Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Daniel Maulana Magribi

Ketika Uang Jadi Tuhan, Ilmu pun tak Lagi Disembah

Agama | 2025-10-20 17:05:30

Pendahuluan

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang menyanjung materi, masyarakat kita mulai kehilangan satu hal paling berharga: rasa hormat terhadap ilmu. Banyak anak muda memilih berhenti sekolah bukan semata karena keadaan ekonomi, melainkan karena munculnya cara berpikir baru bahwa uang lebih penting daripada pemahaman, dan kekayaan lebih menjamin daripada pengetahuan. Di warung kopi, di bengkel, di pabrik, sering terdengar kalimat yang mencerminkan pola pikir itu: “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, wong yang nggak sekolah aja bisa sukses.” Kalimat sederhana tapi menggambarkan pergeseran nilai yang dalam: ilmu tak lagi dilihat sebagai cahaya, melainkan sekadar alat, yang bisa ditinggalkan ketika dianggap tidak memberi hasil cepat.

Pergeseran nilai ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah cara berpikir. Manusia modern tampak sibuk mengejar penghidupan, tapi lupa mencari kehidupan. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Imam al-Ghazālī, ilmu bukan hanya alat, tetapi cahaya yang membedakan manusia dari hewan dan menghidupkan hati dari kebodohan. Ia menulis dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn:

«العلمُ هو النورُ الذي يُهتدى به إلى الصراط المستقيم

“Ilmu adalah cahaya yang dengan itu seseorang mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus.”

(Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, juz 1, hlm. 15, Beirut: Dar al-Ma‘rifah).

Ketika manusia menggeser kedudukan ilmu dan menggantinya dengan uang, maka sesungguhnya ia sedang menukar petunjuk dengan alat tukar. Ia bekerja keras, tapi tak lagi tahu untuk apa. Uang memang bisa membeli kenyamanan, tetapi tak pernah bisa membeli arah.

Namun, dalam masyarakat yang telah menuhankan uang, ukuran kejayaan berubah. Orang tidak lagi bertanya apa yang ia pahami, melainkan berapa yang ia hasilkan. Maka lahirlah generasi yang pragmatis: cepat mencari rezeki, tapi lambat memahami makna. Mereka bekerja keras, namun jiwanya tetap gelisah, sebab pekerjaan tanpa ilmu hanyalah gerak tanpa arah, dan kekayaan tanpa hikmah hanyalah angka tanpa nilai.

Latar Sosial dan Krisis Paradigma Anak Muda

Fenomena anak muda yang meninggalkan bangku pendidikan demi bekerja lebih cepat bukan lagi hal langka. Di banyak wilayah, termasuk desa-desa kecil, kita menjumpai mereka yang memilih turun ke lapangan sejak remaja. Ada yang terdorong oleh keadaan ekonomi, tetapi tak sedikit pula yang termotivasi oleh cara berpikir baru: “Orang kaya belum tentu sekolah tinggi, dan yang sekolah tinggi belum tentu kaya.” Kalimat itu terdengar realistis, tetapi sesungguhnya menyimpan kesalahan logika yang dalam, karena ia mengubah tujuan hidup dari mencari nilai menjadi mencari nilai tukar.

Ketika generasi muda menolak menuntut ilmu dengan alasan “yang penting bisa hidup,” sesungguhnya mereka sedang memilih bertahan hidup tanpa arah. Mereka menggantikan hidup dengan ilmu menjadi hidup untuk penghasilan. Dan di sinilah akar krisis itu bermula, bukan karena kemiskinan semata, tetapi karena hilangnya kesadaran akan makna ilmu sebagai penuntun akal dan moral.

Profesor Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur’an, menegaskan bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari hasil material, tetapi dari sejauh mana manusia mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan ilmu yang membawanya kepada Allah. Ia menulis:

“Ilmu tanpa nilai akan melahirkan kesombongan, dan harta tanpa ilmu akan menumbuhkan kerakusan.” (Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2011, hlm. 54).

Maka, krisis yang menimpa anak muda hari ini sejatinya bukan krisis pendidikan, melainkan krisis kesadaran. Mereka kehilangan pandangan tentang mengapa belajar itu penting, bukan hanya apa yang harus dipelajari. Dan ketika ilmu tak lagi disembah, tapi uang yang diagungkan, maka manusia berhenti menjadi pembelajar, ia berubah menjadi pengejar.

Akar Masalah dan Analisis Nilai Islam tentang Ilmu dan Rezeki

Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari krisis berpikir anak muda masa kini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi lebih pada pergeseran nilai dan persepsi tentang makna hidup. Mereka tidak lagi melihat ilmu sebagai kebutuhan ruhani, melainkan sebagai investasi yang hanya layak jika menguntungkan secara materi. Ketika tidak langsung terlihat hasilnya, semangat menuntut ilmu pun padam.

Padahal, dalam pandangan Islam, ilmu dan rezeki tidak pernah berada di jalur yang sama, tapi saling melengkapi. Ilmu adalah jalan menuju ridha, sementara rezeki hanyalah bekal di perjalanan. Imam al-Ghazālī menjelaskan dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:

من طلب العلم للدنيا فاته نصيبه من الآخرة والدنيا، ومن طلبه للآخرة أعطاه الله خير الدنيا والآخرة

“Barang siapa menuntut ilmu demi dunia, maka ia akan kehilangan bagian dunia dan akhirat; namun barang siapa menuntut ilmu demi akhirat, maka Allah akan memberinya kebaikan dunia dan akhirat.

” (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1, hlm. 45, Beirut: Dār al-Ma‘rifah).

Pandangan ini menegaskan bahwa orientasi mencari ilmu menentukan arah hidup seseorang. Ketika ilmu dikejar untuk status dan kekayaan, ia kehilangan ruhnya. Tapi ketika ilmu dicari untuk memahami diri dan mengabdi pada Tuhan, maka keberkahan hidup justru datang tanpa dicari.

Filsuf Islam al-Fārābī dalam Tahṣīl as-Sa‘ādah memberikan pandangan filosofis yang sangat relevan untuk zaman ini. Ia menyebut bahwa masyarakat akan jatuh ke dalam “al-madīnah al-jāhiliyyah” (masyarakat jahiliah modern) ketika orientasi hidupnya berubah dari al-sa‘ādah (kebahagiaan sejati) menjadi al-māl wa al-ladhdah (harta dan kenikmatan). Ia menulis:

إذا صارت الغاية عندهم المال أو اللذة، فسد العقل وفسدت المدينة

“Jika tujuan hidup mereka menjadi harta dan kenikmatan, maka rusaklah akal dan rusaklah masyarakat.”

(Tahṣīl as-Sa‘ādah, hlm. 18, Beirut: Dār al-Mashriq, 1986).

Pandangan al-Fārābī ini menohok kenyataan masyarakat hari ini. Ketika keberhasilan diukur dari jumlah pendapatan, bukan dari kedalaman akhlak atau keluasan ilmu, maka masyarakat kehilangan keseimbangannya. Yang berilmu merasa kalah karena miskin, dan yang kaya merasa benar karena berkuasa.

Islam mengajarkan bahwa rezeki bukan hasil dari kecerdikan manusia semata, melainkan anugerah yang sudah ditakar. Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada satu makhluk pun yang melata di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya.”

(QS. Hūd [11]: 6).

Ayat ini menegaskan bahwa rezeki tidak perlu dikejar dengan meninggalkan ilmu, karena rezeki telah dijamin; yang belum dijamin adalah kebijaksanaan dalam mengelolanya. Maka, mencari ilmu bukan untuk memperbanyak uang, tetapi agar kita tahu bagaimana memperlakukan uang dengan benar.

Penutup

Kita hidup di zaman ketika orang lebih cepat menghitung laba daripada makna. Ilmu ditawar seperti barang, sementara nilai-nilai diinjak oleh ambisi. Anak muda kehilangan arah bukan karena tak mampu berpikir, tapi karena mereka kehilangan alasan untuk berpikir.

Rasulullah ﷺ bersabda:

من سلك طريقًا يلتمس فيه علمًا، سهّل الله له به طريقًا إلى الجنة

” Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).

Hadis ini bukan sekadar janji ukhrawi, tapi juga pesan sosial: Bahwa ilmu adalah jalan menuju kehidupan yang bermakna dunia dan akhirat.

Kadang saya berpikir, mungkin inilah penyakit zaman kita: terlalu sibuk mengejar, tapi tidak tahu apa yang sedang dikejar. Banyak anak muda di sekitar saya lebih memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah. Sebagian karena terdesak keadaan, sebagian karena sudah kehilangan keyakinan bahwa ilmu bisa mengubah nasib. Mereka melihat orang yang tidak sekolah bisa sukses, lalu menyimpulkan bahwa ilmu tak lagi penting. Padahal, ilmu memang tidak selalu membuat seseorang kaya, tapi ia membuat hidup punya arah. Orang yang punya ilmu tahu kapan harus berhenti, tahu mana yang halal, dan tahu bagaimana menjaga harga dirinya.

Masalahnya, kita sudah terlalu lama menilai hidup dari hasil, bukan dari proses. Kita memuja yang cepat, yang instan, yang terlihat berhasil, tanpa sempat bertanya: apa benar itu keberhasilan? Banyak orang punya uang, tapi hatinya tetap kosong. Banyak yang terlihat menang, tapi sesungguhnya kalah dalam batin. Sebab rezeki bisa dicari, tapi ketenangan hanya datang lewat ilmu dan iman.

Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk kembali ke bangku sekolah, tapi mengajak untuk kembali menghargai ilmu. Karena ketika uang jadi tuhan, maka hati akan kehilangan arah; tapi ketika ilmu yang ditinggikan, uang akan datang dengan cara yang lebih terhormat. Dunia ini memang butuh pekerja keras, tapi ia lebih butuh orang yang mau berpikir. Dan di tengah generasi yang sibuk mengejar hasil, mungkin yang paling berani hari ini adalah mereka yang masih mau belajar bukan untuk kaya, tapi untuk tetap waras.

Ketika saya menulis “uang menjadi tuhan,” bukan berarti uang itu benar-benar disembah dalam arti ibadah, tapi maksudnya uang telah mengambil posisi yang seharusnya milik Tuhan dalam hati manusia. Ia menjadi pusat orientasi hidup, tempat bergantung, dan sumber makna kebahagiaan. Dulu manusia bekerja untuk hidup, sekarang banyak yang hidup untuk bekerja. Dulu uang adalah alat, sekarang ia menjadi ukuran nilai diri. Itulah yang dimaksud “uang jadi tuhan” ketika segala hal diukur dengan materi: hubungan, kehormatan, bahkan kebenaran.

Islam tidak pernah melarang mencari harta; justru Islam menghormati kerja keras dan kemandirian. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika uang bukan lagi di tangan, melainkan sudah berpindah ke dada. Saat itulah manusia kehilangan kebebasan batin, karena segala keputusan diambil bukan dengan nurani, tapi dengan kalkulator.

Semoga Allah menjaga hati kita dari cinta dunia yang berlebihan, menundukkan ego yang merasa cukup tanpa ilmu, dan menuntun langkah kita untuk mencari rezeki dengan adab, serta menuntut ilmu dengan niat yang bersih. Karena di akhirnya, bukan banyaknya harta yang akan ditimbang, melainkan seberapa jujur kita menjalani hidup dengan ilmu dan iman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image