Antara Khilafah dan Kebangsaan: Membaca Sumpah Pemuda dari Lensa Geopolitik Islam
Sejarah | 2025-10-29 19:51:57
"Bagaimana keruntuhan Turki Utsmaniyah tahun 1924 membentuk pilihan ideologis pemuda Muslim Indonesia empat tahun kemudian"
Ketika para pemuda berkumpul di Gedung Kramat Raya 106 pada 28 Oktober 1928, mereka bukan hanya merumuskan ikrar kebangsaan. Tanpa disadari, mereka juga sedang menyelesaikan sebuah pertarungan ideologis yang telah berlangsung sejak runtuhnya Kesultanan Turki Utsmaniyah empat tahun sebelumnya. Pertanyaan besarnya: apakah loyalitas politik utama umat Islam kepada ummat global atau kepada bangsa teritorial?
Historiografi mainstream Sumpah Pemuda jarang menyentuh dimensi ini. Narasi resmi lebih suka menggambarkan ikrar 1928 sebagai konsensus natural dari beragam kelompok pemuda yang mengatasi perbedaan etnis dan agama. Padahal, di balik konsensus itu tersimpan sebuah pilihan politik yang contested: menerima nasionalisme teritorial sebagai pengganti Pan-Islamisme yang kehilangan basis institusionalnya.
Gempa Geopolitik: 3 Maret 1924
Untuk memahami Sumpah Pemuda secara utuh, kita perlu mundur ke 3 Maret 1924. Pada hari itu, Mustafa Kemal Atatürk secara resmi menghapuskan institusi Khilafah Islamiyyah yang telah berdiri lebih dari 13 abad. Bukan sekadar perubahan sistem pemerintahan di Turki, ini adalah gempa geopolitik yang mengguncang seluruh dunia Islam.
Responnya di Indonesia sangat massif. Hanya sembilan bulan kemudian, tepatnya 24-26 Desember 1924, umat Islam Indonesia menggelar Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya. Kongres ini dihadiri 1.000 Muslim dari berbagai organisasi dan melahirkan Centraal Comite Chilafat (CCC) sebagai delegasi umat Islam Indonesia. Di dalam komite ini duduk tokoh-tokoh besar: Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, Haji Fachruddin dari Muhammadiyah, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, dan Suryopranoto dari PSI.
Fakta ini mengungkapkan sesuatu yang jarang dibahas: hanya empat tahun sebelum Sumpah Pemuda, solidaritas utama umat Islam Indonesia masih tertuju kepada khilafah global, bukan kepada entitas kebangsaan Indonesia yang belum terbentuk. Pan-Islamisme adalah mainstream, nasionalisme teritorial masih marginal.
Vacuum Kekuasaan dan Pilihan Ideologis
Keruntuhan khilafah menciptakan vacuum ideologis dan institusional yang mendalam. Selama berabad-abad, khilafah Utsmaniyah, meskipun lemah secara faktual, tetap berfungsi sebagai simbol kesatuan politik Islam global. Dengan hilangnya simbol itu, pertanyaan mendesak muncul: struktur politik apa yang akan menggantikannya?
Di Timur Tengah, jawaban yang muncul adalah nasionalisme Arab. Di Asia Selatan, gerakan Khilafat di India berusaha menyelamatkan institusi khilafah namun akhirnya gagal. Di Indonesia, situasi lebih kompleks. Sarekat Islam yang sejak awal 1920-an menjadi corong terbesar Pan-Islamisme mulai terpecah. Perpecahan 1921 antara faksi religius dan komunis sudah melemahkan organisasi ini, dan isu khilafah semakin memperumit posisi mereka.
Yang menarik, justru pada momen ketika Timur Tengah mulai meninggalkan Pan-Islamisme, umat Islam di pinggiran seperti Indonesia malah berusaha menghidupkannya kembali. Ini adalah ironi sejarah: pusat peradaban Islam bergerak ke arah sekularisme-nasionalis, sementara periphery masih berpegang pada idealisme Pan-Islam.
Jong Islamieten Bond: Mencari Sintesis
Di tengah kebingungan ideologis inilah Jong Islamieten Bond (JIB) didirikan pada 1 Januari 1925, hanya 10 bulan setelah abolisi khilafah. Pendiriannya diprakarsai oleh Sjamsuridjal dengan dukungan kuat H. Agus Salim, tokoh Sarekat Islam yang juga aktif dalam gerakan khilafat.
JIB lahir dari kegelisahan ganda. Pertama, kekhawatiran bahwa pemuda Muslim terpelajar yang dididik di sekolah Belanda lebih tertarik pada bioskop, dansa, dan sepak bola daripada Islam. Kedua, kecemasan bahwa gerakan nasionalis sekuler seperti Jong Java akan mendominasi wacana pemuda tanpa memberikan ruang bagi identitas Islam.
H. Agus Salim dengan tegas menyatakan bahwa JIB harus menjadi "alternatif pengganti nasionalisme sekuler." Baginya, hanya melalui Islam kontak antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan. Jawanisme Jong Java dianggap tidak cocok karena rakyat "tidak hidup di dalam sejarah keemasan zaman lama, melainkan di dalam nasib malang zaman sekarang."
Namun, posisi JIB juga tidak sepenuhnya Pan-Islamis dalam pengertian klasik. Mereka merumuskan definisi nasionalisme Islam yang unik: mencintai tanah air, bangsa, dan agama, tetapi disertai kesadaran akan saudara seagama di luar negeri dan sesama manusia. Ini adalah upaya sintesis yang ambisius antara loyalitas lokal-nasional dan solidaritas global-religius.
Kongres Pemuda: Momen Keputusan
Ketika Kongres Pemuda II digelar pada 27-28 Oktober 1928, JIB menghadapi dilema fundamental. Di satu sisi, mereka masih membawa idealisme Pan-Islam yang menekankan persaudaraan ummat di atas batas teritorial. Di sisi lain, realitas politik menunjukkan bahwa tanpa bersatu dengan kelompok nasionalis sekuler, gerakan kemerdekaan akan tetap lemah dan terfragmentasi.
Keputusan JIB untuk ikut serta dalam kongres bukanlah keputusan mudah. Catatan sejarah menunjukkan perdebatan internal yang intens. Ada kelompok dalam JIB yang khawatir bahwa menerima nasionalisme teritorial berarti mengkhianati cita-cita Pan-Islam. Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa "pembicaraan seputar Kongres Pemuda bukanlah tentang ideologi tertentu, melainkan solidaritas kebangsaan yang menegaskan identitas Indonesia."
Kehadiran JIB dalam kongres, dengan Djohan Mohammad Tjai sebagai pembantu panitia, menandai sebuah momen transformatif: pemuda Islam memilih kebangsaan Indonesia sebagai basis solidaritas politik primer mereka. Ini bukan berarti meninggalkan Islam, tetapi meredefinisi hubungan antara agama dan politik. Islam tetap menjadi identitas personal dan spiritual, tetapi tidak lagi menjadi basis organisasi politik negara.
Sekularisasi Tersembunyi
Dari lensa geopolitik Islam, Sumpah Pemuda 1928 merepresentasikan momen sekularisasi politik yang terselubung. Bukan sekularisasi dalam arti Barat yang memisahkan agama dari ruang publik, tetapi sekularisasi dalam pengertian bahwa identitas politik primer bergeser dari religius-transnasional ke nasional-teritorial.
Transformasi ini terjadi sangat cepat, hanya dalam rentang empat tahun (1924-1928). Kecepatan ini dimungkinkan oleh dua faktor. Pertama, keruntuhan khilafah membuat Pan-Islamisme kehilangan basis institusional konkretnya. Tanpa khalifah yang diakui, siapa yang akan memimpin ummat global? Kedua, kolonialisme Belanda memberikan musuh bersama yang lebih immediate dan konkret daripada ancaman abstrak terhadap Islam global.
Menariknya, pilihan ini tidak pernah dirumuskan secara eksplisit dalam teks Sumpah Pemuda. Kata "Islam" atau "agama" tidak muncul sama sekali. Yang diikrarkan adalah "tanah air Indonesia," "bangsa Indonesia," dan "bahasa Indonesia." Ketiadaan referensi religius ini bukan kebetulan, tetapi hasil dari kesepakatan politik: untuk bersatu, referensi partikular harus diminimalkan demi bahasa universal "kebangsaan."
Warisan dan Ketegangan
Pilihan 1928 ini meninggalkan warisan yang kompleks. Di satu sisi, ia memungkinkan persatuan lintas kelompok agama dan etnis yang menjadi fondasi Indonesia modern. Tanpa kompromi ini, sangat mungkin Indonesia akan terfragmentasi seperti negara-negara Arab pasca-Utsmaniyah.
Di sisi lain, ketegangan antara identitas Islam dan identitas kebangsaan tidak pernah sepenuhnya terselesaikan. Perdebatan tentang hubungan Islam dan negara terus berlanjut hingga hari ini. Dari perdebatan Piagam Jakarta 1945, hingga diskusi tentang peran syariah dalam hukum nasional, pertanyaan fundamental yang sama terus muncul: apakah Indonesia adalah negara Muslim yang kebetulan pluralistik, atau negara pluralistik yang kebetulan mayoritas Muslim?
Melihat kembali Sumpah Pemuda dari perspektif geopolitik Islam membantu kita memahami bahwa pilihan 1928 bukanlah solusi final, tetapi kompromi historis spesifik yang dibuat dalam konteks tertentu. Memahami konteks itu memungkinkan kita untuk tidak mengsakralkan pilihan sejarah, tetapi juga tidak menafikannya begitu saja.
Relevansi Kontemporer
Di era kontemporer, ketika kebangkitan Islam politik global kembali menawarkan narasi transnasional, memahami dinamika 1924-1928 menjadi semakin relevan. Kelompok-kelompok yang mengkritik nasionalisme dan menawarkan alternatif berbasis Pan-Islamisme atau khilafah, sebenarnya sedang mengajak untuk membatalkan pilihan 1928.
Apakah pilihan itu harus dibatalkan? Apakah ada alternatif yang lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan slogan-slogan patriotik atau mengulang narasi resmi tentang persatuan. Kita perlu memahami dengan jernih apa yang sebenarnya dipilih pada 1928, apa yang dikorbankan, dan apa konsekuensi jangka panjangnya.
Sumpah Pemuda bukan sekadar ikrar persatuan yang indah. Ia adalah pilihan politik yang dibuat dalam situasi krisis geopolitik Islam global, ketika keruntuhan khilafah memaksa Muslim Indonesia memilih antara menunggu rekonstruksi ummat global atau membangun entitas nasional sendiri. Mereka memilih yang kedua, dan pilihan itu membentuk Indonesia yang kita kenal hari ini.
Memahami sejarah bukan berarti setuju atau menolak pilihan masa lalu, tetapi memahami mengapa pilihan itu dibuat dan apa implikasinya. Hanya dengan pemahaman yang utuh, kita bisa membuat pilihan-pilihan politik yang lebih bijaksana untuk masa depan.
Referensi Utama:
- Formichi, C. (2010). "Pan-Islam and Religious Nationalism: The Case of Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia." Indonesia, 90 (October): 125-146.
- Formichi, C. (2013). "Mustafa Kemal's Abrogation of the Ottoman Caliphate and its Impact on the Indonesian Nationalist Movement." In Madawi al-Rasheed, Carool Kersten, Marat Shterin (eds), Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts. New York: Columbia University Press; London: Hurst Publishers, pp. 95-115.
- Husni, D. (1998). "Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942." M.A. Thesis, McGill University, Montreal.
- Jannah, M. (2019). "Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani 3 Maret 1924." MASA: Journal of History, 1(1).
- Noer, D. (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
- Saidi, R. (1990). Cendekiawan Islam Zaman Belanda: Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS (1925-1942). Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu.
Tulisan ini merupakan analisis akademis independen yang tidak mewakili pandangan institusi manapun.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
