Saat Kematian Menjadi Angka
Agama | 2025-10-25 23:14:36
Pada tahun 2023, Amerika Serikat mencatat sekitar 19.800 kasus pembunuhan, atau setara dengan 5,9 kematian per 100.000 penduduk. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya, namun tetap berarti hampir dua puluh ribu manusia dibunuh hanya dalam satu tahun. Dua puluh ribu nyawa hilang, dua puluh ribu cerita berhenti, dua puluh ribu keluarga berduka. Namun ketika angka itu dipublikasikan oleh lembaga resmi seperti FBI dan Biro Statistik Kehakiman, ia hadir dalam bentuk tabel dan grafik, disampaikan dengan nada datar, tanpa rasa gentar. Seolah-olah kematian hanyalah data, bukan duka yang seharusnya mengguncang nurani.
Membaca data-data semacam itu entah kenapa saya merasakan sesuatu yang ganjil. Bagaimana mungkin di sebuah bangsa yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehidupan bisa terasa begitu murah? Bagaimana mungkin negara yang mendefinisikan dirinya sebagai pembela kebebasan justru terbiasa hidup di tengah kekerasan? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu, bukan karena Amerika satu-satunya tempat di mana manusia membunuh manusia, tetapi karena di sanalah kita menyaksikan bagaimana sebuah peradaban bisa begitu maju secara teknologi, namun rapuh secara moral.
Fenomena ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan teori kriminalitas. Ia lebih dalam dari sekadar lemahnya penegakan hukum. Ini adalah gejala dari kehampaan makna, ketika masyarakat kehilangan kesadaran moral bahwa hidup adalah sesuatu yang suci. Dalam istilah Émile Durkheim, ini adalah anomie, keadaan ketika norma kehilangan arah dan manusia tak lagi diikat oleh nilai-nilai bersama. Di negeri yang menjadikan kepemilikan senjata sebagai hak asasi, kebebasan diartikan sebagai kemampuan mempertahankan diri, bukan kemampuan melindungi sesama. Dan setiap kali penembakan massal terjadi, masyarakat berduka sebentar, berdebat sebentar, lalu melupakannya. Hidup berjalan kembali seperti biasa, seolah tragedi adalah bagian wajar dari kehidupan modern.
Dalam pandangan Islam, sulit memahami bagaimana kehidupan manusia bisa diperlakukan dengan begitu murah. Al-Qur’an menegaskan dengan bahasa yang mengguncang, “Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 32). Ayat ini mengguncang logika modern yang cenderung mengukur segalanya dengan data. Satu nyawa tidak mewakili satu individu, melainkan seluruh kemanusiaan. Kehidupan seseorang adalah titipan, bukan milik pribadi. Karena itu, membunuh tanpa alasan yang sah berarti menolak nilai kehidupan itu sendiri.
Di sinilah perbedaan mendasar antara dua cara pandang dunia. Dalam sistem sekuler-liberal modern, nilai manusia sering diukur dari peran, manfaat, atau kontribusinya terhadap sistem ekonomi dan hukum. Dalam pandangan Islam, nilai manusia melekat sejak ia diciptakan. Ia berharga bukan karena apa yang ia lakukan, melainkan karena ia hidup. Hidup itu sendiri adalah kehormatan. Karena itu, membunuh satu orang sama dengan menghapus bagian dari kemanusiaan yang kita miliki bersama.
Ketika sebuah masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap nyawa, maka di sanalah awal keruntuhan moralnya. Sebuah negara bisa saja memiliki hukum yang rumit, polisi yang canggih, dan sistem pengawasan yang ketat tetapi tanpa rasa hormat terhadap kehidupan, semuanya hanya mengatur tubuh manusia tanpa menyentuh jiwanya. Inilah paradoks modernitas: dunia semakin pandai menghitung kematian, tetapi semakin buruk dalam merasakannya. Empati digantikan oleh angka, dan nurani ditelan oleh laporan statistik.
Fenomena di Amerika ini bukan hanya peringatan bagi mereka, tetapi juga bagi kita semua. Dunia yang semakin sibuk dengan efisiensi dan produktivitas sering lupa bahwa ukuran peradaban bukanlah seberapa cepat ia maju, melainkan seberapa dalam ia berduka atas hilangnya satu nyawa yang tak berdosa. Di sinilah Islam memberi kita kaca yang jernih untuk bercermin. Menjaga jiwa atau hifz al-nafs adalah salah satu tujuan utama syariat, artinya seluruh tatanan sosial seharusnya dibangun untuk melindungi kehidupan, bukan mengabaikannya.
Mungkin dunia modern sedang membutuhkan hal yang paling sederhana, tetapi paling sulit: kembali takut kepada dosa membunuh. Takut dalam arti spiritual, bukan sekadar takut pada hukuman hukum. Takut karena menyadari bahwa setiap kehidupan yang hilang tanpa alasan adalah retaknya cermin kemanusiaan. Kita tidak butuh lebih banyak undang-undang atau senjata, tetapi lebih banyak kesadaran bahwa setiap manusia membawa cahaya ilahi yang tidak boleh dipadamkan.
Ketika satu nyawa dibunuh, seluruh dunia seharusnya merasa kehilangan. Bukan karena statistik naik, tetapi karena nurani seharusnya berguncang. Dan mungkin di situlah peradaban sejati akan lahir kembali, ketika manusia tak lagi sanggup menghitung kematian tanpa meneteskan air mata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
