Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image raihan daffa

Ketika Bahasa Jadi Gado-Gado

Gaya Hidup | 2025-11-07 15:18:12
Sumber: https://unsplash.com

Masyarakat urban Indonesia saat ini hidup di tengah arus komunikasi yang serba cepat. Dari percakapan daring hingga obrolan santai di kafe, satu tren linguistik tampak kian menonjol: kecenderungan mencampur Bahasa Indonesia dengan frasa-frasa Inggris secara berlebihan, yang biasa ku sebut “Bahasa Gado-Gado.” Fenomena ini kerap dilekatkan pada stereotip “Anak Jaksel,” meski faktanya gaya bicara semacam itu kini telah merambah ke hampir semua kota besar.

Coba dengarkan percakapan sehari-hari: “Literally, itu vibes-nya negatif banget, which is aku totally ga agree.” Sekilas terdengar lucu dan ringan, seolah cuma gaya gaul. Tapi kalau ditelaah lebih dalam, kebiasaan mencampur bahasa seperti ini sering kali tidak lahir dari kebutuhan komunikasi, melainkan dari dorongan untuk menegaskan identitas sosial tertentu.

Dari sudut pandang sosiolinguistik, Bahasa Inggris memegang simbol status yang kuat. Ia diasosiasikan dengan pendidikan tinggi, profesionalisme, dan kelas sosial atas. Karena itu, bagi sebagian kelompok, menyelipkan kata-kata Inggris menjadi semacam investasi simbolik yang berfungsi sebagai modal budaya untuk menunjukkan bahwa mereka “berpendidikan,” “global,” atau “terhubung dengan dunia luar.” Kata seperti validate atau boundaries misalnya, punya padanan Indonesia yang jelas, tapi tetap dipilih karena terdengar lebih prestisius. Di titik ini, kebiasaan mencampur bahasa berubah fungsi. Ia bukan lagi alat komunikasi, melainkan penanda status.

Masalahnya, praktik ini kerap bersifat tidak fungsional. Mencampur bahasa secara wajar bisa diterima ketika penutur memang butuh istilah asing karena tak ada padanan tepat dalam Bahasa Indonesia, misalnya dalam konteks teknis atau akademik. Namun yang sering muncul sekarang adalah sisipan kata-kata dasar yang sebenarnya bisa diungkapkan dengan mudah dalam bahasa sendiri. “Basically” untuk “pada dasarnya,” “literally” untuk “secara harfiah,” contoh yang tampak sepele, tapi mencerminkan pola pikir yang lebih dalam.

Di balik itu, tersirat persoalan lain: menurunnya kepekaan linguistik terhadap Bahasa Indonesia sendiri. Saat mengambil istilah asing terasa lebih mudah daripada mencari padanan yang tepat, kemampuan berbahasa kita perlahan tumpul. Kalau dibiarkan, hal ini bisa berujung pada melemahnya kapasitas berpikir kritis dalam bahasa ibu. Bahasa bukan cuma alat bicara, tapi juga alat berpikir. Ketika kosa kata menyempit, horizon intelektual ikut menyempit.

Tentu saja, bahasa bersifat dinamis. Tak ada bahasa yang steril dari pengaruh luar. Serapan dan interaksi antarbahasa adalah bagian dari proses alami perkembangan linguistik. Namun dinamika yang sehat seharusnya memperkaya, bukan menggantikan. Ketika kebiasaan mencampur bahasa berubah menjadi pelarian dari kemahiran berbahasa Indonesia, kita sedang kehilangan arah. Bahasa ibu menjadi kerangka kosong yang diisi oleh isi pikiran berbahasa asing.

Maka, yang dibutuhkan bukan pelarangan, melainkan kebijaksanaan berbahasa. Menguasai Bahasa Inggris jelas penting di dunia global. Namun menjadikannya aksesoris untuk terdengar keren tanpa konteks justru mengaburkan makna komunikasi itu sendiri. Orang yang benar-benar fasih seharusnya tahu kapan harus berbahasa Inggris penuh, misalnya dalam forum profesional, dan kapan berbahasa Indonesia secara utuh. Campuran boleh saja, tetapi harus fungsional, bukan sekadar gaya.

Pada akhirnya, kefasihan berbahasa Inggris adalah keunggulan, sedangkan kefasihan berbahasa Indonesia adalah jati diri. Saat kita mulai memperlakukan bahasa ibu seolah kelas dua, di situlah akar masalahnya. Sudah waktunya mengembalikan Bahasa Indonesia ke tempat yang semestinya: bukan sekadar simbol nasional, tetapi sebagai ruang berpikir dan berkomunikasi yang paling otentik bagi kita sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image