Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fadlan Abdulgani

Alarm Tagihan Listrik 2025: Saat Subsidi Ditahan, Siapkah Dompet Kita?

Bisnis | 2025-10-20 21:00:10
Ilustrasi dampak kenaikan tarif listrik pada rumah tangga (Sumber: Ilustrasi AI)

Di tengah hiruk pikuk berita ekonomi pasca-pemilu, ada satu isu krusial yang mulai menjadi perbincangan hangat di ruang publik: nasib tarif listrik subsidi pada tahun 2025. Sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi, saya melihat ini bukan sekadar angka di meteran, melainkan sebuah sinyal alarm ekonomi yang akan berdampak langsung pada jutaan rumah tangga di Indonesia.

Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, memang telah mengumumkan keputusan untuk menahan kenaikan tarif hingga akhir tahun demi menjaga daya beli masyarakat. Namun, dalam keterangan resminya, tersirat sebuah kenyataan pahit: berdasarkan parameter ekonomi makro, tarif listrik seharusnya sudah naik. Artinya, "badai" kenaikan itu hanya ditunda, bukan dibatalkan. Isu ini lebih dari sekadar efisiensi APBN; ini adalah sebuah "tes stres" massal yang tertunda bagi dompet kita semua. Pertanyaannya sederhana: saat penundaan ini berakhir, siapkah kita?

Mengapa Subsidi Listrik Diutak-atik Lagi?

Ilustrasi beban subsidi listrik pada APBN (Sumber: Ilustrasi AI)

Pemerintah berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, subsidi listrik, terutama untuk golongan 450VA dan 900VA, memakan porsi jumbo dari APBN. Tujuannya sangat mulia, yaitu membantu masyarakat miskin dan rentan yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, di sisi lain, data di lapangan seringkali menunjukkan subsidi ini belum sepenuhnya tepat sasaran. Di tengah kebutuhan anggaran untuk program-program strategis lainnya, "merapikan" pos subsidi menjadi langkah yang logis dari sisi efisiensi fiskal. Tujuannya adalah memastikan triliunan rupiah uang negara benar-benar sampai kepada yang paling membutuhkan.

Jika Subsidi Dicabut: Aritmetika Kejutan di Dompet Kita

Mari kita lakukan simulasi sederhana namun "menusuk" berdasarkan data tarif yang ada. Jika subsidi untuk golongan 900VA (Rp 605/kWh) dicabut dan tarifnya disamakan dengan golongan non-subsidi terdekat di 1300VA (Rp 1.444,70/kWh), maka terjadi lonjakan harga sebesar 139%. Apa artinya ini dalam rupiah? Sebuah rumah tangga yang biasa membayar tagihan listrik sekitar Rp136.000 per bulan, tiba-tiba harus menghadapi tagihan sebesar Rp325.000. Artinya, ada pengeluaran ekstra Rp189.000 setiap bulan, atau lebih dari Rp2,2 juta dalam setahun yang harus dicari. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah jatah uang makan, biaya transportasi, atau tabungan pendidikan yang bisa hilang.

Dari Meteran ke Piring Makan: Efek Domino Inflasi

Ilustrasi efek domino kenaikan tarif listrik terhadap inflasi (Sumber: Ilustrasi AI)

Kenaikan tarif listrik adalah contoh sempurna dari apa yang dalam ilmu ekonomi disebut administered prices (harga yang diatur pemerintah), yang bisa memicu inflasi berantai (cost-push inflation). Dampaknya tidak akan berhenti di tagihan rumah kita. Bagi pelaku UMKM seperti warung makan, laundry, atau fotokopian, listrik adalah komponen biaya produksi yang vital. Kenaikan biaya operasional ini hampir pasti akan dibebankan ke harga jual produk mereka. Akibatnya? Harga sebungkus nasi goreng, ongkos cuci kiloan, dan biaya print tugas kuliah akan ikut terkerek naik. Inilah efek domino yang sesungguhnya, di mana kebijakan di tingkat pusat akan terasa getarannya hingga ke warung sebelah rumah kita.

Jalan Tengah: Subsidi Cerdas, Bukan Pukul Rata

Dilema antara menyehatkan APBN dan melindungi daya beli masyarakat memang pelik. Solusinya bukanlah "hapus" atau "pertahankan" secara pukul rata, melainkan "subsidi cerdas". Pemerintah harus mengakselerasi pemutakhiran DTKS agar subsidi listrik benar-benar hanya dinikmati oleh mereka yang berhak. Di sisi lain, insentif untuk transisi ke energi terbarukan seperti panel surya di level rumah tangga perlu digalakkan, agar ketergantungan pada listrik PLN bisa berkurang dalam jangka panjang.

Sebagai mahasiswa baru yang melihat isu ini, kebijakan subsidi listrik adalah studi kasus ekonomi yang paling nyata. Ini mengajarkan kita bahwa setiap angka dalam anggaran negara memiliki konsekuensi langsung pada kehidupan sehari-hari jutaan orang. Semoga para pembuat kebijakan tidak hanya melihat angka di kalkulator mereka, tetapi juga realita di dapur-dapur warga negaranya.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image