Menyelami Pikiran Generasi Z: Antara Kesadaran Diri dan Tantangan Overthinking
Eduaksi | 2025-11-11 21:54:05
Generasi Z di Era Informasi Tanpa Henti
Kita hidup di era yang bergerak tanpa henti. Notifikasi datang setiap menit, tren terbaru muncul sebelum yang lama sempat berlalu, dan arus berita mengalir tanpa jeda. Generasi Z tumbuh dalam kecepatan ini selalu dituntut untuk memiliki arah, berpikir cepat, dan terus produktif. Namun, di balik ritme yang cepat itu, banyak dari kita merasa terbebani oleh pikiran sendiri. Kepala terasa penuh, hati gelisah, dan waktu sering terbuang hanya untuk memikirkan hal-hal yang terkadang tidak terlalu penting. Fenomena overthinking pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian.
Ketika Kesadaran Diri Berubah Menjadi Beban
Generasi ini dikenal sebagai kelompok yang sangat sadar diri. Kita diajarkan untuk mengenali potensi, mengeksplorasi jati diri, dan berusaha selalu berkembang. Namun, kesadaran yang semestinya menjadi modal besar ini ironisnya sering berubah menjadi beban psikologis. Kita menuntut diri agar selalu bisa, selalu benar, dan selalu memiliki arah yang jelas dalam hidup. Ketika target belum tercapai, segera muncul rasa bersalah dan kegelisahan. Padahal, tidak ada salahnya untuk menerima bahwa tidak semua orang siap menghadapi semuanya secara sempurna. Bahkan orang yang terlihat sangat yakin pun sering kali mengalami kebingungan yang tak terlihat oleh orang lain.
Media Sosial sebagai Cermin yang Terkadang Menipu
Media sosial telah menjadi ruang yang sulit dihindari. Setiap hari kita disuguhkan gambaran kehidupan orang lain yang tampak ideal pencapaian, kebahagiaan, atau momen keberhasilan. Namun, tanpa disadari kita terjebak dalam siklus membandingkan diri: “Mengapa mereka bisa, sedangkan saya belum?” Padahal, apa yang kita lihat hanyalah potongan terbaik dari kenyataan, bukan keseluruhan kisah hidup mereka. Sayangnya, otak kita cenderung menerima perbandingan ini secara mentah-mentah, yang kemudian menimbulkan perasaan tidak cukup, kecemasan berlebih, dan pikiran yang terus berputar tanpa arah.
Budaya Produktivitas yang Menjemukan
Di zaman sekarang, diam dianggap sebagai tanda kemunduran. Kita telah terbiasa bahwa hidup harus selalu sibuk agar terasa bermakna. Bangun pagi harus punya target, malam hari harus menghasilkan sesuatu. Jika tidak, rasa bersalah segera muncul. Padahal, tidak setiap hari harus diisi dengan pencapaian. Kadang, berhenti sejenak justru menjadi bagian penting dari proses pertumbuhan. Dunia tidak akan runtuh hanya karena kita memilih untuk beristirahat. Namun, banyak dari kita sulit meyakini hal tersebut karena takut tertinggal dan takut dianggap tidak cukup cepat.
Refleksi Sehat dan Perangkap Overthinking
Berpikir dan refleksi diri adalah hal penting yang membantu kita memahami perjalanan hidup. Namun, ada perbedaan mendasar antara refleksi sehat dan overthinking yang hanya melelahkan pikiran. Refleksi yang sehat mendorong kita untuk bertindak dan memperbaiki diri, sedangkan overthinking membuat kita terdiam di tempat, terlalu sibuk menimbang risiko dan memikirkan kegagalan hingga akhirnya tidak melangkah. Rasa takut yang sering kita rasakan sebenarnya lebih banyak berasal dari dalam kepala kita sendiri, bukan dari kenyataan yang ada.
Membangun Ketenangan dan Empati pada Diri Sendiri
Menghilangkan overthinking bukanlah hal yang mudah, tapi mengendalikannya sangat mungkin dilakukan. Kita tidak perlu berhenti berpikir sama sekali, melainkan belajar mengenali kapan harus berhenti menekan diri sendiri. Tidak setiap keputusan harus sempurna, dan tidak semua persoalan harus segera dijawab. Ketenangan bukan berarti apatis, melainkan kemampuan untuk mengenal batas antara usaha dan penerimaan.
Menjadi sadar diri tidak berarti harus selalu benar dan kuat, tapi juga tahu kapan saatnya beristirahat, kapan saatnya berjuang, dan kapan harus menerima diri apa adanya. Pada akhirnya, overthinking bukanlah tanda kelemahan; ia merupakan manifestasi dari upaya kita memahami kehidupan. Namun, memahami tidak berarti harus memikirkan segala hal secara berlebihan. Terkadang, berjalan perlahan dan belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dikontrol merupakan bentuk keberanian yang sesungguhnya.
“Hal paling berani yang bisa dilakukan bukanlah menaklukkan dunia, melainkan menenangkan pikiran sendiri.”
Created by Aurora Neza Awwaluna. Mahasiswa prodi Teknologi Radiologi Pencitraan UNAIR.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
