Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ruslan Sudrajat

Urban Displacement: Ketika Ruang Hidup Jadi Komoditas Kapitalis

Politik | 2025-10-21 10:38:04

Ditulis Oleh: Ruslan Sudrajat Mahasiswa Magister Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi Perkotaan dan Pemukiman Rakyat Kecil. Sumber Poto: The Jakarta Post

Kota selalu dipandang sebagai pusat peradaban, lokasi interaksi sosial, pusat produksi, dan simbol kemajuan. Namun, di bawah permukaan gemerlap pembangunan dan modernisasi, terdapat mekanisme ruang yang secara sistematis memindahkan — “menggusur” — kelompok sosial rentan, agar ruang kota tetap melayani logika kapital. Pendekatan Neo‐Marxian Spatial Analysis—terutama pemikiran David Harvey dan Manuel Castells—membantu kita memahami bagaimana kapitalisme tidak hanya memproduksi barang dan jasa, tetapi juga ruang, dengan ketidakadilan yang sangat spasial. Di Indonesia saat ini, fenomena urban displacement bukanlah mitos, melainkan kenyataan sosial yang semakin nyata.

Harvey, Castells, dan Ruang sebagai Alat Kapital

David Harvey dalam karya-karyanya seperti Social Justice and the City menekankan bahwa ruang kota tidak netral: ruang diproduksi (the production of space) menurut kebutuhan kapital. Harvey melihat bahwa kapitalisme menciptakan ketimpangan ruang: pusat kota, lokasi strategis dan infrastruktur perkotaan yang paling menguntungkan, akan diperuntukkan bagi fungsi-fungsi kapital (perkantoran, pemukiman mewah, mall, kawasan elite), sementara kelas pekerja dan masyarakat berpendapatan rendah dipindahkan ke pinggiran, ke ruang yang “kurang strategis” secara ekonomi dan sosial.

Manuel Castells melengkapi analisis ini melalui konsep space of places dan space of flows. Dalam Space of Flows, Space of Places: Materials for a Theory of Urbanism in Information Age, Castells menjelaskan bahwa di era informasi dan globalisasi, kapital dan kekuasaan beroperasi melalui “arus” (flows) — modal, teknologi, informasi — yang menghubungkan pusat-pusat global/hub ekonomi, dan ruang‐fisik (places) yang makin diperlakukan sebagai objek utilitas, bukan sebagai ruang hidup manusia. Kota-kota menjadi tempat di mana logika flows mendikte value ruang, sedangkan ruang nyata pengalaman manusia (places) sering tertinggal.

Situasi di Indonesia: Data dan Fakta

Beberapa data dan kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana teori tersebut bukan hanya abstraksi, melainkan mencerminkan kenyataan:

1. Harga Rumah dan Ketidakmampuan Mengakses

– Indonesia berada di peringkat ke-4 negara dengan rumah paling tidak terjangkau di dunia tahun 2024 menurut Bestbrokers: rata-rata harga rumah sekitar USD 1.111/m² ( Rp18,3 juta/m²), sedangkan gaji tahunan rata-rata hanya USD 2.300 ( Rp37,8 juta).

– Di Jakarta, upah minimum regional (UMR) sekitar Rp5,4 juta/bulan, sementara biaya sewa satu kamar rusun dekat pusat bisa mencapai ~Rp3,98 juta/bulan; artinya sudah hampir 76% dari upah minimum dipakai hanya untuk sewa.

2. Backlog Hunian Layak dan Rumah Tidak Layak Huni

– Data dari Susenas (BPS) dan Kementerian Perumahan & Kawasan Permukiman (Kementerian PKP) memperlihatkan backlog rumah tangga yang belum memiliki rumah sesuai standar, terutama di kota-kota besar. Di Jakarta saja backlog kepemilikan rumah mencapai 1.197.648 rumah tangga.

– Rumah tangga tinggal di rumah tidak layak huni masih banyak; sebagian besar rumah tangga berada di rumah sendiri tapi rumahnya tidak layak.

3. Perumahan Subsidi & Rumah Komersial

– Rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) banyak di antaranya memiliki luas tanah dan bangunan yang sangat terbatas (contoh: tipe kecil atau rumah subsidi diperkecil) dan sering terletak di lokasi tidak strategis sehingga memperburuk mobilitas, akses ke pekerjaan, dan layanan publik.

– Di kesempatan lain, pembangunan kawasan hunian komersial mewah seperti Podomoro, PIK, Sumarecon dan lainnya semakin mendominasi ruang strategis kota, sementara masyarakat bawah harus bersaing untuk lahan atau rumah dengan harga yang sangat tinggi. (Data spesifik mengenai proyek-proyek ini bisa dikumpulkan dari rilis pengembang atau institusi pemerintah daerah.)

4. Kesenjangan Kenaikan Harga Tanah vs Upah

– Contoh Jogja: harga tanah di Sleman atau Kota Jogja rata-rata di atas Rp1 juta per meter, sedangkan UMR DIY ~Rp2,3 juta. Untuk membeli tanah + rumah di lokasi strategis menjadi sangat sulit.

– Fenomena di IKN dan daerah-terkait: proyek ibu kota baru atau proyek strategis pemerintah menyebabkan efek limpahan (“spillover effect”) naiknya harga tanah di sekitar proyek, sehingga masyarakat lokal yang tidak memiliki modal besar terdampak.

Analisis Sosiologis: Urban Displacement sebagai Produk Kapitalisme Spasial

Berdasarkan teori Harvey dan Castells, dan data di atas, urban displacement di Indonesia bisa dibedah dari beberapa aspek kritis berikut:

1. Ruang sebagai Komoditas

Ruang kota dijadikan komoditas: tanah tidak hanya sebagai lokasi tinggal, tapi diukur sebagai aset finansial yang nilainya terus naik. Pengembang membidik keuntungan maksimal dengan membangun kawasan elit, mal, atau pemukiman mewah di lokasi strategis. Ini menciptakan persaingan harga tanah yang tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi mayoritas warga. Di sinilah teori Harvey: kapitalisme memproduksi ruang agar bisa meregulasi akumulasi modal — dan ruang-tempat yang strategis menjadi premium.

2. Eksklusi Spasial

Ketika ruang kota mahal dan dikontrol oleh kapital (terutama pengembang swasta besar dan investor properti), hak warga miskin atas tempat tinggal, lingkungan yang layak, dan akses ke fasilitas publik menjadi terpinggirkan. Ketidakmampuan membeli atau menyewa di dalam kota pusat membuat mereka harus tinggal di pinggiran, dengan akses transportasi yang buruk, biaya mobilitas tinggi, serta layanan dasar yang lebih rendah.

3. Logika Space of Flows vs Space of Places

Di era informasi dan globalisasi, kota-kota besar di Indonesia bukan hanya diatur oleh logika lokal (space of places), tetapi juga oleh logika modal global, investasi, dan “alur arus” (flows) modal dan pembangunan. Kawasan premium, proyek khusus, dan kawasan komersial dikembangkan dengan orientasi pada capital flows—baik lokal maupun asing—tanpa memperhatikan pengalaman hidup aktual masyarakat lokal. Space of flows dominan, dan space of places (ruang tempat tinggal, budaya, komunitas lokal) sering kali dikompromikan atau dibongkar.

4. Kebijakan Publik yang Lemah dalam Redistribusi Ruang

Beberapa kebijakan rumah subsidi ada, namun seringkali volumenya terlalu kecil, lokasinya kurang strategis, dan standarnya kurang memadai dibanding kenaikan harga tanah dan properti. Pemerintah belum secara efektif mengatur harga dasar tanah atau meregulasi pasar tanah agar akses ruang yang layak menjadi lebih merata. Di sisi lain, penghasilan pekerja (seperti UMR) naik lambat, tidak sebanding dengan kenaikan harga tanah dan hunian, sehingga gap ruang terus melebar.

Implikasi Sosial & Ekonomi

Urban displacement bukan hanya masalah perumahan; dampaknya meluas:

1. Mobilitas sosial terganggu: akses pendidikan, layanan kesehatan, permodalan kerja lebih rendah bagi yang terpinggirkan.

2. Ketidaksetaraan ruang meningkatkan segregasi: kota menjadi semakin terbagi antara kawasan elite dan rakyat biasa.

3. Ketegangan sosial dan politisasi ruang: protes terhadap penggusuran, tuntutan relokasi, munculnya gerakan warga mempertahankan ruang.

4. Beban ekonomi ganda: selain menanggung harga sewa/hunian tinggi, banyak warga miskin juga menghadapi ongkos transportasi tinggi, layanan publik yang buruk, biaya hidup (arus layanan kebutuhan pokok) yang relatif lebih besar.

Solusi dan Rekomendasi Kebijakan

Berikut beberapa arah intervensi publik yang bisa dipertimbangkan agar ruang kota kembali menjadi ruang untuk manusia, bukan hanya modal:

1. Regulasi harga tanah dan pengendalian spekulasi

Pemerintah bisa menetapkan zonasi strategis yang memperhitungkan keseimbangan sosial, membatasi kenaikan harga tanah secara spekulatif. Kebijakan pajak properti progresif bagi lahan kosong atau spekulan.

2. Kebijakan rumah terjangkau yang pro-lokasi

Hunian subsidi tidak hanya harus murah, tetapi juga berada di lokasi yang memiliki akses ke transportasi publik, pusat kerja, fasilitas umum. Agar biaya tidak tersembunyi (transportasi, layanan publik) tidak menambah beban warga.

3. Urban densification dan pemanfaatan ruang vertikal

Alih-alih memperluas kota ke pinggiran (urban sprawl), perlu strategi pemadatan kota (densification), pembangunan rusun atau apartemen terjangkau di lokasi strategis, revitalisasi ruang kosong dan infrastruktur tidak terpakai.

4. Peningkatan pendapatan dan daya beli pekerja

Upah minimum harus disesuaikan dengan laju kenaikan harga properti dan kebutuhan hidup. Pelatihan dan kesempatan kerja yang dapat meningkatkan kemampuan ekonomi warga kelas bawah dan menengah.

5. Partisipasi warga dalam perencanaan ruang

Agar kepentingan dan pengalaman warga lokal diketahui dan dipertimbangkan dalam perencanaan kota; partisipasi dalam proses zonasi, relokasi, pemilihan lokasi perumahan subsidi, dan kebijakan publik lainnya.

Kesimpulan

Urban displacement bukan hanya masalah “lokasi rumah” atau “harga tanah yang mahal”; ini adalah manifestasi dari bagaimana kapitalisme sendiri memproduksi ruang dengan cara yang eksklusi dan tidak adil. Dengan lensa Harvey dan Castells, kita bisa melihat bahwa ruang kota adalah arena konflik antara kepentingan kapital dan hak hidup manusia. Menjadi mendesak bahwa ruang kota dikembalikan kepada manusia—yang memiliki hak atas tempat tinggal yang layak, akses ke fasilitas, mobilitas sosial, dan penghidupan yang bermartabat. Pemerintah, pengembang, dan masyarakat sipil harus bekerja sama agar pembangunan ruang tidak sekadar akumulasi modal, tetapi keadilan ruang dan kesejahteraan menjadi pusat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image