Ironi Bangsa Digital: Cerdas Talenta, Krisis Perangkat Keras
Teknologi | 2025-11-10 13:29:27Perangkat pintar yang kita genggam sejatinya merupakan produk rakitan dari komponen impor. Lebih dalam lagi, chip semikonduktor yang menjadi "otak" dari perangkat keras tersebut, dirancang dan diproduksi seluruhnya oleh negara lain.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan fundamental: Sudahkah Indonesia benar-benar berdaulat di era digital? Atau kemajuan pesat yang kita banggakan ini hanya sebatas menumpang pada kemajuan teknologi bangsa asing?
Ancaman Ketergantungan Strategis
Faktanya, ketergantungan Indonesia pada perangkat keras impor telah menjadi sebuah kerentanan strategis yang serius. Ini bukan sekadar asumsi. Laporan terbaru dari Kementerian Perdagangan mencatat, neraca perdagangan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia pada Januari 2024 mengalami defisit sebesar 0,30 miliar dollar AS.
Sebuah paradoks terjadi di tengah upaya kita membangun infrastruktur digital. Seperti yang dianalisis oleh lembaga riset Ken Research, masifnya investasi asing untuk pembangunan pusat data (data center) di dalam negeri justru memperdalam ketergantungan ini.
Mengapa demikian? Sebagian besar alokasi dana investasi tersebut tidak bertahan lama di Indonesia. Dana itu kembali ke luar negeri untuk membiayai impor server (komputer berkapasitas tinggi) dan prosesor (inti pemrosesan data). Ini adalah tren yang angkanya juga tercatat jelas oleh Kementerian Perdagangan.
Persoalan ini bukan lagi sekadar menyangkut ekonomi, melainkan telah menyentuh isu kedaulatan dan keamanan nasional. Ketika seluruh infrastruktur digital dari sistem perbankan, data kependudukan, hingga layanan pemerintah berjalan di atas "otak" yang dikendalikan oleh segelintir korporasi global, Indonesia pada dasarnya sedang membangun sebuah ekosistem digital yang megah di atas fondasi yang bukan miliknya.
Peluang yang Belum Tergarap
Sikap Indonesia ini sangat kontras dengan langkah strategis negara-negara tetangga yang bergerak cepat. India, misalnya, melalui program ambisius "India Semiconductor Mission", berani mengalokasikan dana 10 miliar dollar AS untuk membangun ekosistem chip yang mandiri.
Laporan dari Viettonkin Consulting menyebutkan bahwa Vietnam menargetkan pencetakan 50.000 insinyur semikonduktor pada 2030. Sementara itu, menurut dokumen "National Semiconductor Strategy", Malaysia telah menginvestasikan lebih dari 5 miliar dollar AS untuk tujuan serupa.
Padahal, Indonesia memiliki potensi yang tidak kalah besar. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Basuki Rachmatul Alam dari ITB menyoroti bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam dan manusia yang mumpuni untuk pengembangan chip.
Ironisnya, potensi itu belum tergarap. Basuki juga menggarisbawahi adanya keraguan di kalangan talenta muda mengenai prospek kerja di bidang ini. Akibatnya, keahlian para talenta terbaik bangsa ini justru sangat dicari dan dimanfaatkan di luar negeri.
Upaya proaktif untuk menjembatani kesenjangan ini mulai terlihat. Pada Juni 2024, delegasi gabungan dari berbagai universitas terkemuka, termasuk FT UB, UGM, UI, ITB, dan ITS, berpartisipasi dalam Bavarian Semiconductor Congress di Jerman untuk menjajaki kerja sama teknologi terkini.
Inisiatif konkret lainnya adalah pembentukan Indonesia Chip Design Collaborative Center (ICDEC). Ini adalah organisasi nirlaba yang diprakarsai oleh Polytron bersama 13 universitas, yang didukung oleh Kementerian Perindustrian untuk menghubungkan dunia akademisi dengan industri.
Tiga Langkah Kebijakan Konkret
Untuk keluar dari jebakan ketergantungan ini, diperlukan langkah kebijakan yang konkret dan terarah dari pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu meluncurkan "Inisiatif Desain Chip Merah Putih". Program ini harus menjadi jembatan antara dunia riset di universitas dan kebutuhan nyata industri. Dukungan nyata bisa berupa akses bersubsidi terhadap perangkat lunak desain (design software) serta ketersediaan pendanaan khusus untuk pembuatan prototipe (model uji coba pertama).
Kedua, stimulus fiskal yang spesifik perlu diberikan. Contohnya, "kredit pajak Desain-di-Indonesia" bagi perusahaan teknologi, baik lokal maupun global, yang berkomitmen melakukan riset dan pengembangan desain chip di dalam negeri.
Ketiga, dan yang paling penting, pemerintah harus memanfaatkan kekuatan pengadaannya sebagai katalis pasar. Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) perlu diperluas. Aturan ini tidak boleh hanya berhenti pada perakitan, tetapi harus mewajibkan penggunaan komponen chip hasil desain lokal. Sebagai permulaan, target 30 persen chip desain lokal bisa diwajibkan dalam proyek-proyek strategis seperti pengadaan KTP elektronik, meteran listrik pintar, dan perangkat pertahanan.
Prasyarat Kemerdekaan Digital
Pada akhirnya, kemandirian teknologi bukan lagi sebuah kemewahan. Ia adalah prasyarat mutlak untuk kedaulatan bangsa di abad ke-21. Tanpa kemampuan merancang "otak" dari perangkat teknologi yang kita gunakan sehari-hari, Indonesia berisiko selamanya menjadi pasar, bukan pemain utama di panggung global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
