Setiap Musim Pancaroba, Flu Datang Lagi: Tanda Kita Belum Belajar Apa-Apa?
Edukasi | 2025-11-06 10:10:02
Setiap kali musim berganti, tubuh manusia seolah diuji kembali. Flu dan batuk menjadi pemandangan umum di kantor, sekolah, hingga transportasi umum. Padahal, kita sudah berkali-kali melewati musim pelestarian, dan setiap tahun cerita yang sama terulang. Seolah-olah, masyarakat Indonesia belum benar-benar belajar dari pengalaman panjang menghadapi penyakit musiman ini. Data WHO pada pertengahan tahun 2025 menunjukkan bahwa meskipun angka infeksi influenza sempat menurun, subtipe Influenza A (H3) masih mendominasi penyebarannya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Fenomena ini menggambarkan bahwa kesadaran kesehatan kita masih rapuh dan mudah goyah ketika rutinitas kembali berjalan seperti biasa.
Pandemi COVID-19 pernah membuka mata kita betapa pentingnya kebersihan, masker, dan gaya hidup sehat. Namun, begitu keadaan mulai normal, banyak yang kembali abai. Masker disimpan, kebiasaan mencuci tangan berkurang, dan etika batuk sering diabaikan. Padahal, virus influenza tidak kalah menular dibandingkan penyakit lain yang lebih mendapat perhatian media. Di sisi lain, pendidikan kesehatan di sekolah masih dianggap sebagai pelengkap, bukan landasan perilaku hidup bersih. Masyarakat kita tampaknya lebih siap menghadapi pengobatan daripada melakukan pencegahan, padahal mencegah selalu jauh lebih murah dan lebih bijak.
Faktor lingkungan mendukung situasi. Polusi udara yang kian parah di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya membuat daya tahan masyarakat menurun drastis. Udara yang kotor membuat paru-paru lemah, dan ketika virus mulai menyebar, tubuh tidak cukup kuat untuk melawan. Kita sering lupa bahwa kesehatan masyarakat tidak hanya bergantung pada rumah sakit dan tenaga medis, tetapi juga pada kebijakan lingkungan, tata kota, dan perilaku sosial setiap warga. Kesehatan sejatinya adalah hasil kerja bersama antara individu dan sistem.
Masalah lain yang sering terulang adalah reaksi yang selalu datang terlambat. Saat kasus meningkat, barulah imbauan muncul, barulah kampanye dilakukan, barulah masker kembali dicari. Sikap reaktif seperti ini menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam pola berpikir “menunggu sakit” daripada “menjaga agar tetap sehat.” Pemerintah memang memiliki peran besar, namun tanpa partisipasi masyarakat, semua strategi hanya akan menjadi seremonial. Menjaga kesehatan seharusnya menjadi gerakan sosial, bukan sekedar urusan medis.
Kita perlu mengubah cara pandang terhadap flu dan penyakit musiman lainnya. Ini bukan lagi persoalan ringan yang bisa diabaikan, melainkan cerminan kesiapan bangsa menghadapi tantangan kesehatan publik. Setiap individu mempunyai peran: berhenti sejenak ketika sakit, mengenakan masker saat batuk, mencuci tangan dengan benar, atau sekadar tidak menulari orang lain. Perubahan kecil seperti ini bila dilakukan bersama, bisa menciptakan perbedaan besar. Karena pada akhirnya, kesehatan bukan hanya tentang tubuh yang bebas penyakit, melainkan juga tentang rasa tanggung jawab dan solidaritas antarmanusia. Pergantian musim mungkin tak bisa kita hentikan, tapi cara kita menghadapinya sepenuhnya ada dalam kendali kita. Kesehatan bukan hanya urusan medis, tetapi kesejahteraan dan martabat bangsa. Jadi, yuk mulai dari hal kecil: pakai masker saat sakit, dan jaga diri juga demi orang lain.
Sumber: Surveilans Influenza WHO (Oktober 2025), The Jakarta Post (21/10/2025), IQAir Report 2025.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
