Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Namaku Bukan di Sini

Sastra | 2025-11-03 00:01:10
Image by Kanenori from Pixabay.

Namaku tidak pernah benar sejak awal. Bukan karena orangtuaku lupa, tapi karena seorang guru SD menuliskannya tergesa, dan sejak itu, dunia mencatat aku dengan nama yang bukan sepenuhnya milikku.

Waktu itu aku tak mengerti arti pentingnya. Tapi makin besar, makin terasa aneh. Ijazah, rapor, formulir beasiswa—semua memanggilku dengan nama yang tak pernah kuucapkan dengan rasa. Nama itu ada di stempel dan tanda tangan, tapi tak pernah ada di dalam dada.

Pernah aku mencoba membetulkannya. Saat SMA, membawa fotokopi akta ke kantor kelurahan. Petugasnya menyambut sambil menyeruput kopi, lalu bilang, “Kalau sudah begini, tak bisa diubah. Kecuali kau mati, lalu lahir lagi.”

Ia tertawa. Aku ikut tersenyum, walau ada yang menegang dalam dada. Dari situ aku tahu, di negeri ini ada hal-hal yang lebih kuat dari akal sehat—dan lebih sulit dari kelahiran ulang.

Ayah memberiku nama dari Hari Pahlawan. Ibu menuliskannya di selembar kain putih yang disimpan dalam lemari. Tapi negara hanya melihat ejaan, dan tak pernah menengok lemari ibu.

Lucunya, nama yang salah itu membawaku ke tempat-tempat yang benar. Aku tumbuh bersamanya. Belajar berdamai. Menggunakannya saat mengajar, saat menulis, bahkan saat memperkenalkan diri pada orang-orang yang kelak jadi penting dalam hidupku. Nama itu tidak sepenuhnya milikku, tapi hidupku menempel padanya.

Dan yang mengikat semua itu bukan huruf—melainkan bunyi.

Dari kecil aku sudah percaya bahwa suara lebih setia dari nama. Nama bisa dibalik, disingkat, dilupakan. Tapi bunyi selalu kembali, bahkan saat tak ada yang memanggil.

Aku tumbuh di rumah kayu berdinding papan, tempat suara masuk dari segala arah. Azan dari meunasah, tawa anak-anak bermain, sendok beradu di dapur. Tapi satu suara yang tak pernah hilang dari ingatanku adalah rapa’i. Sore hari, menjelang magrib, bunyi itu muncul dari ujung gang. Pelan. Mengalun. Seperti sedang menunggu sesuatu.

Di sana, seorang lelaki tua duduk bersila, memukul rapa’i sendirian. Ia juga kadang meniup seurune. Anak-anak takut padanya—menyebutnya sinting. Tapi aku menyukainya. Dari lelaki itu, aku belajar bahwa bunyi tidak harus dimengerti untuk bisa menyentuh. Ia tidak minta dijelaskan, cukup didengar.

Semakin besar, semakin aku sadar bahwa bunyi itu bukan sekadar irama. Ia seperti cara kampung kami bernapas. Dan ketika aku pergi merantau, dunia jadi lebih bising—tapi tak lebih bermakna. Di balik segala kebisingan kota, aku masih bisa mengenali suara kampungku. Seperti gema yang tahu jalan pulang.

Semua bunyi itu ikut dalam tubuhku ketika tanah di bawah kaki tiba-tiba menggeliat, suatu pagi di bulan Desember.

Hari itu, aku hampir saja ke Blang Padang untuk sarapan bubur. Tapi ibu memintaku menyapu halaman. Aku menyapu sambil malas-malas, hingga tanah bergetar seperti tubuh tua yang kedinginan. Suara dari dalam bumi terdengar bukan di telinga, tapi di dada.

Tiang listrik menari. Genteng berjatuhan. Lalu diam. Bukan diam biasa, tapi diam yang menakutkan. Seperti dunia lupa cara bersuara.

Dan kemudian, datanglah suara yang tak pernah bisa dijelaskan. Bukan sekadar ombak—tapi dinding air, suara kayu tumbang, mayat menghantam aspal, dan orang-orang berteriak sambil berlari. Tapi air lebih cepat.

Aku dan adikku lari menuju masjid dua lantai. Kami naik, dan duduk di pojok. Basah, kedinginan, saling memanggil nama hanya untuk memastikan bahwa kami masih ada.

Setelah itu, sunyi. Kota seperti baru selesai dimarahi Tuhan.

Kami kehilangan rumah. Teman-teman kampus. Seorang guru yang selalu menyebut namaku dengan benar. Yang tersisa hanyalah lumpur, serpihan alat musik, dan sebuah piano tua yang masih bisa mengeluarkan satu oktaf nada meski tubuhnya patah.

Aku kembali ke kampus seni—atau yang tersisa darinya. Duduk di ruang kosong dan mengetuk meja seperti ketukan metronom. Bukan untuk mengiringi musik, tapi agar dunia tahu bahwa masih ada ritme yang belum mati.

Aku mulai mengajar lagi. Bukan karena ditugasi, tapi karena aku tak tahan melihat ruang kosong tanpa suara.

Namun di ruang-ruang rapat, yang dibicarakan bukan kurikulum seni, melainkan anggaran. Aku bicara tentang panggung, mereka bicara efisiensi. Aku bicara tentang pendidikan jiwa, mereka bicara indikator. Dan aku melihat podium makin tinggi, makin jauh dari panggung.

Di atas podium, orang bicara tentang “transformasi pendidikan.” Tapi di panggung, anak-anak hanya punya satu set rebana bekas dan kostum pinjaman. Aku berdiri di antara keduanya. Bukan untuk memilih. Tapi untuk menjahit. Karena aku tahu: jika panggung kehilangan podium, seni hanya jadi hiburan. Tapi kalau podium kehilangan panggung, pendidikan jadi bunyi kosong.

Pada suatu waktu, aku diajak menyebrang ke pulau kecil bersama seorang perempuan tua dari negeri jauh. Ia membawa buku catatan dan mikrofon kecil, bukan kamera. Kami tinggal bersama keluarga penabuh rapa’i. Tidur di tikar, makan daun pisang, dan mencatat bukan untuk publikasi, tapi agar tak lupa.

“Jangan buru-buru mencatat,” katanya padaku. “Dengarkan dulu. Baru nanti kau tahu apa yang penting.”

Dari perjalanan itu, aku belajar bahwa mendengar adalah kerja budaya yang paling jujur. Bukan untuk menguasai, tapi untuk menghormati. Dan sejak itu, aku tak lagi hanya mengajar. Aku mulai benar-benar mendengar.

Waktu berlalu. Orang-orang datang dan pergi dengan proposal. Festival dilaksanakan, lalu dilupakan. Lembaga budaya berdiri dan tumbang bergiliran. Tapi aku tetap di ruang kecil, dindingnya penuh foto pertunjukan kecil, naskah lama, dan satu salinan partitur yang tak pernah sempat diterbitkan.

Aku menulis. Merekam. Mengarsip. Mencetak buku dengan uang sendiri. Kadang dibaca orang, kadang tidak. Tapi aku simpan semua. Karena siapa tahu, suatu hari nanti, akan ada satu anak muda yang menemukannya—dan tahu bahwa dulu, pernah ada seseorang yang peduli.

Aku tak diundang ke seminar nasional. Tak masuk daftar penerima penghargaan. Tapi aku tak menyesal. Yang penting, rapa’i masih dipukul. Seurune masih ditiup. Anak-anak tahu perbedaan antara diam dan hening.

Kadang, aku duduk sendiri malam-malam. Memutar rekaman lama. Mendengar bunyi-bunyi yang dulu kuanggap biasa. Sekarang mereka terdengar seperti doa.

Jika suatu hari nanti kau membaca ini, mungkin namaku sudah tak ada. Mungkin hanya muncul di dokumen yang tetap salah eja.

Tapi tolong—dengarkan bunyinya.

Aku takut, satu hari nanti, tak ada lagi yang tahu nama-nama tarian. Tak ada yang bisa menyetem canang. Tak ada yang paham bahwa pendidikan itu bukan sekadar nilai, tapi nilai-nilai. Takut sekolah seni jadi tempat pelatihan proyek. Takut suara ibu tenggelam oleh notifikasi.

Tapi yang paling kutakutkan: tak ada yang takut akan semua ini.

Kalau nanti kalian punya panggung sendiri, ingatlah: panggung ini dulu dibangun dari bambu bekas dan mimpi yang tak dibayar. Kalau kalian lebih pintar dari kami, jadilah lebih bijak juga.

Dan kalau pun kalian lupa siapa aku, tak apa.

Asal kalian masih bisa dengar bunyi ini:

duk tak duk tak

Itu bunyi yang pernah kujaga.

Dan selama bunyi itu masih ada, aku belum benar-benar hilang.

Banda Aceh, 04.08.2025

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image