Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arry Azhar

Rindu yang Tersimpan di Pintu Pesantren

Kabar Pesantren | 2025-11-10 05:50:14

Ada rindu yang tidak bisa diceritakan dengan kata. Rindu yang hanya bisa terucap lewat pelukan, lewat air mata yang menetes diam-diam, atau lewat suara yang bergetar saat memanggil nama anak sendiri.

Rindu itu bernama mudif.

Bagi sebagian orang, mudif hanyalah kunjungan biasa. Tapi bagi kami, orang tua yang anaknya menempuh pendidikan di pondok pesantren, mudif adalah hari raya kedua setelah Idul Fitri. Hari di mana rindu yang selama berbulan-bulan tertahan akhirnya menemukan jalan pulang.

Putri kami memilih jalan pendidikan yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya, jalan pesantren. Dari semua anak di keluarga besar kami, hanya dia yang memilih jalur ini. Saat pertama kali mengantarnya, hati kami berdebar, akankah ia betah? Akankah ia kuat jauh dari rumah? Tapi ia tersenyum kecil, menunduk, dan berkata,

“Doakan saja, Abi, Umi. Aku ingin belajar di sini.”

Sejak hari itu, setiap kali melewati kamarnya yang kini sepi, hati kami seperti terseret kenangan. Tempat tidurnya tetap kami rapikan setiap pagi, seolah ia akan pulang kapan saja. Bahkan adik-adiknya sering membuka lemari hanya untuk mencium bau bajunya yang tertinggal.

Ketika pengumuman mudif datang, hati kami serasa melonjak. Kami menandai tanggal itu di kalender dengan lingkaran merah besar. Kami semua bersiap, menyiapkan makanan kesukaannya, memesan penginapan di sekitar pondok, hingga meminta izin untuk adik-adiknya agar bisa ikut menjenguk.

Perjalanan panjang dari Jakarta menuju Ngawi terasa seperti ziarah cinta. Tujuh jam di jalan, tapi rasanya ringan, karena di ujung sana ada seseorang yang kami rindukan setiap hari.

Di sepanjang jalan tol yang membelah sawah dan bukit, kami banyak diam. Setiap kali melihat anak-anak sebaya dia berjalan di tepi jalan, kami saling pandang dan teringat, betapa cepat waktu berlalu. Masih terasa seperti kemarin saat ia berlari ke pangkuan kami dengan seragam SD-nya yang kebesaran.

Menjelang sampai, telepon genggam istri saya berdering. Suara di seberang sana lirih tapi bergetar, “Abi... Umi... sudah jalan, ya?” Kami hanya sempat menjawab, “Iya, Kak... sebentar lagi sampai.”

Dan di saat itu, entah mengapa, dada saya terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang menekan, antara bahagia dan haru yang tak bisa dijelaskan.

Kami tiba di pondok sekitar pukul setengah tiga sore. Panas Ngawi menyengat, tapi hati kami terasa teduh. Setelah menata barang dan melapor ke wisma, kami duduk di beranda, menunggu. Setiap langkah kaki di kejauhan membuat jantung kami berdetak lebih cepat.

Lalu, di antara sekian banyak santri yang berjalan dengan seragam panjang dan kerudung rapi, kami melihat sosok itu, putri kami.

Ia berjalan pelan, menunduk. Ketika jarak tinggal beberapa langkah, ia mengangkat wajahnya dan di detik itu dunia seakan berhenti. Ia berlari kecil, dan kami berpelukan. Erat. Tanpa kata.

Air mata mengalir begitu saja. Air mata rindu, air mata syukur, air mata cinta yang selama ini menunggu kesempatan untuk keluar. Istri saya terisak, memeluk bahunya tak lepas-lepas. Adik-adiknya menangis juga, meski berusaha menutupi wajah dengan tangan. Dan saya... hanya bisa menatap mereka, sambil mengusap kepala putri kami, menahan sesak yang nyaris pecah.

Kami makan bersama di kamar wisma pondok. Bekal yang kami bawa dari rumah, sambal teri, ayam goreng, tempe orek, terasa lebih nikmat dari jamuan mana pun di dunia. Karena bukan rasa yang kami cari, melainkan kebersamaan yang sempat hilang.

Namun waktu berjalan cepat. Ia harus kembali ke asrama mengikuti kegiatan sore. Sebelum pergi, ia menatap kami lama-lama, lalu berbisik,

“Terima kasih ya sudah datang. Aku kangen banget, tapi aku kuat ko, Abi Umi.”

Kalimat itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati kami luruh. Saat ia melangkah menjauh, kami hanya bisa menatap punggungnya kecil, tapi tegar.

Malamnya, setelah kegiatan pondok usai, ia datang lagi sebentar. Kami berbincang seadanya, tertawa kecil, menukar cerita tentang kehidupan pondok dan kehidupan rumah. Sampai akhirnya bel tanda istirahat berbunyi, dan kami harus berpisah kembali.

Ketika ia berpamitan, saya menggenggam tangannya, hangat tapi bergetar. “Jaga diri, ya, Kak. Belajar yang sungguh-sungguh. Abi dan Umi selalu doakan dari sini.” Ia mengangguk, lalu berjalan masuk ke gerbang pondok.

Dan di saat punggungnya hilang di balik cahaya malam, air mata kami pun jatuh lagi.

Mudif bukan sekadar kunjungan. Ia adalah ritual rindu antara anak dan orang tua. Sebuah pengingat bahwa cinta tidak pernah berhenti di jarak. Bahwa doa yang kita kirim dari jauh akan selalu menemukan anak kita, di waktu dan tempat yang tepat.

Bagi kami, setiap mudif adalah pelajaran tentang arti melepas tanpa kehilangan, dan mencintai tanpa harus selalu memeluk. Karena ternyata, anak yang tumbuh jauh bukan berarti menjauh. Ia hanya sedang belajar berdiri dengan doamu sebagai tiang, dan rindumu sebagai atap yang menaunginya.

Dan setiap kali kami pulang dari mudif, mobil terasa kosong. Kursi belakang yang tadinya riuh kini sunyi. Tapi di dalam hati, kami tahu, kami baru saja pulang dari sebuah perjalanan cinta. Cinta yang menguatkan kami untuk menunggu lagi, sampai waktu mudif berikutnya tiba.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image