Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arga Nagyadikara

Mengapa Raksasa Teknologi Pindah ke Kutub Utara?

Teknologi | 2025-11-01 16:43:46

Mengapa Raksasa Teknologi Pindah ke Kutub Utara?

Data center Facebook di Lulea (facebook)

Saat kita mengirim email, menonton film secara streaming, atau bahkan melatih model kecerdasan buatan (AI), kita sering menggunakan istilah "awan" atau “cloud”. Istilah ini memberikan kesan bahwa data kita tersimpan di sebuah ruang yang tak berwujud, bersih, dan tak terbatas. Namun, kenyataannya jauh lebih membumi dan memiliki implikasi energi yang sangat besar.

"Awan" pada dasarnya adalah nama komersial untuk Pusat Data (Data Center). Ini adalah bangunan fisik raksasa, seringkali seukuran beberapa lapangan sepak bola, yang diisi dengan ribuan rak server komputer. Server-server inilah yang bekerja 24/7 untuk menyimpan, memproses, dan mengirimkan triliunan data digital kita.

Sebagai mahasiswa di bidang Teknologi Sains Data, kami adalah salah satu pengguna utama yang mendorong permintaan infrastruktur ini. Setiap kali kami memproses Big Data atau melatih model Deep Learning yang kompleks, kami secara esensial "memaksa" server-server ini bekerja dengan kapasitas penuh. Konsekuensi yang tak terhindarkan dari aktivitas komputasi intensif ini adalah satu hal: panas. Sangat banyak panas.

Masalahnya, menjaga ribuan server ini agar tetap dingin untuk mencegah overheating adalah tantangan operasional terbesar. Diperkirakan, sistem pendingin (HVAC) di sebuah pusat data konvensional dapat mengonsumsi 30% hingga 40% dari total penggunaan listriknya. Ini adalah konsumsi energi yang masif, menciptakan jejak karbon yang signifikan dan menjadi tantangan langsung bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Poin 7: Energi Bersih dan Terjangkau.

Lantas, bagaimana para raksasa teknologi ini mengatasi masalah "panas" mereka? Jawabannya, ironisnya, adalah dengan mencari "dingin". Inilah alasan utama mengapa perusahaan seperti Meta (Facebook) dan Google membangun fasilitas hyperscale terbaru mereka di lokasi-lokasi yang sangat dingin, bahkan di dekat Lingkaran Arktik. Meta, misalnya, memiliki pusat data canggih di Luleå, Swedia, sementara Google memiliki fasilitas besar di Hamina, Finlandia. Mereka pindah ke Kutub Utara bukan untuk pemandangan, tetapi untuk memanfaatkan salah satu sumber daya alam paling melimpah di sana: udara dingin.

Konsep ini dikenal sebagai "pendinginan gratis" (free cooling). Daripada menyalakan chiller dan pendingin udara (AC) mekanis yang boros energi, pusat data ini dirancang untuk menarik udara dingin dari luar. Udara Arktik yang segar disaring dan dialirkan melalui lorong-lorong server untuk menyerap panas, kemudian dibuang kembali ke luar. Proses ini secara drastis mengurangi, atau bahkan meniadakan, kebutuhan akan pendingin bertenaga listrik.

Langkah brilian ini adalah contoh sempurna dari SDG Poin 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur. Ini adalah inovasi infrastruktur yang tidak hanya membangun lebih banyak, tetapi membangun lebih cerdas dengan beradaptasi secara harmonis dengan lingkungan. Dengan menempatkan infrastruktur digital padat energi di lokasi yang tepat secara geografis, mereka secara masif meningkatkan efisiensi.

Lebih jauh lagi, lokasi-lokasi Nordik ini sering kali memiliki kelebihan pasokan energi terbarukan, terutama tenaga air (hidro), yang bersih dan stabil. Ini menciptakan siklus yang baik: pusat data mendapatkan energi bersih yang mereka butuhkan, sekaligus mengurangi beban energi untuk pendinginan.

Bagi kita di dunia sains data, ini adalah pengingat penting. Di balik setiap baris kode yang kita jalankan, ada biaya energi yang nyata. "Awan" bukanlah entitas magis, ia adalah infrastruktur fisik dengan jejak lingkungan yang konkret. Dengan memahami hal ini, kita dapat mulai memikirkan cara merancang algoritma yang lebih efisien, sebuah langkah kecil dalam dunia data, namun merupakan langkah besar untuk planet yang lebih hijau.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image