Stunting di Indonesia: Dari Darurat Nasional Menuju Harapan Baru
Edukasi | 2025-11-06 04:16:00
Indonesia memasuki babak baru dalam perang melawan stunting yang telah diperjuangkan selama lebih dari satu dekade. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 yang diumumkan Kementerian Kesehatan menghadirkan secercah harapan dengan prevalensi stunting nasional yang turun menjadi 19,8 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 20,1 persen. Pencapaian ini bukan sekadar angka statistik semata, melainkan representasi dari jutaan balita Indonesia yang terselamatkan dari ancaman tumbuh kembang yang terhambat. Namun di balik euforia pencapaian tersebut, masih tersimpan pekerjaan rumah besar yang menuntut komitmen lebih kuat dari seluruh elemen bangsa. Perjalanan menurunkan angka stunting dari 21,5 persen di tahun 2023 ke angka 19,8 persen di 2024 bukanlah jalan yang mudah, melainkan hasil kerja keras kolaboratif yang melibatkan pemerintah pusat, daerah, hingga tingkat desa. Stunting atau gagal tumbuh pada anak merupakan kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi pada masa 1.000 hari pertama kehidupan, dimulai sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada tinggi badan anak yang lebih pendek dibanding anak seusianya, tetapi juga menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang sangat serius terhadap perkembangan kognitif, produktivitas ekonomi, hingga risiko kesehatan di masa dewasa. Anak yang mengalami stunting memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah, prestasi akademik yang kurang optimal, dan produktivitas ekonomi yang terbatas ketika dewasa nanti. Lebih mengkhawatirkan lagi, dampak stunting bersifat irreversible atau tidak dapat dipulihkan sepenuhnya, meskipun intervensi dilakukan setelah periode kritis terlewati. Inilah yang membuat stunting menjadi ancaman serius terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia dan kemampuan bersaing bangsa di kancah global. Perjalanan panjang Indonesia dalam memerangi stunting dimulai sejak awal tahun 2000-an ketika kesadaran akan bahaya gagal tumbuh pada anak mulai muncul di kalangan pemangku kepentingan kesehatan. Pada tahun 2013, prevalensi stunting Indonesia tercatat sangat tinggi mencapai 37,2 persen, angka yang sangat mengkhawatirkan dan menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan masalah stunting berat menurut standar WHO. Sejak saat itu, pemerintah mulai mengintensifkan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif dengan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Tren penurunan mulai terlihat secara konsisten, meskipun dengan kecepatan yang bervariasi di setiap periode. Dari 2013 hingga 2016, rata-rata penurunan mencapai 1,3 persen per tahun sehingga prevalensi turun menjadi 34 persen, kemudian dari 2016 hingga 2021 rata-rata turun 1,6 persen per tahun, dan periode 2021-2022 menunjukkan akselerasi dengan penurunan rata-rata 2,8 persen per tahun hingga mencapai 21,6 persen. Momentum besar terjadi ketika Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 menjadikan penanganan stunting sebagai salah satu prioritas nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Komitmen politik tertinggi ini mengubah pendekatan penanganan stunting dari sekadar program kesehatan menjadi gerakan nasional yang melibatkan lintas sektor. Pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di tingkat pusat yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Di tingkat daerah, gubernur, bupati, dan walikota ditunjuk sebagai ketua TPPS daerah untuk memastikan konvergensi program berjalan efektif. Strategi konvergensi ini menjadi kunci keberhasilan karena menyadari bahwa stunting adalah masalah multidimensi yang tidak bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan saja, melainkan membutuhkan sinergi berbagai sektor mulai dari kesehatan, pangan, sanitasi, pendidikan, hingga perlindungan sosial. Hasil SSGI 2024 yang menunjukkan prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8 persen merupakan pencapaian yang patut dibanggakan dan melampaui proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebesar 20,1 persen. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam pengumumannya menyatakan bahwa pemerintah berhasil mencegah sekitar 337.000 balita dari risiko stunting, melampaui target tahunan RPJMN sebesar 325.000 balita. Capaian ini menjadi bukti nyata bahwa strategi konvergensi yang dijalankan mulai membuahkan hasil positif di lapangan. Penurunan prevalensi stunting sebesar 1,7 persen poin dalam satu tahun merupakan akselerasi yang signifikan dan memberikan optimisme bahwa target jangka panjang penurunan stunting hingga 5 persen pada 2045 bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun perlu dicatat bahwa pencapaian ini adalah hasil kerja keras kolaboratif seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya milik satu lembaga atau kementerian tertentu. Meskipun capaian nasional menggembirakan, terdapat disparitas yang cukup signifikan antara berbagai wilayah dan kelompok masyarakat. Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan, Prof. Asnawi Abdullah, mencatat bahwa prevalensi stunting sangat bervariasi antar provinsi, kabupaten/kota, serta kelompok sosial ekonomi. Enam provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar yaitu Jawa Barat dengan 638.000 balita, Jawa Tengah 485.893 balita, Jawa Timur 430.780 balita, Sumatera Utara 316.456 balita, Nusa Tenggara Timur 214.143 balita, dan Banten 209.600 balita, menyumbang sekitar 50 persen dari total kasus stunting nasional. Fakta mengejutkan lainnya adalah kelompok ekonomi kuintil 1 atau termiskin memiliki angka stunting tertinggi yakni sebesar 29,8 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok ekonomi atas. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap layanan dasar masih menjadi akar masalah stunting yang belum terselesaikan tuntas. Program intervensi stunting di Indonesia menggunakan pendekatan dua jalur yang saling melengkapi, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik menargetkan secara langsung perbaikan gizi dan kesehatan ibu hamil serta anak balita, mencakup pemberian makanan tambahan (PMT) berbahan pangan lokal, suplementasi tablet tambah darah untuk remaja putri dan ibu hamil, promosi ASI eksklusif enam bulan, imunisasi lengkap, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak secara rutin di posyandu, serta layanan kesehatan ibu dan anak yang berkualitas. Sementara itu, intervensi gizi sensitif berfokus pada perbaikan kondisi yang mempengaruhi gizi anak secara tidak langsung namun memiliki dampak besar, seperti akses air bersih dan sanitasi layak, ketahanan pangan keluarga, pendidikan dan kesadaran gizi, perlindungan sosial bagi keluarga miskin dan rentan, serta pemberdayaan ekonomi keluarga. Kedua pendekatan ini harus berjalan secara konvergen dan terkoordinasi agar memberikan dampak maksimal dalam menurunkan angka stunting. Salah satu kunci keberhasilan program penurunan stunting adalah pendekatan konvergensi yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bertanggung jawab dalam pendampingan calon pengantin, promosi pendewasaan usia perkawinan, dan pembinaan keluarga berisiko stunting melalui Tim Pendamping Keluarga (TPK). Kementerian Kesehatan fokus pada layanan kesehatan ibu dan anak, pemberian makanan tambahan, suplementasi vitamin dan mineral, imunisasi, serta pemantauan status gizi balita. Kementerian Sosial menangani bantuan sosial bagi keluarga miskin dan rentan, program keluarga harapan (PKH), serta asistensi sosial lainnya. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bertanggung jawab dalam pemanfaatan dana desa untuk program pencegahan stunting, pembangunan infrastruktur sanitasi dan air bersih di desa, serta pemberdayaan masyarakat desa. Sinergi lintas sektor ini menjadi fondasi kuat dalam mencapai penurunan stunting yang berkelanjutan. Di tingkat lapangan, implementasi program penurunan stunting sangat bergantung pada peran pemerintah daerah dan partisipasi aktif masyarakat. Posyandu sebagai garda terdepan dalam pemantauan tumbuh kembang anak harus diperkuat dengan ketersediaan alat antropometri yang terstandar, kader kesehatan yang terlatih, dan sistem pencatatan yang akurat. Program pengukuran dan intervensi serentak yang dilakukan pada 2024 telah menjangkau lebih dari 300.000 posyandu di seluruh Indonesia, mengukur lebih dari 16,1 juta balita dari 17 juta balita sasaran dengan progres mencapai 95,15 persen. Melalui pengukuran massal ini, teridentifikasi 36,10 persen atau 5.839.101 balita yang mengalami masalah gizi dan memerlukan intervensi segera. Pendekatan masif ini memastikan tidak ada balita yang terlewat dari pemantauan dan intervensi dini dapat segera dilakukan untuk mencegah kondisi yang lebih parah. Inovasi dan adaptasi program di tingkat daerah menjadi salah satu kekuatan dalam upaya penurunan stunting yang berhasil menjawab keragaman konteks lokal. Beberapa daerah mengembangkan pendekatan kreatif yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan karakteristik masyarakat setempat, seperti program Kampung KB di Jawa Timur yang mengintegrasikan berbagai layanan kesehatan dan pemberdayaan keluarga dalam satu kawasan. Di Bali, program stunting diintegrasikan dengan kelembagaan tradisional seperti Sekaa Teruna-Teruni untuk menjangkau remaja dan calon pengantin. Nusa Tenggara Timur yang memiliki prevalensi stunting tertinggi mengembangkan program pemberian makanan tambahan berbasis pangan lokal seperti jagung dan kacang-kacangan yang mudah diakses masyarakat. Inovasi-inovasi daerah ini menunjukkan bahwa program nasional perlu memiliki fleksibilitas untuk diadaptasi sesuai konteks lokal tanpa kehilangan esensi dan target utamanya. Peran teknologi digital dalam program penurunan stunting semakin menguat seiring perkembangan sistem informasi kesehatan di Indonesia. Sistem SatuSehat yang diinisiasi pemerintah memungkinkan integrasi data kesehatan dari berbagai fasilitas kesehatan dan memudahkan pemantauan status gizi balita secara real-time. Aplikasi e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) memungkinkan kader posyandu untuk mencatat hasil pengukuran balita secara digital dan langsung terkoneksi dengan sistem informasi di puskesmas dan dinas kesehatan. Dashboard pemantauan stunting yang dikembangkan oleh Sekretariat Wakil Presiden memberikan visualisasi data yang komprehensif dan memudahkan pengambilan keputusan berbasis data. Pemanfaatan teknologi ini tidak hanya meningkatkan akurasi data tetapi juga mempercepat respons terhadap kasus-kasus yang memerlukan intervensi segera. Meskipun pencapaian 2024 memberikan optimisme, tantangan besar masih menghadang dalam perjalanan menuju target penurunan stunting 14,2 persen pada 2029 sesuai RPJMN. Menteri Kesehatan menegaskan bahwa untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menurunkan sekitar 7,3 persen dalam lima tahun atau rata-rata 1,46 persen per tahun, tantangan yang tidak mudah namun cukup realistis jika momentum positif dapat dipertahankan. Target tahun 2025 adalah menurunkan prevalensi stunting menjadi 18,8 persen, artinya harus ada penurunan 1 persen poin dari capaian 2024. Tantangan ini memerlukan upaya yang lebih keras, alokasi sumber daya yang memadai, dan kolaborasi yang semakin erat antara pemerintah pusat, daerah, dan seluruh pemangku kepentingan. Komitmen politik yang kuat dari kepemimpinan nasional dan daerah menjadi prasyarat mutlak untuk memastikan program penurunan stunting tetap menjadi prioritas di tengah berbagai agenda pembangunan lainnya. Salah satu tantangan struktural yang masih dihadapi adalah kesenjangan akses terhadap layanan dasar terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Meskipun Indonesia memiliki jumlah tenaga kesehatan yang cukup banyak, distribusinya sangat tidak merata dengan konsentrasi tinggi di perkotaan sementara daerah terpencil kekurangan tenaga kesehatan. Akses terhadap air bersih dan sanitasi layak juga masih menjadi masalah di banyak daerah, padahal kedua faktor ini sangat berpengaruh terhadap status gizi anak karena berkaitan dengan kejadian diare dan infeksi yang dapat menghambat penyerapan gizi. Kesenjangan infrastruktur ini menciptakan ketimpangan dalam upaya penurunan stunting antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Investasi dalam infrastruktur dasar ini harus terus ditingkatkan sejalan dengan program intervensi gizi agar semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh sehat dan optimal. Persoalan perilaku dan kesadaran masyarakat juga masih menjadi tantangan yang tidak kalah penting dalam upaya pencegahan stunting. Konsumsi tablet tambah darah (TTD) pada remaja putri masih rendah padahal ini merupakan intervensi penting untuk mencegah anemia yang akan berdampak pada kesehatan reproduksi dan kehamilan di masa depan. Praktik pemberian ASI eksklusif selama enam bulan juga belum optimal di banyak daerah karena berbagai faktor mulai dari kesibukan ibu bekerja, gencarnya promosi susu formula, hingga kurangnya dukungan dari lingkungan keluarga dan tempat kerja. Imunisasi lengkap pada balita masih belum mencapai target universal karena faktor penolakan dari sebagian masyarakat, keterbatasan akses, atau ketidaktahuan tentang jadwal imunisasi. Edukasi dan komunikasi perubahan perilaku harus terus diintensifkan dengan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat agar pesan-pesan kesehatan dapat diterima dan dipraktikkan. Aspek pembiayaan menjadi faktor krusial dalam keberlanjutan program penurunan stunting yang memerlukan alokasi anggaran yang memadai dan konsisten. Alokasi anggaran kementerian dan lembaga yang mendukung program percepatan penurunan stunting mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya dengan rincian untuk program dukungan, intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, dan intervensi sensitif seperti penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi. Anggaran yang besar ini menunjukkan komitmen serius pemerintah, namun efektivitas penggunaan anggaran juga harus terus dievaluasi agar tidak terjadi inefisiensi atau tumpang tindih program. Pemanfaatan dana desa untuk program pencegahan stunting juga perlu dioptimalkan mengingat dana desa merupakan sumber pembiayaan yang signifikan dan langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Peran keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat menjadi sangat sentral dalam upaya pencegahan stunting yang efektif. Program Bina Keluarga Balita (BKB) yang dikelola BKKBN menjadi wadah penting untuk memberikan edukasi dan pendampingan kepada keluarga yang memiliki balita, terutama keluarga berisiko stunting. Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang dibentuk di tingkat desa atau kelurahan bertugas mengunjungi dan mendampingi keluarga berisiko secara intensif, memberikan konseling gizi, memotivasi pemanfaatan layanan kesehatan, dan membantu keluarga mengakses berbagai bantuan sosial yang tersedia. Pendekatan keluarga ini terbukti efektif karena intervensi dapat dilakukan secara lebih personal dan disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap keluarga. Pemberdayaan ekonomi keluarga juga menjadi komponen penting karena kemiskinan merupakan akar masalah stunting yang paling fundamental. Peran masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta dalam mendukung program penurunan stunting juga semakin penting dan perlu terus ditingkatkan. Berbagai LSM dan organisasi berbasis masyarakat telah berkontribusi dalam advokasi, edukasi, dan implementasi program di tingkat akar rumput dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan sesuai konteks lokal. Sektor swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat berkontribusi dalam berbagai bentuk mulai dari pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi, pemberian makanan bergizi, pelatihan kader kesehatan, hingga inovasi produk pangan bergizi yang terjangkau. Kemitraan multi-stakeholder ini menciptakan ekosistem dukungan yang lebih kuat dan berkelanjutan dalam upaya penurunan stunting. Media massa juga memiliki peran strategis dalam meningkatkan kesadaran publik dan mengkampanyekan pentingnya pencegahan stunting kepada masyarakat luas. Pembelajaran dari berbagai negara yang berhasil menurunkan stunting secara signifikan dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam merancang strategi yang lebih efektif. Peru berhasil menurunkan prevalensi stunting melalui komitmen politik tinggi, program bantuan sosial bersyarat yang efektif, dan sistem pemantauan yang ketat. Rwanda menurunkan stunting dengan fokus pada pemberdayaan perempuan, ketahanan pangan, dan layanan kesehatan yang berkualitas. Etiopia menurunkan prevalensi stunting melalui program pertanian yang pro-gizi, edukasi ibu, dan layanan kesehatan berbasis komunitas. Kesamaan dari negara-negara yang berhasil ini adalah adanya komitmen politik yang kuat, pendekatan multisektor yang terkoordinasi, investasi yang memadai, dan sistem pemantauan evaluasi yang ketat. Indonesia dapat mengadopsi best practices ini dengan menyesuaikan konteks lokal dan budaya masyarakat. Menuju Indonesia Emas 2045, penanganan stunting harus dipandang sebagai investasi strategis untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Generasi yang terbebas dari stunting akan tumbuh menjadi individu yang sehat, cerdas, produktif, dan mampu berkontribusi maksimal dalam pembangunan bangsa. Bonus demografi yang diprediksi akan dinikmati Indonesia hingga tahun 2030-an hanya akan menjadi berkah jika kualitas SDM kita baik, sebaliknya akan menjadi beban jika kualitas SDM rendah akibat stunting dan masalah gizi lainnya. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting harus terus diintensifkan dengan strategi yang komprehensif, terukur, dan berkelanjutan. Target prevalensi stunting 5 persen pada 2045 adalah ambisi besar yang memerlukan kerja keras konsisten selama dua dekade, namun dengan komitmen kuat dan strategi yang tepat, target ini bukanlah mimpi yang mustahil. Pencapaian penurunan stunting menjadi 19,8 persen pada 2024 adalah momentum positif yang harus dijaga dan ditingkatkan, bukan menjadi titik berhenti dari perjuangan panjang melawan gagal tumbuh pada anak. Setiap angka penurunan prevalensi merepresentasikan ratusan ribu balita yang terselamatkan dari ancaman stunting dan memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang optimal. Di balik angka-angka statistik itu ada wajah anak-anak Indonesia yang berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan masa depan yang cerah. Tanggung jawab untuk memastikan setiap anak Indonesia tumbuh sehat dan cerdas ada di pundak kita semua - pemerintah, masyarakat, keluarga, dan setiap individu. Dengan kolaborasi yang solid, komitmen yang konsisten, dan inovasi yang berkelanjutan, Indonesia dapat mewujudkan generasi emas yang bebas stunting dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
