Sumpah Pemuda: Fakta di Balik Mitos Kebangsaan
Sejarah | 2025-10-29 16:38:54
Setiap 28 Oktober, dari Sabang sampai Merauke, siswa-siswi Indonesia berdiri tegak membacakan tiga kalimat sakral: "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia..." Ritual ini berlangsung hampir satu abad, bagian tak terpisahkan dari identitas kebangsaan kita.
Tapi pernahkah kita bertanya: apakah para pemuda di Batavia, 28 Oktober 1928 itu, benar-benar bersumpah? Apakah mereka mengucapkan kata-kata persis seperti yang kita baca hari ini?
Jawabannya mengejutkan. Dan justru membuat semangat 1928 semakin bermakna.
"Sumpah" yang Tidak Pernah Ada
Dokumen yang dihasilkan Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 tidak pernah disebut "Sumpah Pemuda". Nama resminya adalah "Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia", atau Putusan Kongres. Bahkan naskah yang kini terpajang di Museum Sumpah Pemuda tidak memiliki tanda tangan, cap, atau segel resmi.
Yang lebih menarik: para pemuda 1928 tidak menggunakan kata "bersumpah" atau "berjanji". Mereka menggunakan kata mengaku (bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu) dan menjunjung (bahasa persatuan). Ini pernyataan identitas kolektif, bukan ikrar sakral.
Keith Foulcher, akademisi dari University of Sydney yang meneliti topik ini dan dipublikasikan di jurnal Asian Studies Review (2000), menjelaskan bahwa "Sumpah Pemuda" adalah konstruksi simbolik yang muncul jauh setelah peristiwa 1928. Konstruksi ini dibentuk oleh kebutuhan politik negara muda.
Istilah "Sumpah Pemuda" baru populer pertengahan 1950-an. Mengapa? Tahun 1957, Indonesia mengalami krisis: demokrasi terpimpin, pemberontakan di Sumatera dan Indonesia Timur, darurat militer. Negara memerlukan simbol pemersatu. Maka narasi "Sumpah Pemuda" dimunculkan besar-besaran untuk pertama kalinya.
Strategi Politik di Balik Persatuan
Kongres Pemuda II bukan pertemuan spontan. Di baliknya ada pergulatan ideologi, strategi politik, dan pengaruh internasional yang kompleks.
Otak di Balik Gerakan: Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mengeluarkan manifesto politik pada 1925 yang terdiri dari empat azas: kesatuan nasional, swadaya, non-kooperasi, dan solidaritas. Manifesto ini kemudian menjadi landasan nasionalisme Indonesia yang terkristalisasi dalam Sumpah Pemuda.
Inilah yang jarang diungkap: Soegondo Djojopoespito, ketua Kongres Pemuda II, mengenal PI melalui majalah terlarang "Indonesia Merdeka" yang diselundupkan dari Belanda. Setelah membacanya, pikirannya terbuka dan ia menyadari pentingnya meraih kemerdekaan.
Mohammad Hatta berpesan kepada semua anggota PI yang kembali ke Indonesia untuk mengembangkan dasar-dasarnya dengan mendirikan partai nasional berhaluan non-kooperasi. Kongres Pemuda II adalah bagian dari strategi besar itu.
Bahasa Sebagai Senjata Politik
Para intelektual muda, terutama dari lingkaran Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan Pemoeda Indonesia, mulai menolak penggunaan bahasa Belanda dalam percakapan dan tulisan. Bagi mereka, bahasa Belanda adalah simbol dominasi Barat. Sebagai gantinya, mereka memilih bahasa Melayu pergaulan sebagai dasar untuk membentuk "Bahasa Indonesia". Ini bukan sekadar pilihan linguistik, tapi pernyataan politik: kita memiliki bahasa sendiri.
Panggung Internasional
Perhimpunan Indonesia aktif dalam Liga Demokrasi Internasional dan Liga Penentang Imperialisme. Dalam Kongres Demokrasi Internasional di Bierville, Hatta berhasil mendapatkan pengakuan atas Indonesia. Bangsa Indonesia tidak lagi disebut Hindia-Belanda.
Kongres Pemuda 1928 bukan peristiwa lokal. Ia bagian dari gelombang besar gerakan anti-kolonial global pasca Perang Dunia I.
Ironi Kolonialisme
Kebijakan Politik Etis pemerintah kolonial Belanda yang membuka akses pendidikan bagi rakyat Indonesia justru melahirkan generasi terdidik yang kritis terhadap penjajahan. Belanda menciptakan musuhnya sendiri. Mahasiswa STOVIA dan Rechtshoogeschool yang dididik sistem kolonial, justru menjadi arsitek gerakan kemerdekaan.
Pasca pemberontakan PKI yang gagal pada 1926-1927, pergerakan kemerdekaan mengalami perubahan arah ideologi. Hancurnya kekuatan PKI membuat golongan nasionalisme memiliki ruang gerak lebih leluasa. Kongres Pemuda II terjadi di kekosongan politik ini. Nasionalis sekuler mengisi ruang dengan narasi "persatuan Indonesia" yang lebih inklusif ketimbang ideologi kelas.
Mereka yang Terlupakan
Sejarah mainstream menyajikan Sumpah Pemuda sebagai kisah tokoh laki-laki: Mohammad Yamin, Soegondo Djojopuspito, Wage Rudolf Supratman. Tapi ada banyak nama yang sistematis terhapus.
Perempuan Pemuda
Hanya 6 perempuan hadir dalam kongres. Tapi peran mereka fundamental.
Johanna Masdani Tumbuan, pemudi Minahasa berusia 18 tahun, adalah pembaca ikrar Sumpah Pemuda. Ya, bukan laki-laki yang membacakannya.
Siti Soendari, adik dr. Soetomo, meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Leiden pada 1934. Pencapaian luar biasa untuk perempuan di masa kolonial. Dia menegaskan pentingnya mendidik perempuan tentang cinta tanah air.
Poernomowoelan, guru dari Taman Siswa, menjadi pembicara pertama di Kongres Pemuda II. Ia berbicara tentang pentingnya pendidikan disiplin.
Pemuda Tionghoa
Sie Kok Liong, pemilik rumah Jalan Kramat 106, dengan berani menyediakan rumahnya meski berisiko ditangkap Belanda. Tapi hampir tidak ada dokumentasi tentangnya di Museum Sumpah Pemuda.
Hadir pula empat peninjau Tionghoa: Kwee Thiam Hong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Kehadiran mereka membuktikan semangat persatuan melampaui sekat etnis sejak awal. Sebelum Orde Baru menghapus jejak ini dari buku sejarah.
Kongres dalam Kepungan
Mari buang romantisme berlebihan. Pemerintah Belanda awalnya tidak mengizinkan kongres. Butuh negosiasi keras berjam-jam untuk mendapat izin dengan syarat ketat: tidak boleh kritik pemerintah atau menyebut kata "merdeka".
Pada 27 Oktober 1928, kongres sempat dihentikan polisi dua kali. Pertama ketika ada yang menyebut "kemerdekaan", kedua saat ada ajakan agar Indonesia seperti Inggris dan Jepang. Lagu Indonesia Raya hanya dimainkan biola tanpa syair karena khawatir kongres dibubarkan.
Ini bukan kongres heroik di ruang kebebasan. Ini perjuangan dalam sensor dan ancaman.
Mengapa Kejujuran Ini Penting?
Pertanyaan yang mungkin muncul: "Mengapa membongkar hal ini? Bukankah Sumpah Pemuda telah berhasil menyatukan bangsa?"
Jawabannya: kejujuran sejarah tidak melemahkan bangsa. Justru memperkuatnya.
Memahami dimensi politik-ideologis ini membuat kita melihat Sumpah Pemuda bukan sebagai momen magis, tapi sebagai hasil strategi politik yang matang. Para pemuda 1928 bukan naif. Mereka adalah aktor politik yang memahami dinamika kekuasaan global dan lokal.
Ini juga menjelaskan mengapa Sukarno dan Yamin di tahun 1950-an begitu getol "merekayasa" Sumpah Pemuda. Mereka memahami bahwa simbol persatuan perlu dikonstruksi secara sengaja untuk melawan separatisme. Nation-building adalah proyek politik yang disengaja, bukan proses organik.
Asvi Warman Adam, Profesor Riset dari BRIN yang purnatugas 2024 setelah hampir 40 tahun meneliti sejarah Indonesia, mengajarkan bahwa sejarah yang dijadikan alat kekuasaan justru menindas. Ketika Orde Baru memaksakan versi tunggal, bangsa kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Pelajaran Berharga
Pertama, sejarah itu kompleks. Nation-building bukan proses linear dengan pahlawan sempurna. Ia penuh negosiasi, kompromi, strategi politik, dan pengaruh internasional.
Kedua, inklusivitas bukan hal baru. Perempuan dan etnis Tionghoa berkontribusi sejak awal. Kita yang memilih melupakan.
Ketiga, kejujuran menghormati perjuangan. Para pemuda 1928 berjuang dalam bahaya nyata, dengan strategi politik yang cermat. Mereka tidak perlu "disumpahkan" untuk menjadi heroik.
Mitos, Fakta, dan Makna
Tulisan ini tidak mengajak membuang Sumpah Pemuda. Sebaliknya, mengajak memahaminya dengan lebih matang.
Ya, "Sumpah Pemuda" adalah konstruksi politik 1950-an. Ya, pemuda 1928 tidak pernah "bersumpah" dengan kata-kata yang kita ucapkan hari ini. Ya, banyak kontributor terlupakan. Ya, di baliknya ada strategi politik yang kompleks.
Tapi justru karena itu, semangat 28 Oktober 1928 menjadi lebih kuat. Mereka tidak memerlukan ritual sakral atau dokumen sempurna. Yang mereka miliki adalah keberanian bertemu melampaui perbedaan, pemahaman strategi politik yang matang, jaringan internasional yang kuat, dan dalam situasi penuh ancaman, untuk membayangkan Indonesia yang belum ada.
Itu yang perlu kita warisi: bukan teks sempurna, tapi keberanian terus mempertanyakan, memperbaiki, dan memperluas cakupan "kita". Kemampuan memahami dinamika politik tanpa kehilangan idealisme. Kesadaran bahwa persatuan adalah hasil kerja keras, bukan hadiah dari langit.
Bangsa yang matang tidak memerlukan mitos tanpa cacat. Bangsa yang matang berani menghadapi kompleksitas sejarahnya. Dengan segala ketidaksempurnaan, strategi politik, dan kontribusi yang terlupakan, kita tetap memilih bersatu.
Sumpah Pemuda bukan warisan statis. Ia adalah proses yang terus berlanjut. Dan proses itu dimulai dengan kejujuran.
REFERENSI:
Sumber Utama:
- Foulcher, K. (2000). "Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood", Asian Studies Review, Vol. 24, No. 3, pp. 377-410.
- Asvi Warman Adam, Profesor Riset Sejarah Sosial Politik, BRIN (purnatugas 2024)
- Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1925
- Naskah "Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia", Museum Sumpah Pemuda
Sumber Pendukung:
- Berbagai sumber historis dari Detik, Kompas, Katadata, Jatim Times, Historia.id, dan Ekspresionline mengenai tokoh-tokoh Sumpah Pemuda, Perhimpunan Indonesia, dan dimensi politik-ideologis gerakan pemuda 1920-an
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
