PTSL Menjadi Celah Modus Mafia Tanah
Hukum | 2025-10-29 14:58:34Oleh : Desi Yulianti
Indonesia dikenal sebagai negara hukum yang dimana semua aspek dalam kehidupan di negara ini tidak lepas dari pandangan hukumnya. Mulai dari sumber daya manusia hingga sumber daya alamnya termasuk tanah yang kita pijak telah diatur dalam konstitusi yaitu UUD tahun 1945. Dalam kerangka negara hukum, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa seluruh kekayaan alam itu dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Artinya negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh warganya. Kepemilikan tanah yang tidak jelas dapat memicu terjadinya ketegangan. Dengan ini pemerintah membuat program pembukaan lahan menjadi salah satu bentuk nyata yang diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan program pemerintah yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mendaftarkan semua bidang tanah di suatu desa atau kelurahan secara serentak guna memberikan jaminan hak atas tanah dengan tujuan mengurangi kesejahteraan dan diharapkan memiliki sertifikat yang sah.
Program PTSL ini dilaksanakan sejak tahun 2017 hingga tahun 2025 dengan biaya pembuatan sertifikat tanah ditanggung oleh pemerintah. Program ini merupakan program pengganti dari program pendaftaran tanah sebelumnya yaitu Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Perbedaan antara kedua program ini terletak pada sistem pendataannya. PRONA hanya mengukur pada tanah yang telah terdaftar saja. SedangkanPTSL, tanah didata secara menyeluruh. Artinya walaupun tanah tersebut belum terdaftar, tanah akan tetap diukur demi kebutuhan pemetaan tanah. Meskipun demikian, keduanya sama-sama akan mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Dengan adanya PTSL, masyarakat tidak lagi dirugikan oleh tumpang tindih kepemilikan atau praktik perampasan lahan sehingga memberikan kepastian hukum hak atas tanah untuk seluruh rakyat Indonesia. Program ini memudahkan masyarakat kecil yang selama ini kesulitan dalam mengakses pendaftaran tanahnya, karena terkendala biaya, prosedur yang rumit ataupun kurangnya pengetahuan tentang pentingnya legalitas atas tanah.
Belakangan ini sering terjadi penyelesaian dan konflik pertanahan di Indonesia yang mengancam pemilik tanah yang sah. Bahkan publik disuguhkan dengan berbagai kasus mafia tanah yang justru memanfaatkan celah program ini untuk melancarkan tindakannya. Alih-alih menjadi solusi, namun dalam beberapa kasus PTSL kini justru menjadi “kartu AS” bagi para oknum yang lihai bahkan memainkan manipulasi data dengan petugas BPN.
Proses PTSL idealnya melibatkan masyarakat aktif dalam verifikasi kepemilikan tanah. Namun dalam praktiknya di lapangan, masih banyak daerah yang melaksanakan PTSL secara tertutup. Dengan ini menandakan hilangnya pengawasan sosial dan terbukanya peluang praktik korupsi dalam proses sertifikasi. PTSL yang seharusnya gratis pun kini menjadi lahan pungli.
Para oknum yang berupaya mengambil alih kepemilikan hak atas tanah secara ilegal dengan cara-cara curang, mulai dari pemalsuan dokumen hingga kepemilikan data. Bertingkah sebagai pembeli tanah atas tanah kosong maupun tanah yang sudah bersertifikat, melakukan pemalsuan atas sertifikat tanah, hingga melakukan gugatan palsu ke pengadilan,menjadi bentuk dari banyaknya modus yang sering dilakukan oleh si mafia tanah. Dampaknya tidak hanya mengancam kepemilikan tanah, namun juga dapat merugikan perekonomian kehidupan pemilik tanah yang sah.
Selain dari beberapa yang disebutkan di atas, kini mafia tanah semakin merajalela hingga ikut serta dalam proses sertifikasi dengan pengurus BPN. Mereka bahkan melakukan pengendapan sertifikat tanah milik warga sehingga sertifikat tersebut disimpan selama bertahun-tahun. Kasus di Bogor tahun 2022, sindikat mafia tanah menyalahgunakan PTSL untuk memalsukan sertifikat dan pelaku tersebut termasuk seorang ASN BPN. Selain itu, pejabat BPN di Jakarta dan Bekasi diduga menerima uang ratusan juta dari program PTSL. Artinya disini pengurus BPN melakukan maladministrasi dan tidak menjalankan kinerja dengan baik, hingga merugikan masyarakat khususnya masyarakat kecil yang minim kesadaran hukum yang seharusnya memahami hak-hak atas tanahnya namun mereka malah dibodohi oleh reforma agraria yang pada praktiknya masih jauh dari kata ideal.
Jika melihat reforma agraria yang sampai saat ini masih belum stabil, maka perlu dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki sistem dari reforma agraria tersebut agar bisa menjadikan PTSL sebagai solusi. Pertama, proses pendaftaran tanah harus dilakukan dengan adanya transparansi publik dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan sertifikasi mulai dari pendaftaran, hingga pengumuman pengumuman. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih proaktif dengan menegakkan hukum yang ketat tanpa memandang bulu terhadap kasus pemberantasan mafia tanah, bila perlu membuat kebijakan yang khusus untuk kasus mafia tanah, karena mafia tanah tidak akan berhenti jika pelaku utamanya tidak dijerat hanya karena adanya tembok kekuasaan yang tidak berani ditembus oleh pelindung hukum. Ketiga, BPN melakukan penyuluhan agraria kepada masyarakat agar masyarakat paham akan pentingnya legalitas dan kepastian hukum akan hak-hak atas tanah yang mereka miliki sehingga dapat mengurangi terjadinya atau konflik agraria.
Sejatinya reforma agraria bukan hanya berbicara tentang pembagian sertifikat, tetapi tentang pembagian keadilan akan hak-hak atas tanah setiap masyarakat. Kita tidak menyalahkan PTSL sebagai konsep, tetapi yang perlu dikritisi adalah cara pelaksanaannya. Jika negara memang sungguh-sungguh ingin menghapus keberadaan mafia tanah, maka harus mulai dari negara itu sendiri untuk membersihkan kinerja, memperkuat transparansi, dan memastikan setiap peta tanah di Indonesia benar-benar menjadi milik rakyat dan dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Bogor, 27 Oktober 2025
Desi Yulianti, Mahasiswa Ilmu Hukum
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Teks ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
