Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jeje Zaenudin

Orang Tua, Sekolah Pertama yang Kita Lupakan

Pendidikan dan Literasi | 2025-10-21 17:58:25
Peran orang tua sebagai pendidik moral pertama bagi anak. (Foto: islampeace1.wordpress.com)

Oleh: Jeje Zaenudin Mahasiswa Hukum UBP Karawang

Ada satu pertanyaan sederhana yang membuat saya terdiam cukup lama. “Bagaimana cara agar anak taat hukum dan konstitusi?” Pertanyaan itu saya baca dalam tulisan dosen saya, Raka Indra Pratama, S.H., M.H., berjudul “Ajaran Orang Tua, Ketertiban dan Hukum Moral” di laman rakaiptulisan.wordpress.com. Tulisan itu tidak hanya membahas filsafat moral, tetapi juga mengetuk nurani kita sebagai manusia, sebagai anak, dan sebagai bagian dari keluarga.

Beliau menyinggung pemikiran Immanuel Kant, yang menekankan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang bisa diterima secara universal, serta Imam Al-Ghazali, yang percaya bahwa kebaikan perlu diajarkan dan dibiasakan melalui latihan. Namun, Bapak Raka menambahkan satu hal yang menarik. Bagaimana jika sosok yang paling efektif dalam mengajarkan nilai moral bukan guru, bukan ulama, dan bukan tokoh masyarakat, melainkan orang tua?

Bayangkan ketika anak kecil belajar buang air di kamar mandi. Awalnya berantakan, sering salah tempat, bahkan membuat repot. Tapi perlahan, orang tua mengajarkan, menuntun, memberi contoh, dan mengulangi hingga anak terbiasa. Begitu pula moral. Anak tidak tiba-tiba tahu mana yang baik dan buruk. Ia belajar dari pengulangan, dari pembiasaan, dan terutama dari contoh nyata.
Ketika orang tua berkata, “Jangan mengambil barang orang lain,” lalu ia sendiri jujur dalam keseharian, di situlah pelajaran moral pertama diberikan. Ketika orang tua meminta maaf kepada anaknya, anak belajar bahwa meminta maaf bukan tanda kalah, tapi tanda berani. Dan ketika orang tua menepati janji, anak belajar bahwa integritas dimulai dari rumah. Kita sering berpikir pendidikan karakter ada di sekolah, padahal sekolah hanya memperkuat fondasi yang seharusnya sudah dibangun di rumah.


Hari ini, banyak anak tumbuh dengan akses informasi yang luar biasa, tapi miskin bimbingan moral. Mereka tahu banyak, tapi tidak memahami batas. Mereka berani bicara, tapi sulit mendengar. Mereka cepat menilai, tapi lambat memahami. Mungkin karena rumah tak lagi menjadi tempat belajar nilai. Orang tua sibuk, anak diasuh gawai. Nilai moral bukan lagi hal yang diajarkan, melainkan dibiarkan berjalan sendiri. Akibatnya, banyak anak tumbuh cerdas, tapi tidak bijak.


Kita sering marah ketika melihat pelanggaran hukum, ketidakjujuran, atau kekerasan di masyarakat. Tapi mungkin akar persoalannya justru ada di rumah kita sendiri. Sebelum anak belajar taat pada hukum negara, ia harus dulu belajar taat pada “hukum rumah”. Anak tidak lahir dengan rasa hormat pada hukum. Ia membentuknya dari pengalaman. Saat orang tua menepati ucapan, anak belajar makna komitmen. Saat orang tua bersikap adil pada anak-anaknya, mereka memahami arti keadilan. Saat orang tua menegakkan aturan kecil di rumah, seperti menjaga kebersihan atau berkata jujur, anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa aturan bukan untuk ditakuti, tapi untuk dijalani.


Pertanyaan dosen saya itu, “Bagaimana cara agar anak taat hukum dan konstitusi?”, seolah sederhana tapi sesungguhnya sangat dalam. Ia bukan sedang bicara soal undang-undang, tapi tentang bagaimana manusia belajar menjadi manusia. Kita bisa membuat seribu aturan, tapi tanpa rumah yang menanamkan nilai kejujuran dan empati, aturan itu hanya akan jadi teks tanpa makna. Kita bisa membangun ribuan sekolah, tapi tanpa orang tua yang menjadi guru moral pertama, pendidikan itu kehilangan jantungnya.


Mungkin, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan generasi muda yang “kurang sopan” atau “tidak punya empati.” Yang seharusnya kita tanyakan: apakah rumah kita masih menjadi tempat anak belajar tentang benar dan salah?
Mendidik anak agar taat hukum bukanlah urusan pasal atau teori, tapi urusan hati dan kebiasaan. Anak belajar bukan dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang kita lakukan setiap hari. Jika setiap rumah kembali menjadi sekolah moral pertama, maka kita tidak perlu terlalu banyak berbicara tentang penegakan hukum. Sebab ketaatan akan tumbuh dari kebiasaan, dari cinta, dan dari teladan.
Dan mungkin, dari sanalah kita bisa membangun bangsa yang benar-benar beradab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image