Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aarsyah

Luka yang Tak Terlihat: Belajar Empati dari Tragedi Sekolah

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-12 10:45:18

Beberapa hari lalu, berita tentang ledakan di salah satu SMA di Jakarta mengguncang banyak orang. Di balik asap dan kepanikan, kita melihat sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada bom itu sendiri: seorang siswa yang merasa tidak punya tempat di dunia yang seharusnya menjadi ruang belajarnya.

Saya tidak ingin menulis tentang pelaku, jumlah korban, atau kronologi ledakan. Yang lebih penting untuk dibicarakan adalah apa yang sering luput dari perhatian: bagaimana sekolah bisa begitu dekat dengan luka, tapi tidak pernah menyadarinya.

Kita sering memuji sekolah sebagai “rumah kedua,” tetapi bagi sebagian siswa, rumah itu terasa dingin. Di ruang kelas, mereka duduk berjejer, mendengarkan pelajaran yang padat, tetapi hatinya kosong. Ruang itu penuh suara, tetapi minim pendengaran. Banyak remaja merasa tidak benar-benar dilihat, apalagi dipahami.

Ketika seorang siswa mulai menarik diri, nilai turun, atau sikapnya berubah, reaksi yang muncul sering kali sederhana: “dia malas,” atau “kurang motivasi.” Jarang sekali ada yang berhenti sejenak untuk bertanya, “apa yang sebenarnya sedang dia alami?” Padahal di balik sikap acuh atau kenakalan, sering tersembunyi perasaan tertekan, kesepian, bahkan putus asa.

Dalam banyak kasus, termasuk tragedi yang baru-baru ini terjadi, tanda-tanda peringatan sebenarnya ada. Tapi siapa yang punya waktu untuk membacanya? Guru disibukkan tumpukan administrasi, orang tua sibuk mengejar nafkah, sementara siswa terjebak di antara ekspektasi tinggi dan kenyataan hidup yang penuh tekanan.

Kita sedang menghadapi krisis empati yang sunyi. Dunia pendidikan terlalu fokus pada angka, prestasi, dan peringkat. Anak-anak diajarkan cara menghitung cepat, tapi tidak diajarkan cara memahami perasaan sendiri. Mereka belajar menaklukkan soal ujian, tapi tidak belajar bagaimana menenangkan diri ketika gagal. Mereka diajar untuk bersaing, tapi jarang diajar untuk saling memahami.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah era keterhubungan digital. Media sosial membuat setiap orang terlihat “dekat”, tapi sebenarnya semakin jauh. Di sana, siswa mencari tempat bercerita, tapi justru bertemu ruang yang penuh perbandingan dan ejekan. Rasa sakit yang tidak tertampung di dunia nyata, kadang meledak di dunia maya atau dalam kasus terburuk, menjadi ledakan nyata di dunia fisik.

Kita tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Tragedi semacam ini tidak lahir dari satu kesalahan tunggal, tapi dari sistem yang lama dibiarkan pincang. Sekolah terlalu menekankan kedisiplinan tanpa kehangatan. Keluarga terlalu sibuk mengejar kestabilan ekonomi, hingga lupa menyediakan ruang emosional. Dan masyarakat terlalu cepat menghakimi, terlalu lambat memahami.

Sudah saatnya kita mengembalikan nilai empati sebagai inti dari pendidikan. Sekolah seharusnya tidak hanya mencetak siswa berprestasi, tetapi juga manusia yang tahu bagaimana memperlakukan sesamanya dengan kasih. Setiap sekolah idealnya memiliki tenaga psikolog tetap, ruang konseling yang aman, dan budaya mendengar yang benar-benar hidup bukan sekadar formalitas “bimbingan konseling” yang jarang dikunjungi.

Selain itu, penting juga bagi guru untuk mendapat pelatihan mengenai deteksi dini gangguan psikologis. Sekadar mengenali tanda-tanda kelelahan mental atau tekanan sosial bisa menyelamatkan satu kehidupan. Bagi siswa, perlu ada ruang-ruang aman untuk berbicara tanpa takut dihakimi. Dan bagi orang tua, mungkin sudah saatnya kita belajar kembali bahwa mendengarkan adalah bentuk cinta paling sederhan, tetapi paling sulit dilakukan.

Tragedi di Jakarta seharusnya menjadi pengingat, bukan sekadar headline yang hilang setelah satu minggu. Kita mungkin tak bisa mencegah setiap ledakan, tapi kita bisa menciptakan lingkungan yang tak membuat anak ingin meledak. Sebab sebelum ada bom, selalu ada kesepian yang tak sempat kita temui kesepian yang tumbuh di ruang kelas, di meja makan, di antara pesan-pesan singkat yang tak pernah benar-benar menjawab “kamu kenapa?”

Pendidikan sejati bukan sekadar proses mengajar, tapi juga keberanian untuk melihat manusia di balik seragamnya. Jika kita gagal memahami itu sehingga tragedi serupa bukan hanya mungkin terulang, tapi seolah menjadi konsekuensi dari ketulian kolektif kita terhadap luka yang tak terlihat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image