Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Riskiyani

Menembus Mitos Radiasi: Kisah Perempuan di Dunia Radiologi

Teknologi | 2025-10-28 19:26:34

Di ruang berpendingin dengan suara mesin berdengung, seorang perempuan muda mengenakan jas lab putih memeriksa hasil CT Scan di layar komputer. Di balik layar itu, ada tanggung jawab besar untuk membantu dokter menegakkan diagnosis pasien. Dialah salah satu dari sedikit perempuan yang memilih menekuni dunia radiologi, bidang yang kerap dianggap didominasi laki-laki dan sering disalahpahami karena dianggap “berbahaya” akibat paparan radiasi.

Dunia radiologi sering diselimuti kesalahpahaman. Banyak masyarakat masih takut dengan kata “radiasi” yang dianggap bisa menyebabkan kemandulan, bahkan kanker. Akibatnya, profesi radiografer kadang dipandang berisiko tinggi.
Padahal, teknologi medis modern sudah menerapkan standar keselamatan yang ketat. Paparan radiasi bagi tenaga radiologi diawasi menggunakan alat pemantau dosis, dan hasilnya selalu jauh di bawah batas aman. Lembaga seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) juga memastikan setiap rumah sakit mematuhi regulasi keselamatan radiasi.
“Yang penting adalah pengetahuan dan prosedur. Radiasi medis itu aman selama digunakan sesuai standar,” jelas salah satu radiografer senior di sebuah rumah sakit umum di Surabaya.

Radiologi bukan hanya tentang mesin dan sinar-X. Di dalamnya ada ketelitian, empati, dan tanggung jawab besar untuk membantu pasien melalui citra medis.
Kini, semakin banyak perempuan memilih jalur ini. Mereka membuktikan bahwa dunia teknologi kesehatan bukan milik satu gender saja. Kelembutan dan ketelitian yang sering diasosiasikan dengan perempuan justru menjadi keunggulan tersendiri dalam pekerjaan yang menuntut kesabaran dan akurasi tinggi.

Meski jumlah perempuan di bidang radiologi meningkat, tantangan tetap ada. Selain harus menguasai teknologi dan ilmu fisika medis yang kompleks, mereka juga menghadapi pandangan masyarakat yang keliru soal radiasi.
“Banyak keluarga yang awalnya melarang saya karena takut radiasi bikin mandul,” ujar salah satu radiografer muda. “Padahal kami bekerja sesuai prosedur, dan paparan radiasinya sangat kecil. Justru pasien yang lebih sering terpapar karena kami di balik pelindung timbal.”

Radiografer perempuan kini tak hanya berperan di ruang pencitraan, tetapi juga dalam mengedukasi masyarakat agar tak lagi takut dengan radiasi medis. Mereka mengingatkan bahwa sinar-X bukan musuh, melainkan alat penting dalam deteksi dini penyakit seperti kanker, pneumonia, hingga patah tulang.
Selain itu, kehadiran perempuan di dunia radiologi juga menjadi simbol kesetaraan dan keberanian. Mereka bekerja di bidang yang menggabungkan ilmu, teknologi, dan empati manusia — tiga hal yang tak bisa digantikan oleh mesin, bahkan oleh kecerdasan buatan sekalipun.

Di balik layar CT Scan dan ruangan rontgen yang sering terasa asing bagi pasien, ada sosok perempuan-perempuan tangguh yang bekerja dengan penuh dedikasi. Mereka bukan hanya ahli dalam membaca citra tubuh manusia, tetapi juga menjadi jembatan antara sains dan kemanusiaan.
Radiografer perempuan membuktikan bahwa teknologi bisa berjalan seiring dengan empati dan bahwa di balik radiasi yang menakutkan bagi sebagian orang, sesungguhnya ada cahaya yang menyembuhkan.

 

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image