Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Irma Susilawati

Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran

Politik | 2025-11-08 00:51:59
Gambar 1.Catatan Seorang Demonstran -sampul buku Sumber : Diakses melalui Google images pada 7 November 2025

Awal tahun 1966 menjadi titik penting dalam dinamika gerakan mahasiswa Indonesia. Dalam catatan Soe Hok Gie, suasana kampus—khususnya di Fakultas Sastra—mulai dipenuhi kegelisahan.

Pagi itu, 7 Januari, aku tiba di kampus Sastra sekitar pukul sebelas. Dari kejauhan sudah terlihat wajah-wajah tegang dan langkah-langkah yang tidak biasanya tergesa. Di ruang Senat, beberapa kawan tengah bercakap serius mengenai kenaikan harga, terutama bensin yang melonjak tiba-tiba. Suasana itu mengingatkanku pada musim kemarau yang panjang: panas, gersang, dan membuat napas seret.Mahasiswa menyadari bahwa pemerintah tidak lagi mampu menstabilkan ekonomi, sementara isu-isu politik justru semakin menyita perhatian negara.

Dalam keresahan itu, para aktivis muda seperti Ismid menyuarakan kritik keras. Pemerintah dianggap gagal menjalankan tugas moralnya, dan mahasiswa tidak boleh hanya diam. Kesadaran ini kemudian mendorong KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) merancang aksi massa untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Namun, langkah tersebut tidak berjalan tanpa perdebatan. Di balik semangat perjuangan, muncul kekhawatiran bahwa gerakan mahasiswa akan dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu—terutama di tengah memanasnya situasi pasca-G30S.

Soe Hok Gie mencatat pertemuan dengan beberapa tokoh, termasuk Kolonel Wiwoho dan akademisi seperti Nugroho. Kolonel Wiwoho mengingatkan mahasiswa agar tidak terjebak manipulasi politik, sedangkan Nugroho justru mendorong mereka untuk bertindak, mengingatkan kembali bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab moral terhadap bangsa. Percakapan itu membuat Gie semakin yakin bahwa idealisme harus menjadi fondasi utama dalam setiap aksi mahasiswa.

Aksi-aksi protes pun meluas. Fakultas Sastra, selama ini dikenal sebagai kampus yang tenang, mendadak berubah menjadi pusat gerakan moral. Mahasiswa menolak praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan nurani, termasuk kritik terhadap acara “nonton wayang” di Senat yang dinilai tidak pantas di tengah krisis nasional. Semangat tersebut menjadi simbol bahwa gerakan mahasiswa bukan hanya soal politik, tetapi juga soal integritas dan martabat bangsa.

Puncaknya, mahasiswa berani turun ke jalan dan bergerak ke Sekretariat Negara hingga ke Istana. Meski dihadang pasukan pengawal, mereka tetap lantang meneriakkan tuntutan-turunkan harga dan bersihkan pemerintahan dari korupsi serta penyimpangan kekuasaan. Aksi itu menjadi salah satu momentum penting yang menandai kebangkitan suara moral mahasiswa Indonesia.

Melalui catatannya, Soe Hok Gie menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa 1966 bukan hanya ledakan emosional sesaat, melainkan lahir dari kegelisahan intelektual, kemurnian idealisme, dan dorongan moral untuk memperbaiki keadaan bangsa. Dari ruang kuliah hingga halaman istana, mahasiswa berusaha mempertahankan integritas agar tidak menjadi alat politik siapa pun—sebuah pelajaran yang tetap relevan hingga kini.

Aksi demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa semakin memanas setelah kenaikan harga-harga, terutama bensin, menimbulkan keresahan rakyat. Mahasiswa turun ke jalan dengan tekad kuat menentang pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Mereka melakukan long march menuju berbagai titik strategis di Jakarta hingga menyebabkan kemacetan panjang dan perhatian publik. Demonstrasi ini bukan hanya respons terhadap krisis ekonomi, tetapi juga menjadi titik awal perubahan orientasi politik mahasiswa, dari sekadar akademisi menjadi agen moral yang berani mengkritik pemerintah. Mahasiswa mengalami benturan dengan pasukan keamanan, namun tetap berkomitmen menyampaikan aspirasi rakyat.

Gerakan mahasiswa kemudian berkembang menjadi simbol perlawanan moral terhadap kekuasaan. Para demonstran menyadari bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut integritas moral dan martabat bangsa. Dalam situasi yang semakin panas, mahasiswa berusaha tetap menjaga etika dan tujuan perjuangan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa aksi mahasiswa adalah suara hati nurani, bukan gerakan destruktif.

Di tengah aksi-aksi tersebut, terjadi berbagai peristiwa yang memperlihatkan sisi manusiawi para mahasiswa—mereka saling menyemangati, bernyanyi, dan tetap menampilkan kreativitas khas anak kampus. Selain itu, hubungan persahabatan antar-aktivis juga semakin erat, menjadi penguat moral selama perjuangan berlangsung. Mereka menyadari bahwa perjuangan masih panjang dan membutuhkan persatuan serta kejujuran di antara sesama pejuang perubahan. Meskipun sering dicemooh atau dianggap anak muda labil, mahasiswa membuktikan bahwa suara mereka mampu menggugah kesadaran rakyat.

Demonstrasi demi demonstrasi terus berlangsung, dengan jumlah massa semakin besar. Long march berikutnya diikuti lebih banyak mahasiswa dan semakin menarik simpati masyarakat. Seruan-seruan seperti menurunkan harga bensin, memberantas PKI, dan menuntut perubahan politik menggema di jalanan. Dalam tekanan situasi, mahasiswa tetap berusaha menjaga arah perjuangan agar tetap murni demi rakyat. Pada akhirnya, gerakan mahasiswa menjadi kekuatan besar yang memperlihatkan bahwa perubahan tidak hanya lahir dari para pemimpin negara, tetapi juga dari keberanian anak muda yang memilih untuk tidak diam melihat ke tidak adilan.

Mahasiswa pada masa itu terus menggalang aksi demonstrasi untuk memperjuangkan nasib rakyat, Aksi yang berlangsung di depan DPRGR dimulai dengan semangat membara ketika para mahasiswa menyuarakan tuntutan penurunan harga dan perbaikan kebijakan pemerintah. Walau berlangsung hingga malam hari dan para peserta pulang dalam keadaan letih, semangat perjuangan justru semakin menguat dan mereka menyadari bahwa aksi selanjutnya harus lebih terorganisir. Soe Hok Gie kemudian menuliskan pandangannya dalam sebuah artikel untuk harian bahwa perjuangan mahasiswa tidak hanya soal harga kebutuhan pokok, tetapi juga tentang menegakkan keadilan dan kejujuran di dalam pemerintahan. Ia menyinggung pula adanya sentimen rasial yang mulai muncul dalam aksi, terutama terhadap etnis Tionghoa, dan mengingatkan bahwa perjuangan harus tetap berlandaskan moral, bukan kebencian.

Dalam bagian ini, Gie juga mencatat perubahan karakter seorang mahasiswa bernama Gani, yang dulunya lembut namun berubah menjadi keras akibat pahitnya situasi politik saat itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa gejolak politik dapat memengaruhi watak seseorang. Aksi mahasiswa pun berlanjut menyusuri kota untuk menyuarakan aspirasi langsung kepada masyarakat. Respons publik beragam, tetapi dukungan semakin terasa, terutama ketika para mahasiswa mendatangi kampus-kampus dan berdialog dengan khalayak.

Usulan Jopie untuk mendatangi Menteri Gas dan Minyak Bumi guna menuntut penjelasan kenaikan harga bensin segera direalisasikan. Perdebatan keras pun terjadi antara mahasiswa dan pihak kementerian, namun Gie menegaskan bahwa perjuangan sejatinya harus tetap dijaga pada jalur moral, tanpa kekerasan ataupun provokasi. Menjelang akhir bagian, mahasiswa kembali turun ke jalan dengan slogan anti-korupsi dan tekad kuat untuk tetap memperjuangkan perubahan yang bersih dan bermartabat, karena mereka memahami bahwa perjuangan belum selesai dan harus terus dilanjutkan dengan idealisme yang murni.

Para mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul dan bergerak menuju Bogor untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, situasi Bogor digambarkan cukup sepi dan kurang bersemangat sehingga beberapa tokoh seperti Gani berusaha mencairkan suasana lewat humor dan sindiran-sindiran tajam. Gani menegaskan bahwa rakyat sudah lelah dengan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat, terlihat dari sindirannya tentang naiknya harga-harga, korupsi pejabat, hingga kesulitan ekonomi masyarakat.

Sesampainya di Bogor, para mahasiswa menghadapi berbagai reaksi. Ada yang mendukung mereka, tetapi ada pula kelompok yang menyerang mereka dengan isu dan tuduhan, bahkan mahasiswa mengalami intimidasi. Penyampaian aspirasi kepada pihak berwenang juga tidak berjalan mulus. Di tengah situasi tersebut, mahasiswa tetap berupaya menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, terutama kepada para menteri yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.

Pada bagian ini juga muncul ketegangan antara gerakan mahasiswa dan Presiden. Bung Karno menunjukkan respons keras terhadap aksi-aksi mahasiswa dan menyampaikan sindiran-sindiran tajam dalam pidatonya. Ia mengecam tindakan demonstrasi dan menyerang balik mahasiswa melalui pernyataan provokatif, termasuk menyebut beberapa organisasi atau tokoh mahasiswa secara terbuka.

Di sisi lain, mahasiswa tetap menguatkan komitmen perjuangan mereka. Mereka menegaskan bahwa aksi bukan sekadar protes, tetapi upaya memperbaiki keadaan bangsa dari ketidak adilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan moralitas pejabat yang merosot. Pada halaman ini pula mulai terlihat tumbuhnya slogan-slogan kritis, termasuk desakan moral agar perjuangan mahasiswa tetap bersih dan tidak terkontaminasi kepentingan politik dan korupsi.

Setelah berbagai aksi mahasiswa memuncak, pada buku Gie diceritakan semakin kerasnya kritik terhadap Bung Karno. Dalam suasana politik yang memanas, muncul kabar mengenai gaya hidup presiden yang dinilai menjauh dari rakyat. Diceritakan pula tentang Jenderal Ahmad Yani, seorang tokoh militer yang tegas dan terkenal disiplin, namun dekat dengan Bung Karno. Setelah Yani tewas akibat peristiwa G30S, muncul berbagai fitnah dan gosip dari pihak yang ingin mencemarkan nama baiknya. Mahasiswa mengecam tindakan itu dan menganggapnya sebagai penurunan moral politik.

Di Bandung, mahasiswa kembali melakukan aksi protes terhadap Bung Karno. Mereka menyindir presiden dengan berbagai slogan kreatif dan satire, bahkan memberi julukan tertentu sebagai bentuk kritik atas kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat. Demonstrasi berlangsung di berbagai kampus dan kota, termasuk aksi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Aksi-aksi ini menuntut keadilan, perombakan kabinet, dan menolak pengaruh PKI yang masih terasa.

Mahasiswa juga mulai mengalami tindakan represif dari pihak keamanan dan intelijen. Beberapa mahasiswa ditahan, diinterogasi, bahkan disiksa. Namun tekanan ini tidak mematahkan perjuangan mereka. Dalam beberapa peristiwa, mahasiswa bertemu dengan kelompok massa bayaran yang ditugaskan untuk menyerang atau memprovokasi aksi mahasiswa agar kacau. Walau begitu, mahasiswa tetap berusaha menjaga sikap dan memperjuangkan tuntutan mereka.

Muncul juga berbagai yel-yel dan lagu satir yang digunakan mahasiswa sebagai bentuk perlawanan moral. Lagu-lagu itu berisi kritik dengan cara humor, termasuk menyindir menteri yang dianggap tidak bekerja untuk rakyat. Beberapa nama menteri diejek melalui pantun dan lagu, khususnya soal kenaikan harga barang yang terus terjadi walaupun pemerintah sering berbicara seolah keadaan baik-baik saja.

Pada bagian akhir Soe Hok Gie menegaskan kembali bahwa perjuangan mahasiswa harus tetap berdasarkan ketulusan, kejujuran, dan moralitas, bukan untuk mencari kekuasaan atau keuntungan pribadi. Ia menutup bagian ini dengan refleksi bahwa perjuangan mahasiswa bukan sekadar gerakan politik, tetapi gerakan moral untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bagi masa depan Indonesia.


Sumber :

Gie ,Sok Hok( 1983).Catatan Seorang Demonstran.Jakarta:LP3ES

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image