Pengaruh Kurang Tidur Terhadap Fungsi Otak dan Emosi
Gaya Hidup | 2025-10-21 09:35:49“If sleep does not serve an absolutely vital fuction, then it is the biggest mistake the evolutionary process ever made!” — Allan Rechtschaffen. Kutipan itulah yang selalu menyadarkan saya mengenai tidur memiliki fungsi penting secara biologis, ini menunjukan bahwa tidur sangat krusial untuk fungsi otak dan keseimbangan emosional.
Fenomena kurang tidur semakin umum terjadi di masyarakat modern terutama kalangan remaja dan orang dewasa muda. Stress akademik, pekerjaan, dan kebiasaan bermain gawai hingga larut malam menjadi penyebab banyak orang mengabaikan waktu istirahat. Bagi sebagaian individu, kurang tidur dianggap remeh dan dapat diperbaiki dengan “Tidur Balas Dendam” pada akhir pekan. Namun, secara ilmiah, tidur berperan penting dalam menjaga keseimbangan fungsi otak dan kestabilan emosi. Kurang tidur dapat mengganggu sistem biologis dalam tubuh seseorang yang berdampak pad acara berpikir, pengendalian emosi, dan hubungan sosialnya. Fenomena ini menarik untuk dianalisis dari sudut pandang biopsikologi, karena melibatkann interaksi antara proses biologis (terutama aktivitas otak dan hormon) dengan perilaku serta pengalaman emosional manusia.
Tidur tidak hanya merupakan saat bagi tubuh untuk beristirahat, melainkan juga waktu dimana otak menjalani proses penting seperti konsolidasi memori, regenerasi sel, serta pengaturan hormone stress. Oleh karena itu, kurang tidur dapat memengaruhi keseimbangan kimiawi otak dan secara langsung berpengaruh pada kemampuan keognitif serta emosional. Dalam konteks anak muda, khususnya generasi Z yang tumbuh di era digital, kurang tidur telah menjadi masalah umum yang memiliki dampak serius pada kesehatan mental dan kinerja sehari-hari. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana mekanisme biologis yang terkait dengan kurang tidur dapat memengaruhi fungsi otak dan emosi manusia.
Dari perspektif biopsikologi, tidur diatur sistem saraf pusat, terutama oleh bagian otak seperti Hipotalamus, Batang Otak, dan Korteks Prefrontal. Salah satu elemen kunci dalam pengaturan tidur adalah Nukleus Suprachiasmaticus (SCN) di Hipotalamus, yang berfungsi sebagai “Jam Biologis” tubuh. SCN mengendalikan siklus tidur dan bangun dengan berdasarkan sinyal cahaya yang diterima oleh mata. Saat seseorang tidur larut malam atau terkena cahaya biru dari layar perangkat di malam hari, Ritme Sirkadian terpengaruh sehingga produksi hormon Melatonin berkurang. Sebagai akibatnya, kualitas tidur berkurang dan durasinya menjadi lebih pendek.
Tidur yang tidak cukup memengaruhi berbagai area otak, terutama korteks Prefontal yang berfungsi dalam pengambilan keputusan, fokus, dan pengendalian diri. Penelitian yang dilaksanakan oleh Yoo Et Al. (2007) menunjukan bahwa tidur yang tidak cukup mengakibatkan penurunan aktivitas di Korteks Prefontal, sedangkan aktivitas di Amigdala, bagian otak yang mengontrol emosi seperti marah dan takut, meningkatkan secara signifikan. Ketidakseimbangan ini menjadikan seseorang lebih cepat marah, cemas, dan sulit mengatur respons emosional. Dalam konteks sosial, keadaan ini dapat memicu konflik antar individu atau mengurangi kemampuan empati.
Disamping itu, kurang tidur juga memengaruhi sistem hormonal, terutama Kortisol, yang merupakan hormon stress. Saat seseorang kurang tidur, tingkat Kortisol meningkat dan tubuh tetap dalam kondisi “waspada” tanpa henti. Keadaan ini mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatasi stress dan meningkatkan kemungkinan terjadinya masalah psikologis seperti kecemasan atau depresi (Leproult & Van Cauter, 2010). Dalam jangka panjang, peningkatan Kortisol yang berlangsung lama dapat merusak Hippocampus, area otak yang krusial untuk pembelajaran dan memori. Hal ini menjelaskan mengapa individu yang kurang tidur sering kali mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, mudah melupakan sesuatu, atau cepat kehilangan semangat.
Dari sudut pandang biopsikologis, kekurangan tidur ternyata juga berdampak pada sistem Neurotransmitter, seperti Dopamin dan Serotonin, yang penting untuk mengatur suasana hati. Kalau kadar serotonin turun, orang bisa jadi mudah sedih dan putus asa, sementara dopamine yang tidak seimbang bisa bikin motivasi terganggu dan susah merasakan kesenangan. Hal ini sering kelihatan pada mahasiswa yang begadang demi belajar atau ngerjain tugas, akhirnya mereka cepat capek secara emosional dan hilang semangatnya, meski tidak ada masalah besar yang sedang dihadapi.
Di zaman digital sekarang, kebiasaan “Doom Scrolling” alias terusterusan neg-scroll layar hp sampai larut malam semakin bikin parah keadaannya. Generasi Z sering banget menganggap tidur itu bisa ditundatunda, padahal otak mereka lagi dalam fase perkembangan yang butuh istirahat yang cukup banget. Ada penelitian yang menunjukan kalau remaja yang tidurnya kurang dari tujuh jam per malam, biasanya aktivitas Amigdala-nya lebih tinggi, sedangkan kontrol prefrontal-nya lebih lemah (Goldstein & Walker, 2014). Maksudnya, mereka jadi lebih gampang mereaksi emosi dan susah mengatur stress dari interaksi sosial.
Kekurangan tidur juga berdampak pada aspek sosial dan perilaku. Orang yang merasa lelah biasanya menunjukkan kemampuan komunikasi yang kurang baik, kesulitan dalam membaca ekspresi wajah orang lain, dan lebih sering salah dalam menafsirkan emosi orang lain (Van Der Helm et al., 2010). Akibatnya, interaksi sosial dapat memburuk tanpa kita sadari. Sebaliknya, kurang tidur juga mengacaukan sistem reward di otak, sehingga individu menjadi lebih implusif dalam mengambil keputusan, seperti makan terlalu banyak, berbelanja secara tidak terkendali, atau menghabiskan waktu di media sosial untuk mencari hiburan instan.
Dari perspektif biologis dan psikologis, terlihat bahwa kurang tidur bukan sekedar perasaan mengantuk, melainkan sesuatu gangguan rumit yang melibatkan berbagai sistem di dalam tubuh. Otak yang lelah tidak dapat berfungsi secara optimal, baik dalam berpikir rasional, mengelola emosi, maupun berinteraksi dengan orang lain. Ini menandakan hubungan yang kuat antara aspek biologis dan psikologis yang merupakan inti dari pendekatan biopsikologis.
Tidur berperan penting dalam menjaga fungsi otak dan kestabilan emosi. Kurang tidur bukan hanya kebiasaan yang buruk, tetapi juga kondisi biologis yang dapat mengganggu keseimbangan kimia di otak, menurunkan kemampuan kognitif dan memengaruhi pengaturan emosi. Dari perspektif biopsikologi, fenomena ini melibatkan interaksi rumit antara hormon, Neurotransmitter, dan sistem saraf. Aktivitas yang meningkat di Amigdala, penurunan fungsi korteks prefrontal, dan peningkatan kadar Kortisol menjelaskan mengapa individu yang kurang tidur menjadi lebih emosional, lebih mudah stress, dan mengalami kesulitan dalam berpikir dengan jelas.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui ketertarikan antara tidur dan kinerja otak dapat menjadi langkah awal untuk merawat kesehatan mental. Dengan pola tidur yang memadai, seseorang bisa meningkatkan kemampuan berpikir, memperkuat pengendalian diri, serta membangun hubungan sosial yang lebih baik. Fenomena ini menggambarkan betapa esensialnya tidur sebagai kebutuhan biologis yang tak tergantikan, serta sebagai fondasi bagi keseimbangan psikologis manusia masa kini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
