Thrifting: Gaya Hidup Hemat yang Mengancam Industri Tekstil Nasional
Aneka | 2025-11-07 11:10:54
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena thrifting, yaitu konsumsi pakaian bekas, baik impor maupun barang second-hand kian meluas di Indonesia. Dalam pandangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, peredaran pakaian bekas impor yang terus meningkat menjadi “alarm merah” bagi industri tekstil Nasional, karena selain mengancam keberlanjutan produksi dalam negeri, juga menunjukkan bahwa kawalan regulasi masih jauh dari optimal. Tumbuhnya pasar pakaian bekas menawarkan alternatif harga yang lebih terjangkau dan gaya hidup yang lebih sustainable, namun di sisi lain menempatkan industri tekstil lokal pada ujian berat, bagaimana mempertahankan daya saing sekaligus menjaga keseimbangan antara konsumsi, produksi, dan pengelolaan limbah.
Lonjakan Impor Pakaian Bekas dan Tekanan Terhadap Industri Lokal
Tren impor pakaian bekas menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam dua tahun terakhir. Padahal, pemerintah telah melarang praktik tersebut sejak lama. Lonjakan ini menandakan dua hal: masih tingginya permintaan pasar terhadap barang thrift murah, dan belum optimalnya pengawasan di lapangan. Di sejumlah pelabuhan, penindakan terhadap barang bekas ilegal memang terus dilakukan, tetapi praktik impor gelap tetap menemukan celah.
Bagi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional, situasi ini menimbulkan tekanan berat. Produk lokal yang diproduksi dengan biaya bahan baku, tenaga kerja, dan logistik yang tinggi kini harus bersaing dengan barang bekas yang masuk ke pasar dengan harga sangat rendah. Persaingan tidak seimbang ini bukan hanya menggerus margin produsen, tetapi juga mengancam rantai pasok dan lapangan kerja di sektor padat karya seperti garmen dan konveksi.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Fenomena thrifting sejatinya menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia memberi peluang bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk mendapatkan pakaian layak dengan harga terjangkau. Bahkan, sebagian masyarakat menganggap thrifting sebagai praktik ramah lingkungan karena memperpanjang usia pakai pakaian. Namun di sisi lain, impor pakaian bekas dalam skala besar sering kali justru menciptakan masalah baru: distorsi pasar, potensi pelanggaran hukum, hingga ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan.
Tidak semua pakaian bekas impor dalam kondisi layak pakai. Banyak di antaranya yang tidak melalui proses sanitasi memadai atau bahkan tergolong limbah tekstil. Dalam jangka panjang, hal ini dapat meningkatkan volume sampah pakaian di dalam negeri yang sulit didaur ulang. Artinya, thrifting yang seharusnya menjadi bagian dari solusi keberlanjutan, bisa berubah menjadi sumber masalah baru bila tidak diatur dengan ketat.
Langkah Pemerintah dan Tantangan Implementasi
Pemerintah sejatinya elah menetapkan larangan impor pakaian bekas melalui peraturan resmi, disertai langkah pengawasan yang lebih intensif oleh Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan. Operasi penindakan dan penyitaan rutin dilakukan terhadap importir ilegal. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan saja belum cukup. Masih terbuka banyak jalur distribusi tidak resmi, termasuk di pasar daring dan pusat penjualan pakaian bekas yang terus menjamur.
Kendala implementasi kebijakan tidak hanya soal pengawasan di perbatasan, tetapi juga karena aspek sosial ekonomi di hilir. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang menggantungkan hidup pada bisnis thrift, sehingga pendekatan represif semata berisiko menimbulkan masalah sosial baru. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih adaptif dan berpihak pada keseimbangan antara perlindungan industri dan keberlanjutan ekonomi rakyat.
Menuju Kebijakan yang Seimbangan
Ke depan, Pemerintah perlu memperkuat tiga aspek utama. Pertama, penegakan pengawasan di pintu masuk impor harus dilakukan secara terpadu antara Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, dan BPS untuk mendeteksi serta menindak jalur impor pakaian bekas ilegal. Kedua, bila ada ruang bagi perdagangan barang bekas dalam konteks ekonomi sirkular, perlu diterapkan standar ketat terkait sanitasi, labelisasi, dan asal usul produk untuk menjamin keamanan konsumen serta keadilan bagi produsen lokal. Ketiga, industri tekstil nasional harus mendapatkan stimulus yang cukup untuk memperkuat daya saing. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak, pembiayaan modernisasi mesin, serta pelatihan tenaga kerja agar produksi lokal menjadi lebih efisien dan mampu bersaing, baik di pasar domestik maupun global. Modernisasi industri juga dapat diarahkan pada inovasi produk ramah lingkungan dan daur ulang tekstil.
Selain itu, tren thrifting tidak perlu dipadamkan, tetapi dialihkan. Pemerintah bisa mendorong kolaborasi antara pelaku UMKM thrift dengan produsen lokal untuk kegiatan upcycling, mengubah pakaian bekas lokal menjadi produk baru bernilai tinggi atau membentuk pusat distribusi pakaian bekas legal yang tersertifikasi. Dengan pendekatan ini, aktivitas thrift dapat menjadi bagian dari ekonomi sirkular yang sehat, bukan ancaman bagi industri nasional.
Menjadikan Thrifting Bagian dari Solusi,Bukan Msalah
Fenomena thrifting mencerminkan dinamika baru dalam perilaku konsumsi masyarakat Indonesia. Namun di balik tren ini, terdapat tantangan serius bagi industri tekstil nasional yang sedang berjuang mempertahankan daya saing di tengah tekanan global dan domestik. Larangan impor pakaian bekas telah diberlakukan, tetapi lonjakan praktik di lapangan menunjukkan bahwa masalah ini lebih kompleks daripada sekadar regulasi.
Tantangan ini sebenarnya juga membuka peluang memperkuat produksi lokal, menata rantai pasok yang lebih efisien, dan mengarahkan perilaku konsumsi masyarakat ke arah yang berkelanjutan. Dengan kebijakan yang konsisten, pengawasan yang tegas, serta dukungan terhadap inovasi dan ekonomi sirkular, thrifting dapat diubah dari ancaman menjadi bagian dari solusi bagi industri dan lingkungan. Kuncinya terletak pada keseimbangan antara perlindungan industri, keberlanjutan, dan realitas ekonomi masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
