih belum punya aturan jelas. Akibatnya, batas antara hiburan dan risiko finansial makin tipis.

Main Boleh, Tapi Jangan Lepas Kendali

Nggak semua game gacha berbahaya, dan nggak semua pemain pasti kecanduan. Tapi penting buat sadar kalau di balik cerita keren dan animasi megah, ada sistem ekonomi yang sengaja dirancang buat bikin pemain terus pengin beli lagi.

Nggak harus selalu ikut meta, nggak perlu maksa punya semua karakter limited. Meta bakal terus berubah, dan karakter lama sering kali masih bisa dipakai dengan cara yang kreatif. Lebih baik nikmatin game sesuai kemampuan dan kesenangan sendiri.

Langkah kecil kayak nentuin batas pengeluaran, berhenti main pas mulai emosional, dan ngerti peluang drop rate bisa bantu kita tetap waras di dunia yang serba “limited time offer”. Di sisi lain, pengembang dan pemerintah juga perlu ikut tanggung jawab, biar sistem ini nggak makin mirip perjudian terselubung.

Penutup

Game seharusnya jadi tempat buat bersenang-senang, bukan ajang taruhan digital. Tapi ketika keseruan berubah jadi tekanan, dan ketika gacha lebih sering bikin cemas daripada senang, mungkin sudah waktunya kita berhenti sebentar dan refleksi.

Gacha bisa seru, bisa memacu adrenalin, tapi tanpa batas dan kesadaran diri, ia juga bisa jadi pintu kecil menuju masalah besar. Dalam konteks kesehatan masyarakat, ini bukan cuma soal gamer yang boros, tapi soal bagaimana sistem digital pelan-pelan memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku tanpa kita sadari.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image