Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mila Fadila

Ketika Bullying Bukan Sekadar Candaan: Suara untuk Mereka yang Terdiam

Edukasi | 2025-11-09 12:54:16

Di setiap sudut sekolah, kampus, atau lingkungan kerja, sering kita dengar lelucon seperti: “Ah cuma bercanda kok”, “Namanya juga senior”, atau “Santai aja, ini tradisi”. Namun kenyataannya, bagi korban, lelucon itu bisa menjadi jeratan sepi yang perlahan menggerogoti harga diri, rasa aman, dan akhirnya harapan.

Bullying adalah tindakan verbal, fisik, atau sosial yang dilakukan oleh satu orang atau kelompok terhadap orang lain yang dianggap lemah, bullying bukan hanya “mainan anak muda”. Ia punya konsekuensi nyata. Trauma yang tertunda, keberanian yang luluh lantak, bahkan nyawa yang hilang.

1. Apa Itu Bullying dan Kenapa Kita Harus Peduli

Bullying terjadi ketika seseorang atau kelompok menggunakan kekuasaan, status, atau jumlah untuk menyakiti atau mengeksklusi orang lain secara berulang-ulang. Jenis perilaku bullying dapat dibedakan menjadi verbal dan non-verbal (Nasir. 2018). Bullying non-verbal seringkali melibatkan ancaman atau kekerasan fisik, sementara bullying verbal melibatkan penggunaan kata-kata kasar atau menyebarkan fitnah tentang korban. Beberapa bentuk tindakan bullying mencakup manipulasi hubungan persahabatan, pengucilan, pengabaian, pengiriman pesan kaleng, dan perilaku membiarkan seseorang merasa terisolasi (Karyanti & Aminudin, 2019).

Ilustrasi Bullying (Sumber Foto: Humanium)

Kenapa kita harus peduli?

1) Karena dampaknya bukan hanya saat itu juga, banyak korban akhirnya menghadapi gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau bahkan ide bunuh diri.

2) Karena lingkungan yang “aman.” Sekolah, kampus, tempat kerja seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan ruang takut.

3) Karena budaya yang menganggap “itu cuma bercanda” atau “tradisi” seringkali menutup mata terhadap luka yang nyata.

2. Kasus Timothy yang Mengguncang

Kita tak bisa hanya berbicara teori tanpa melihat kenyataan yang menyayat. Baru-baru ini, kasus mahasiswa dari Universitas Udayana (UNUD) yang menjadi korban perundungan mencuri perhatian publik. Tidak jarang kekerasan terhadap anak berujung pada kematian korbannya (Shofirah, 2024).

Timothy Anugerah Saputra, seorang mahasiswa fakultas sosial dan politik, ditemukan meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2025 setelah melompat dari lantai dua gedung kampus. Setelah kabar ini tersebar, beredar tangkapan layar chat grup mahasiswa yang memuat ejekan meledek korban bahkan setelah ia meninggal.

Foto Timothy dan Pelaku Bullying (Sumber Foto: Serambinews.com)

Kasus ini harus menjadi pembangkit kesadaran: bukan hanya bahwa “bullying terjadi”, tetapi bahwa “bullying bisa berakhir tragis” dan bahwa stop-bullying tak bisa hanya jadi slogan kosong.

3. Kasus di SMA 72 Jakarta: Saat Perundungan Bisa Memicu Tragedi

Terjadi ledakan di mushola sekolah SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading Barat, pada Jumat, 7 November 2025, yang melukai puluhan siswa. Investigasi awal mengungkap bahwa pelaku adalah siswa yang selama ini diduga menjadi korban bullying. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa bullying yang terus-menerus dan diabaikan bisa memicu aksi putus asa atau bahkan balas dendam yang berdampak luas. Dalam lingkungan sekolah yang seharusnya aman, suara dari mereka yang “terdiam” bisa meledak dalam cara yang tak terduga jika tidak segera didengar dan ditangani.

Lokasi Kejadian (Sumber Foto: CNN Indonesia)

4. Mengapa Bullying Bisa Terjadi? Beberapa Faktor Utama

Ada beberapa mekanisme yang membuat bullying terus berulang:

1) Keinginan untuk “kuasa” atau “unggul”: Pelaku merasa punya posisi lebih, baik karena senioritas, jumlah, atau status sosial.

2) Budaya tradisi yang salah kaprah: Misalnya orientasi senior-junior, yang semula untuk membina, tapi sering jadi ajang penghinaan. “Namanya juga tradisi ”

3) Lingkungan yang tidak sensitif atau abai: Ketika guru, dosen, atau manajemen institusi tidak segera bertindak, korban bisa makin terisolasi.

4) Korban yang takut bicara: Karena takut isolasi, takut pelecehan balik, atau tidak percaya mendapat perlindungan.

Kekerasan fisik yang diterima oleh korban bullying diantaranya sering terisolasi secara sosial, tidak mempunyai teman dekat, tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua, kesehatan mental yang menurun, dan yang paling buruk bullying dapat mengakibatkan depresi hingga memicu bunuh diri.

5. Dampak Bullying Tidak Sekadar Luka, Tapi Efek Jangka Panjang

Bullying bukan hanya “sakit hati”. Berikut beberapa dampak nyata:

1) Penurunan prestasi akademik/kerja: dampak bullying juga dapat mempengaruhi performa akademik dengan menurunnya semangat belajar dan berprestasi (Adiwijaya, 2024)

2) Gangguan kesehatan mental: seperti depresi, kecemasan, gangguan tidur, pikiran bunuh diri.

3) Isolasi sosial: korban mungkin menjauh dari teman, menghindari lingkungan sosial.

4) Kultur ketidakpedulian: lingkungan yang membiarkan bullying menumbuhkan trauma kolektif.

Kasus Timothy menyoroti bagaimana dampak sosial dan psikologis bisa muncul meskipun korban sudah tiada karena masih ada ejekan setelah kematian.

6. Langkah Sederhana untuk Menghentikan Bullying Bagi Individu dan Lingkungan

A. Untuk Individu (korban atau saksi)

1) Berani berbicara: Jika Anda korban atau melihat bullying, jangan diam. Kalaupun takut langsung konfrontasi, cari pihak yang dipercaya (guru, dosen, konselor, keluarga).

2) Bangun jaringan dukungan: Teman, komunitas kampus/sekolah, konselor. Anda tidak harus berhadapan sendiri.

3) Cinta diri: Ingat bahwa Anda layak dihormati. Bullying bukan tanda kelemahan Anda.

4) Dokumentasi: Simpan bukti jika memungkinkan (chat, foto, video) untuk mendukung pengaduan.

B. Untuk Lingkungan (sekolah/kampus/kerja)

1) Kebijakan tegas: Lembaga harus punya aturan jelas dan sanksi nyata terhadap perundungan. Kasus Timothy menunjukkan bagaimana banyak pihak merasa sanksi masih “ringan”.

2) Pendidikan nilai empati: Bukan hanya akademik atau teknik, tapi karakter—menghargai, mendengar, peduli.

3) Pelatihan bagi guru/dosen/staf: Agar mereka bisa mengenali tanda bullying, dan tahu cara merespon dengan tepat.

4) Lingkungan terbuka untuk berbagi: Korban bullying sering merasa harus “kuat sendiri”. Lingkungan yang mendukung bisa mengubah itu.

7. Dari Luka Menjadi Pembelajaran

Menghadapi bullying bukan sekadar “stop”. Lebih dari itu, ini soal mengubah kultur. Begini beberapa poin yang bisa menjadi inspirasi:

1) Empati sebagai aksi sehari-hari: Menanyakan “apa kabar?”, melihat seseorang yang sendirian, berbicara sopan. Tindakan kecil ini bisa menghentikan aksi “menyisihkan”.

2) Dari korban menjadi pendorong perubahan: Banyak organisasi anti-bullying terbentuk oleh mereka yang pernah atau melihat korban.

3) Peran senior sebagai pelindung, bukan pelaku: Senior bisa memilih menjadi mentor yang mengangkat, bukan yang merendahkan. Kultur “senior melindungi junior” harus nyata.

4) Mengubah “canda” yang menyakitkan menjadi ajakan peduli: Jika dulu ada lelucon yang menyakitkan, ubah jadi discusi terbuka tentang bagaimana kita semua bisa merasa aman.

8. Saatnya Lingkungan Berubah, Bukan Hanya Individu

Bullying bukan masalah satu orang, bukan hanya “masalah korban dan pelaku”. Ia adalah cerminan sebuah lingkungan yang membiarkan ketidakadilan, kebisuan, dan ketidakpedulian.

Kasus Timothy menjadi pengingat tragis bahwa ketika kita membiarkan ejekan berulang, ketika kita meremehkan “canda yang salah”, ketika institusi tak bertindak maka harga yang harus dibayar bisa sangat besar.

Kita semua punya peran. Baik sebagai teman, kakak tingkat, senior, dosen, guru, staf kampus atau sekolah, bahkan sebagai bagian masyarakat. Pertanyaan yang bisa kita mulai sekarang: Apakah saya ikut menghentikan ketika melihat bullying? Atau saya diam dan menjadi bagian dari masalah?

Mulailah dari langkah kecil, tapi konsisten. Karena menghentikan bullying bukan sekadar “mengakhiri satu tindakan”, tetapi menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa aman, dihargai, dan punya hak untuk tumbuh tanpa takut. Saatnya kita menjadikan rasa hormat dan empati sebagai budaya dan bukan hanya slogan.

Daftar Pustaka

Pradana, C. D. E. (2024, Maret). Pengertian Tindakan Bullying, Penyebab, Efek, Pencegahan, dan Solusi. Jurnal Syntax Dmiration, 5(3), 885.

Yulianti, Pakpahan, I., Angraini, D., Ayunabila, R., Febia, A.A., Habibi, M. I. (2024). Dampak Bullying Terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia, 10(1), 154.

Lusiana, S. N. E., & Arifin. S. (2022, Desember). Dampak Bullying Terhadap Kepribadian Dan Pendidikan Seorang Anak. 10(2), 346.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image