Film Look Both Ways dan Ketakutan Kita pada Perempuan Merdeka
Edukasi | 2025-11-04 18:30:18
Ada satu adegan dalam film Look Both Ways yang terus terbayang di kepala saya. Natalie, tokoh utama, duduk di kamar mandi sambil menatap dua garis merah di test pack. Dalam sekejap, hidupnya terbelah menjadi dua: dalam satu versi, ia menjadi ibu muda; dalam versi lain, ia tetap mengejar karier impiannya di dunia animasi. Dua jalur yang tampak berlawanan, namun sama-sama nyata bagi banyak perempuan hari ini—termasuk di Indonesia.
Film ini terlihat sederhana, tetapi di balik alur yang ringan tersimpan pertanyaan besar tentang kebebasan perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Sebuah pertanyaan yang, di negeri seperti Indonesia, masih sering sulit dijawab dengan jujur.
Saya kerap mendengar bagaimana mimpi perempuan diukur berdasarkan seberapa “masuk akal” bagi norma sosial. Setelah menikah, perempuan dianggap wajar jika meninggalkan karier untuk mengurus keluarga. Namun ketika ia memilih bertahan di dunia kerja atau menunda memiliki anak, cap egois, tidak keibuan, atau terlalu ambisius pun segera melekat.
Kenyataan ini membuat saya berpikir bahwa di negeri ini, mimpi perempuan sering dianggap kemewahan, bukan hak. Banyak perempuan akhirnya menekan impiannya agar tidak dianggap melawan kodrat. Padahal, impian adalah bagian dari eksistensi manusia, bukan sesuatu yang harus disembunyikan.
Look Both Ways menampilkan dilema ini dengan jujur. Dalam satu versi hidupnya, Natalie menjadi ibu muda yang menunda cita-cita dan tenggelam dalam rutinitas domestik. Ia berusaha menjadi sosok ibu yang baik, namun perlahan kehilangan dirinya sendiri. Di versi lainnya, Natalie yang memilih karier justru dihadapkan pada tekanan sosial dan kesepian yang tak kalah berat.
Kedua jalan itu menunjukkan kenyataan pahit: perempuan jarang dianggap benar di mata masyarakat. Ketika berkorban, ia dipuji sebagai sosok ideal. Namun ketika memilih dirinya sendiri, ia dicemooh sebagai perempuan yang tidak tahu diri.
Beberapa tahun terakhir, wacana tentang childfree mulai ramai dibicarakan di Indonesia. Banyak perempuan muda berani menyatakan keinginannya untuk tidak memiliki anak, dengan alasan karier, kesehatan mental, atau kesadaran lingkungan. Sayangnya, tanggapan yang muncul sering kali keras. Mereka dianggap menolak kodrat, menentang agama, atau “terlalu kebarat-baratan.” Padahal, keputusan seperti itu sering lahir dari refleksi mendalam tentang tanggung jawab dan kesiapan hidup.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua perempuan harus childfree. Namun saya percaya bahwa setiap keputusan hidup perempuan—baik memilih menjadi ibu maupun tidak—tidak seharusnya dijadikan bahan penghakiman publik.
Film Look Both Ways mengingatkan bahwa kehidupan perempuan tidak bisa disederhanakan dalam satu rumus. Dalam satu versi, Natalie menemukan makna baru dalam pengasuhan. Di versi lain, ia menemukan kebahagiaan lewat karya dan kebebasan. Keduanya sah dan berharga. Sayangnya, di Indonesia, ruang bagi perempuan untuk menentukan versinya sendiri masih sangat sempit. Norma sosial sering kali lebih berkuasa daripada suara hati individu.
Kita hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keluarga. Dalam banyak hal, nilai itu indah karena menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kebersamaan. Namun ketika berubah menjadi tekanan, nilai yang seharusnya menenangkan justru bisa mematikan kebebasan individu.
Saya pernah menyaksikan seorang perempuan yang sukses di usia muda, tetapi pertanyaan yang selalu diterimanya bukan tentang proyek atau prestasi, melainkan “kapan menikah.” Seolah pencapaian perempuan tidak akan pernah dianggap lengkap tanpa suami dan anak.
Di balik perdebatan tentang childfree atau “perempuan karier,” yang sebenarnya diperjuangkan adalah hak untuk memilih kehidupan yang bermakna bagi diri sendiri. Bagi sebagian perempuan, menjadi ibu adalah panggilan hidup. Namun bagi yang lain, kebahagiaan mungkin justru terletak pada ruang untuk berkarya atau mengejar mimpi pribadi. Kedua pilihan itu sama-sama manusiawi. Tidak ada yang lebih mulia, tidak ada yang lebih salah.
Yang menarik dari Look Both Ways adalah sikapnya yang tidak memihak. Film ini tidak menempatkan ibu rumah tangga di atas perempuan karier, atau sebaliknya. Ia hanya menunjukkan bahwa hidup selalu penuh konsekuensi. Namun di Indonesia, kebebasan memilih sering dianggap mencurigakan. Masyarakat kita terbiasa mengaitkan moralitas dengan keseragaman. Ketika seseorang berani mengambil jalan berbeda, yang disalahkan bukan pilihannya, melainkan keberaniannya melawan arus.
Perempuan yang childfree dianggap egois. Yang menunda pernikahan dicap tidak laku. Yang fokus pada karier dianggap maskulin. Semua label itu memperlihatkan betapa sempitnya ruang bagi perempuan untuk bernapas sebagai manusia utuh. Sementara itu, laki-laki jarang menghadapi tekanan sosial serupa. Pilihan mereka untuk menikah atau tidak, punya anak atau tidak, jarang dipertanyakan.
Film ini juga menyinggung ketimpangan itu lewat karakter Gabe, yang tetap memiliki kebebasan lebih besar meskipun menghadapi konsekuensi yang sama. Di Indonesia, ketimpangan seperti ini terasa jauh lebih nyata. Tanggung jawab moral dan sosial hampir selalu dibebankan kepada perempuan, seolah mereka penentu tunggal baik buruknya peradaban keluarga.
Saya tidak menolak nilai keluarga atau pernikahan. Saya hanya ingin melihat masyarakat yang memberi ruang bagi perempuan untuk menafsirkan kebahagiaannya sendiri. Film Look Both Ways membuat saya bertanya: mengapa kita begitu takut pada perempuan yang memilih jalannya sendiri? Apakah kebebasan perempuan benar-benar mengancam tatanan sosial, atau kita hanya takut kehilangan kendali atas definisi “baik” dan “benar”?
Indonesia sedang bergerak menuju era yang lebih terbuka. Media sosial membuat banyak orang berani berbicara tentang pilihan hidup, termasuk perempuan. Namun di sisi lain, komentar moral dan penghakiman publik juga semakin keras. Ruang dialog perlahan berubah menjadi arena perdebatan tentang siapa yang paling benar.
Padahal, jika kita mau belajar dari film ini, kita mungkin akan lebih memahami bahwa hidup perempuan bukanlah ajang penilaian, melainkan perjalanan mencari keseimbangan antara tanggung jawab dan kebahagiaan.
Saya percaya, perempuan berhak bermimpi besar tanpa harus selalu dikaitkan dengan peran domestik. Memilih menjadi ibu adalah hal mulia, tetapi menjadi perempuan childfree juga merupakan pilihan yang berani dan bertanggung jawab. Film Look Both Ways menunjukkan bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus sebagaimana yang diajarkan masyarakat. Kadang, perempuan harus menempuh dua jalan dalam pikirannya: antara memenuhi norma dan memperjuangkan diri sendiri.
Saya berharap, suatu hari nanti, masyarakat Indonesia tidak lagi menilai perempuan dari apakah ia memiliki anak atau tidak, tetapi dari bagaimana ia menjalani hidup dengan sadar, penuh kasih, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Karena pada akhirnya, perempuan tidak dilahirkan hanya untuk menjadi simbol moral keluarga, melainkan untuk menjadi manusia yang bebas bermimpi dan menentukan takdirnya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
