Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Tanpa Sambal, Belum Makan

Kuliner | 2025-10-14 15:31:06

 

oleh Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Ilustrasi Sambal (Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/delicious-sambal-dish-arrangement_17719592.htm#fromView=search&page=1&position=12&uuid=56ac0a8a-54aa-42bc-992f-394af3082d23&query=sambal)

Ketika membahas mengenai cabai, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran para ibu-ibu sebagai pengatur kebutuhan dapur rumah tangga. Cabai bukan sekadar pelengkap rasa atau bumbu tambahan dalam masakan, melainkan telah menjadi kebutuhan pokok sehari-hari bagi banyak keluarga di Indonesia. Hampir setiap hidangan tradisional Nusantara menggunakan cabai sebagai bahan utama untuk menciptakan cita rasa pedas yang khas. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa cabai telah menjadi bagian dari selera kolektif masyarakat Indonesia, sebagaimana disebutkan oleh Forum Komunikasi Kuliner Indonesia (2019).

Dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan cabai memiliki makna sosial tersendiri. Ketika harga cabai melonjak di pasaran, topik ini sering menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan ibu-ibu, baik di pasar, di lingkungan rumah, maupun melalui media sosial. Fenomena ini menunjukkan betapa dekatnya cabai dengan kehidupan masyarakat, tidak hanya sebagai bahan masakan, tetapi juga sebagai simbol dinamika ekonomi rumah tangga. Ketergantungan masyarakat terhadap cabai membuat fluktuasi harganya berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga dan pola konsumsi makanan sehari-hari.

Lebih jauh lagi, cabai juga memiliki dimensi budaya yang kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kecintaan terhadap rasa pedas bukan hanya sekadar preferensi pribadi, tetapi telah menjadi identitas kuliner nasional yang membedakan Indonesia dari bangsa lain. Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam mengolah cabai menjadi sambal dengan cita rasa khas daerah masing-masing. Dengan demikian, cabai tidak hanya berperan sebagai bahan dapur, tetapi juga sebagai simbol keberagaman, kreativitas, dan kesatuan rasa Nusantarayang memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat Indonesia.

Cabai yang merupakan bagian dari genus Capsium disebut sebagai kebutuhan pangan yang sangat penting dalam kuliner Indonesia. Cabai pun memiliki berbagai ragam, seperti cabai rawit, cabai merah, cabai keriting, dan cabai hijau yang paling akrab dengan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan temuan dari arkeolog Jawa Kuno Universitas Leiden, Prof. H.I.R. Hinzler, diketahui bahwa pada sekitar tahun 1600-an, Indonesia mengalami masa yang disebut sebagai era prasambal. Pada masa ini, cita rasa kuliner Nusantara belum didominasi oleh cabai seperti saat ini. Masakan Indonesia kala itu lebih banyak berwarna kuning karena menggunakan kunyit sebagai bumbu utama. Untuk memperoleh sensasi pedas, masyarakat memanfaatkan berbagai jenis tanaman rimpang (rhizome), salah satunya adalah jahe. Rasa pedas yang dihasilkan dari jahe tidak membakar lidah seperti cabai, melainkan memberikan sensasi hangat dan pedas lembut pada makanan.

Fakta sejarah ini juga diperkuat oleh naskah Kakawin Bhomantaka, yang menyebutkan adanya jenis sambal yang disebut sambal jahe. Hal ini menunjukkan bahwa konsep sambal sudah dikenal sejak masa lampau, meskipun bahan utamanya belum menggunakan cabai seperti yang lazim kita temui saat ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rasa pedas dalam kuliner Indonesia telah mengalami evolusi, dimulai dari penggunaan rimpang seperti jahe, lalu berkembang setelah cabai dikenal secara luas di Nusantara.

Menariknya, sebelum masyarakat Indonesia mengenal cabai (Capsicum spp.) yang berasal dari benua Amerika dan masuk ke Asia Tenggara sekitar abad ke-16 melalui jalur perdagangan Portugis dan Spanyol, masyarakat Jawa Kuno telah mengenal cabya (Piper retrofractum Vahl). Tanaman ini berasal dari genus lada dan keluarga sirih-sirihan, yang memiliki sifat pedas alami seperti rempah. Cabya banyak digunakan sebagai bahan penyedap dan penghangat makanan, serta menjadi bagian penting dalam ritual, pengobatan tradisional, dan masakan sehari-hari.

Menurut Hinzler, penggunaan istilah “sambal” atau “sambel” juga memiliki akar sejarah yang panjang (Hinzler, 2005). Kata ini diyakini berasal dari bahasa Melayu Kuno, yang berarti menumbuk atau menghaluskan bahan-bahan. Proses ini menggambarkan cara tradisional masyarakat dalam mengolah bahan pedas seperti cabya, jahe, atau rempah lainnya untuk menciptakan rasa yang khas. Dengan demikian, sambal pada masa itu tidak hanya sekadar bumbu pelengkap makanan, tetapi juga menjadi cerminan keterampilan kuliner dan pengetahuan lokal masyarakat Indonesia kuno dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk memperkaya cita rasa masakan mereka.

Berdasarkan Forum Komunikasi Kuliner Indonesia, cabai bukanlah tanaman endemik Indonesia (Forum Komunikasi Kuliner Indonesia, 2019). Bahkan, cabai ditelusuri berasal dari Benua Amerika yang dibawa oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 dan disebarkan oleh pelaut Spanyol ke Asia Tenggara pada abad ke-16. Pada akhirnya, cabai berhasil tersebar dengan cepat di berbagai wilayah Nusantara.

Sambal di Indonesia umumnya dibuat dengan menggunakan alat tradisional yang disebut cobek. Cobek berfungsi sebagai wadah untuk menumbuk berbagai bahan sambal seperti cabai, bawang, tomat, terasi, dan garam hingga menghasilkan tekstur yang khas. Alat ini biasanya dipasangkan dengan ulek-ulek (alat penumbuk), keduanya menjadi simbol penting dalam proses pembuatan sambal secara tradisional. Cobek sendiri dibuat dari berbagai bahan, antara lain batu, tanah liat, atau kayu, yang masing-masing memberikan sensasi dan aroma berbeda pada sambal yang dihasilkan. Cobek batu, misalnya, dianggap mampu mempertahankan suhu dingin dan menghasilkan sambal dengan cita rasa lebih segar serta tekstur yang tidak terlalu halus.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, cara pembuatan sambal pun mengalami perubahan. Kini banyak masyarakat yang beralih menggunakan peralatan modern seperti blender atau chopper untuk menghaluskan bahan-bahan sambal dengan lebih cepat dan praktis. Penggunaan alat ini dianggap lebih efisien, terutama di lingkungan perkotaan yang serba cepat. Namun, sebagian orang tetap berpendapat bahwa sambal yang diulek dengan tangan menggunakan cobek memiliki rasa dan aroma yang lebih autentik dibandingkan sambal hasil blender. Proses mengulek secara manual dipercaya dapat mengeluarkan minyak alami dari bahan-bahan sambal sehingga menghasilkan rasa pedas, gurih, dan segar yang khas Nusantara.

Berdasarkan Database Kuliner Indonesia, sebaran sambal di Indonesia terdapat di berbagai pulau dan wilayah, seperti Pulau Sumatera sebanyak 53 ragam sambal, Pulau Jawa sebanyak 111 ragam sambal, Pulau Bali sebanyak 6 sambal, Nusa Tenggara sebanyak 22 ragam sambal, Papua-Maluku sebanyak 5 ragam sambal, Pulau Sulawesi sebanyak 6 ragam sambal, Pulau Kalimantan sebanyak 9 ragam sambal, Pulau Kalimantan sebanyak 9 ragam sambal, dan sisanya tidak diketahui sebanyak 45 ragam sambal.

Data tersebut menunjukkan bahwa sambal menjadi identitas dan kreativitas lokal. Keberagaman sambal Nusantara tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat Indonesia menyukai dan mencintai sambal. Sambal bukan hanya sebagai soal rasa pedas. Setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai sambalnya dengan kekhasannya masing-masing dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang sesuai dengan selera masyarakatnya dan lingkungan sekitar mereka. Setiap daerah memiliki sambal khasnya sendiri—seperti sambal matah dari Bali, sambal ijo dari Minangkabau, atau sambal dabu-dabu dari Manado—yang menunjukkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan bahan-bahan lokal sesuai selera dan lingkungan mereka. Variasi ini menjadi sebuah kebanggaan yang harus terus dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, sambal mampu untuk menjadi bagian penting dari identitas Indonesia dan kebiasaan hidup masyarakat Indonesia. Identitas masyarakat Indonesia tidak hanya di Asia, tetapi mendunia yang dapat menjadikan orang-orang dapat mengenali budaya Indonesia melalui kuliner atau diplomasi budaya (Saniro, 2025). Saniro mengungkapkan bahwa kuliner sebagai salah satu alat diplomasi yang efektif dan efisien dari suatu bangsa (2025).

Tidak hanya sebagai identitas dan diplomasi budaya, sambal memiliki nilai filoofi yang beragam dari setiap wilayahnya. Tentunya, nilai ini berasal dari nenek moyang karena memiliki nilai positif yang terus harus dipertahankan. Contohnya adalah nyeruit di Lampung, botram di Sunda, liwetan di Sunda dan Jawa, dan makan bajamba di Minangkabau. Dalam tradisi tersebut, sambal diletakkan di tengah sebagai simbol kebersamaan, kesetaraan, dan solidaritas. Makan sambal bersama berarti berbagi rasa dan cerita, menjadikan kegiatan makan bukan sekadar memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga memperkuat ikatan sosial.

Kecintaan terhadap sambal juga telah menjadi kebiasaan yang diwariskan turun-temurun. Sejak kecil, masyarakat Indonesia telah terbiasa melihat orang tua menyiapkan sambal di meja makan. Kebiasaan ini terus dilestarikan hingga kini, bahkan diadaptasi dalam gaya hidup modern. Oleh karena itu, sambal bukan hanya pelengkap makanan, melainkan warisan budaya yang hidup dan terus berkembang.

Dengan demikian, alasan masyarakat Indonesia menyukai sambal tidak hanya karena rasanya yang pedas, tetapi juga karena makna budaya, sosial, dan emosional yang terkandung di dalamnya. Sambal menjadi simbol kenikmatan, kebersamaan, dan identitas bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bagi banyak orang Indonesia, “tanpa sambal, berarti belum makan.” Melalui sambal, kita belajar bahwa rasa pedas tidak hanya menggugah selera, tetapi juga menghidupkan kenangan, kebersamaan, serta kebanggaan terhadap akar budaya sendiri. Maka, menjaga dan melestarikan tradisi sambal berarti menjaga jati diri Indonesia yang kaya akan rasa dan makna—sebab bagi masyarakat Indonesia, tanpa sambal, memang belum makan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image