Fenomena Job Hugging di Kalangan Generasi Muda
Politik | 2025-10-14 11:54:00
Oleh Widya Amidyas Senja
Pendidik Generasi
“Di tangan pemuda, masa depan bukan sekadar harapan, melainkan kenyataan yang sedang dibangun”
Generasi muda dikenal sebagai motor penggerak perubahan, penuh ide segar, dan keberanian untuk mengambil risiko. Namun, di tengah iklim ekonomi yang lesu dan ketidakpastian pasar kerja, muncul fenomena job hugging—kecenderungan bertahan pada satu pekerjaan meski tidak sesuai passion maupun perkembangan karier. Hal ini menjadi dilema bagi pemuda: antara memilih stabilitas di tengah badai ketidakpastian, atau berani melompat mencari peluang baru. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan strategi bertahan hidup, tetapi juga potret bagaimana generasi muda menafsirkan arti keamanan, ambisi, dan masa depan dalam dunia kerja yang semakin dinamis.
Job hugging bukan sekadar fenomena psikologis individual (bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan), melainkan simptom sistemik: ketika pasar tenaga kerja tidak menyediakan pekerjaan bermutu dan jaminan sosial memadai, pilihan rasional banyak orang muda adalah “tetap di pekerjaan buruk daripada menghadapi pengangguran.” Keputusan ini muncul dari kombinasi faktor struktural, institusional, kultural, dan psikologis.
Kondisi ekonomi global yang lesu, meningkatnya PHK, serta pasar kerja yang tak bergairah membuat generasi muda terjebak dalam pekerjaan yang sekadar memberi rasa aman finansial. Dilansir dari Forbes, Jumat (10/9/2025), “Tren PHK yang muncul setelah masa pemulihan dari periode Covid 2020, justru memperparah kurangnya keamanan di pasar kerja yang sudah terdampak,” kata Jenifer Schielke, CEO dan salah satu pendiri Summit Group Solutions.
Fenomena ini tak lepas dari gagalnya sistem kapitalisme global dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Penyebab dari terjadinya fenomena ini mengakar, diantaranya :
1. Akar Struktural dan Ekonomi
Secara struktural dan perekonomian, fenomena ini mengarah pada :
• Transformasi ekonomi ke arah unggas finansial dan sektor non-riil. Modal mengalir ke kegiatan spekulatif atau jasa keuangan yang kurang menyerap tenaga kerja dibanding industri riil, sehingga lapangan kerja produktif terbatas.
• Globalisasi & liberalisasi yang tidak diimbangi kebijakan industrialisasi pro-lokal. Akses pasar terbuka tanpa proteksi strategis bisa menghancurkan industri lokal yang belum kompetitif, mengurangi permintaan tenaga kerja domestik.
• Konsentrasi kepemilikan sumber daya. Ketika sumber daya alam dan aset strategis dikendalikan segelintir pihak, multiplier effect untuk penciptaan kerja menurun.
• Kesenjangan antara output pendidikan dan kebutuhan pasar. Kurikulum yang berorientasi sertifikasi bukan penguasaan keterampilan produktif menyebabkan “miss-match” dan underemployment.
2. Akar Institusional dan Kebijakan
Secara institusional negara ini memiliki kebijakan yang menentukan kemana arah perekonomian, fenomena ini disebabkan oleh karena negara mundur dari peran pengelola kesejahteraan dan pencipta lapangan kerja. Privatisasi fungsi publik tanpa mekanisme redistributif melemahkan kapasitas negara untuk menjamin pekerjaan layak. Selain itu karena ketiadaan jaring pengaman sosial yang memadai. Tanpa tunjangan pengangguran, kredit mikro yang adil, atau program jaminan kerja publik, risiko menganggur menjadi beban besar sehingga orang lebih memilih terus bertahan di pekerjaan yang tidak ideal.
3. Akar kultural dan Psikologis
Beberapa sebab terjadinya fenomena ini secara kultural dan psikologis diantaranya :
• Stigma sosial terhadap pengangguran dan tekanan keluarga. Nilai sosial yang menilai keberhasilan dari “memiliki pekerjaan” memaksa generasi muda mengambil jalan aman.
• Resiko-aversion dan beban utang pendidikan. Mahasiswa yang lulus dengan utang atau tanggungan keluarga cenderung menghindari risiko wirausaha atau transisi karier.
• Kehabisan motivasi & skill atrophy. Lama berada di pekerjaan tanpa tantangan menurunkan kompetensi sehingga menjadi semakin sulit keluar dari pekerjaan itu.
Tiga akar penyebab tersebut berdampak terhadap masa depan generasi,, baik dampak pendek maupun dampak Panjang. Secara ekonomi, berdampak pada produktivitas stagnan, inovasi melambat, investasi manusia tidak termanfaatkan. Secara sosial, berdampak pada meningkatnya rasa frustasi, potensi mental-health problems, stratifikasi sosial. Sedangkan pada aspek pendidikan, berdampak pada credential inflation (gelar kehilangan nilai) dan misallocation sumber daya pendidikan.
Dalam Islam, negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab mengurus urusan rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja (Muqaddimah Dustur, Pasal 153). Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam memiliki mekanisme riil untuk membuka kesempatan kerja, di antaranya:
1. Mengelola sumber daya alam untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing.
2. Mendorong industrialisasi dan menghidupkan lahan mati (ihyaul mawat) dengan memberikan tanah produktif kepada rakyat.
3. Memberikan bantuan modal, sarana, dan keterampilan agar masyarakat mampu bekerja dan mandiri.
4. Mengarahkan pendidikan dan pekerjaan dalam bingkai iman, sehingga aktivitas ekonomi tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga bernilai ibadah dengan terikat pada standar halal dan haram.
Islam menawarkan solusi komprehensif agar generasi muda tidak terjebak dalam job hugging. Negara wajib menciptakan lapangan kerja melalui pengelolaan sumber daya yang halal, adil, dan produktif. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus (ra’in) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan mekanisme ini, negara memastikan setiap warga memiliki akses pada pekerjaan yang layak. Pendidikan pun diarahkan untuk melahirkan generasi yang bekerja bukan hanya demi dunia, tetapi juga dengan niat ibadah untuk meraih ridha Allah SWT. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, fenomena job hugging yang menjerat generasi muda dapat teratasi secara mendasar, karena mereka mendapat kepastian lapangan kerja dan motivasi spiritual untuk berkarya.
Wallaahu'alam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
