Politik Bendera One Piece
Politik | 2025-11-12 10:39:26Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan dengan isu larangan pengibaran bendera One Piece oleh pemerintah. Menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80. Di berbagai daerah di Indonesia, bendera One Piece mulai berkibar sebagai simbol perlawanan sekaligus kritik terhadap pemerintah. Tidak hanya di halaman rumah, tetapi juga di fasilitas umum hingga kendaraan pribadi. Bagi sebagian orang, bendera ini bukan sekadar hiasan “kartun”, melainkan cara sederhana untuk menyuarakan kekecewaan dan keresahan yang mereka rasakan. Aksi tersebut dinilai melanggar hukum sekaligus dapat mengurangi makna serta simbol perjuangan bangsa.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Budi Gunawan, menegaskan bahwa gerakan itu berpotensi memprovokasi, menimbulkan keresahan, dan melemahkan nilai-nilai kebangsaan. Dalam pernyataannya, beliau mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. “Konsekuensi pidana dari tindakan yang mencoreng kehormatan Bendera Merah Putih jelas diatur dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan, ‘Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun’. Ini adalah upaya kita untuk melindungi martabat dan simbol negara,” tegasnya. Sikap tegas pemerintah ini di dukung oleh Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa negara berhak melarang pengibaran bendera bajak laut One Piece karena dianggap melanggar hukum.
Kita semua tahu kalau Indonesia adalah negara demokrasi, artinya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi anehnya, kenapa kebebasan berekspresi masih sering dibatasi? Misalnya soal bendera “kartun” yang tiba-tiba dianggap ancaman. Padahal, kalau merujuk aturan, pengibaran bendera One Piece sebenarnya tidak masalah selama tidak dipasang lebih tinggi dari bendera Merah Putih. Sama saja seperti bendera partai, organisasi mahasiswa, atau klub sepak bola yang sudah biasa kita lihat. Jadi, pertanyaannya, kenapa hanya bendera One Piece yang dipermasalahkan sampai disebut makar, separatis, bahkan gerakan pemberontakan?
Pada Selasa, 12 Agustus 2025, Tabroni menyampaikan bahwa tren bendera One Piece yang ramai di media sosial saat ini bisa dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang kerap diangkat dalam cerita animenya. “Kalau dilihat dari konteks filmnya, itu merupakan bentuk simbolik dari perjuangan melawan ketidakadilan secara umum, bukan dalam arti menentang pemerintah,” ujar Tabroni dari salah satu anggota DPRD Kabupaten Jember, PDI Perjuangan.
Pemerintah harusnya lebih mempertimbangkan ucapan mereka kepada khalayak karena akan sangat berpengaruh bagi masyarakat kedepannya. Meskipun demikian, sebenarnya tujuan dari aturan ini adalah untuk menjaga kehormatan simbol negara. Bendera Merah Putih dianggap sakral, jadi wajar kalau pemerintah ingin melindungi martabatnya. Menghormati bendera nasional juga penting agar makna yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan tidak hilang, sekaligus agar kita terhindar dari perpecahan..
Menurut ahli hukum seperti Abdul Fickar Hadjar (Universitas Trisakti), pengibaran bendera One Piece tidak melanggar hukum karena tidak ada peraturan yang melarangnya, serta merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Sementara itu, pakar sosiologi seperti Ubedilah Badrun (UGM) melihatnya sebagai simbol ekspresi politik dan sosial dari masyarakat, terutama generasi muda, untuk menyuarakan keresahan dan kritik terhadap pemerintah melalui budaya populer, bukan sebagai tindakan makar atau perlawanan negatif, serta Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan pengibaran bendera One Piece atau memasangnya di media sosial merupakan ekspresi kritis warga ketika mereka sudah lelah dengan negeri yang tidak kunjung memberi kabar baik buat warga bangsanya.
Namun, ada beberapa hal yang dilarang di Indonesia. Pertama, mengibarkan bendera selain Merah Putih di tempat resmi/kenegaraan. Kedua, sesuai aturan dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Ketiga, Mengibarkan bendera yang mengandung untuk SARA, separatis, atau ideologi terlarang, dan melecehkan Merah Putih, misalnya meginjak, membakar, dan mengganti warna/logo lain. Adapun dari sisi masyarakat, pelarangan pengibaran bendera tersebut merupakan hal yang tidak seharusnya mendapatkan tindakan yang serius karena bukan hal yang menentang pemerintah. Kita harus memahami norma dan etika yang berlaku juga.
Komunikasi Politik
Jadi kita harus mengetahui antara ekpresi budaya, hukum, dan aturan yang berlaku. Harusnya pemerintah memberi ruang komunikasi antar masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang terjadi seperti sekarang ini. Pengibaran bendera ini bisa dipandang oleh sebagian orang sebagai hiburan, kreativitas, dan kecintaan terhadap budaya luar, tentu kita juga sebagai masyarakat harus paham tentang aturan yang berlaku di Indonesia. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 menjamin bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Hak ini juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 Ayat 2 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan/tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memerhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Larangan ini juga bukan hanya menolak tetapi juga sebagai kecintaan terhadap negara sebagai upaya menjaga kehormatan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Lebih baik berhati-hatilah dalam mengucapkan ucapan atau statement yang membuat publik merasa geram. Di satu sisi lucu dan ironi dengan negara kita tercinta ini. Kita sebagai masyarakat khawatir tentang kemajuan bangsa ini. Semoga dengan ramainya berita ini bisa menjadi evaluasi untuk pemerintah dan masyarakat agar lebih hati-hati dalam bertindak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
