Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firman Wijaya

Krisis Hukum Agraria dan Timpangnya Penegakan Hukum di Indonesia

Hukum | 2025-10-27 21:03:29

Kriminalisasi masyarakat adat sering kali terjadi di Indonesia. hal ini merupakan imbas dari praktik perampasan wilayah adat yang dilakukan untuk kepentingan proyek industri dan pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, namun tidak jarang perampasan wilayah dilakukan oleh pemerintah dengan dalih proyek strategis nasional.

Ilustrasi Krisis Hukum Agraria Sumber: Ideogram.AI

Proyek strategis nasional (PSN) merupakan program pemerintah berskala besar yang dilakukan sebagai upaya untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, pemerataan pembangunan serta menumbuhkan perkembangan ekonomi nasional. PSN dianggap sebagai solusi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan berkelanjutan.

Pada pelaksanaannya, PSN sering kali bersinggungan langsung dengan wilayah-wilayah masyarakat adat di Indonesia seperti, pengembangan pangan dan energi yang dilakukan oleh pemerintah di Merauke, Papua Selatan. Melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024, dalam proyek tersebut pemerintah berencana menciptakan ketahanan pangan nasional yang berfokus pada swasembada gula dan biaetanol di kabupaten Merauke dengan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol yang diketuai oleh Bahlil Lahadalia sebagai ketua yang ditunjuk langsung oleh Presiden saat itu, Presiden Joko Widodo.

Dapat kita lihat pada proses implementasi PSN di Merauke, pemerintah telah melakukan penyerobotan lahan masyarakat adat Yei untuk pembangunan jalan perkebunan tebu dengan PT MNM sebagai pelaksananya, pembangunan tersebut merupakan bagian dari konsorsium penggarap program perkebunan tebu.

PT MNM diberikan izin konsesi lahan perkebunan seluas 52.700 Hektar yang mancakup area konsesi perkebunan hingga melintasi tanah marga Kwipalo sebagai tanah masyarakat adat Yei di Distrik Jagebob. Penyerobotan lahan ini telah menyebabkan hilangnya lahan yang digunakan oleh masyarakat adat sebagai lahan untuk berburu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kasus ini membuktikan bahwa alih-alih menjadi solusi bagi kesejahteraan masyarakat, PSN justru dianggap sebagai ancaman yang serius bagi masyarakat adat yang sering kali menjadi korban dari ambisi pemerintah. Pemerintah sering kali mengesampingkan hak-hak masyarakat adat yang telah merawat dan menjaga wilayah adat mereka sejak lama.

Hilangnya hak atas tanah warisan leluhur dan hancurnya hutan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat adat menjadi penderitaan yang musti segera dituntaskan atau diberikan alternatif solusi yang jauh lebih adil. Namun sayangnya, dengan dalih kesejahteraan masyarakat, pemerintah justru melanjutkan ambisi pembangunan yang berseberangan dengan keinginan masyarakat yang pada akhirnya memicu terjadinya konflik agraria dan hal tersebut pun menyebabkan erosi dari makna cita-cita reformasi agraria.

Penegakan hukum yang bias dan timpang menjadi ancaman terbesar bagi keamanan masyarakat, terkhusus bagi masyarakat adat. Mereka sering kali dijadikan korban kriminalisasi yang dilakukan oleh penguasa dalam penagakan hukum pada konflik-konflik agraria yang terjadi. Hal ini menjadikan hukum yang seharusnya memberikan keadilan bagi setiap masyarakat, terkesan lebih condong pada kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.

Timpangnya penegakan hukum dalam kasus-kasus konflik agraria yang kerap kali merugikan masyarakat adat sebagai korban, dengan menjadikannya sebagai kriminal, menandakan bahwa telah terjadinya krisis hukum agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaharuan Agraria awal tahun 2025 hingga maret 2025 melaporkan telah terjadi 113 kasus tentang kriminalisasi masyarakat adat.

Angka ini cukup besar, karena hanya terjadi dengan kurun waktu singkat jika dibandingkan dengan laporan akhir tahun 2024 yang dicatat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebanyak 121 kasus kriminalisasi yang dilakukan terhadap masyarakat adat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pembenahan diri yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki hukum agraria dengan berpegang teguh pada prinsip agraria yang berlaku di Indonesia.

Prinsip agraria menjadi kunci utama untuk menyelesaikan konflik agraria yang telah terjadi hari ini, pada prinsipnya, hukum agraria harus selalu memastikan bahwa tidak boleh ada pertentangan antara masyarakat adat dengan negara. Negara harus menjamin setiap hak-hak masyarakat adat agar dapat terpenuhi.

Meski pada pasal 3 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 yaitu UUPA dapat menjadi dasar hukum bagi masyarakat adat untuk mempertahankan wilayahnya. Namun, kerena lemahnya jaminan hukum yang diberikan pasal 3 UUPA tersebut dengan adanya prasa ”sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara” sering kali menjadi celah hukum bagi penguasa negara dalam menjalankan ambisinya. Maka perlu adanya jaminan hukum yang lebih serius dalam menjamin keselamatan setiap masyarakat adat.

Selain itu, hukum agraria memiliki prinsip bahwa kepemilikan tanah yang luas oleh seseorang merupakan bentuk dari ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Pemerintah seharusnya mempertegas hukum dan tindakannya dengan memperjelas batas kepemilikan tanah yang boleh dikuasai oleh perusahaan dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggarnya, agar dapat mencegah tindakan-tindakan perusahaan yang serakah, dengan memperluas kepemilikan atas tanah hingga memicu terjadinya konflik agraria dengan masyarakat lokal yang lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut.

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan pembatasan pada kepemilikan tanah dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan bahwa pemilikan dan penguasaan tahan yang melampaui batas tidak diperkenankan karena dianggap merugikan kepentingan umum, yang pelaksanaannya diatur pada pasal 17 UUPA yang kemudian diteruskan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 dengan mengatur batas maksimun kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian.

Namun, tidak ada satu pun UU ataupun Peraturan yang mengatur kepemilikan perusahaan secara tunggal, sehingga mengakibatkan pemilik perusahaan terkadang memanfaatkan celah tersebut untuk meperluas lahan perusahaannya yang terkadang berujung pada konflik. Untuk mencegah terjadinya penguasaan tanah yang sewenang-wenang oleh perusahaan, maka pemerintah harus merumuskan peraturan yang mengatur secara ekplisit batas-batas pemilikan dan penguasaan tanah yang dapat diperoleh oleh setiap perusahaan.

Setelah melakukan evaluasi dalam hukum agraria, Pemerintah juga perlu untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam menjalankan setiap hukum yang berlaku. Dalam menentukan setiap program yang akan dijalankan, pemerintah musti melakukan perencanaan yang matang dan analisis yang baik sebagai hal paling fundamental. Untuk menjadi pemerintahan yang baik pemerintah juga harus mematuhi setiap hukum yang berlaku demi mencegah terjadinya ketimpangan dalam proses penegakan hukumnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image