Jejak Wakaf di Nusantara dan Perkembangannya Sampai Sekarang
Sejarah | 2025-10-04 15:42:39
Sejarah dan Perkembangan Perwakafan di Indonesia
Kalau ngomong soal wakaf di Indonesia, jangan dibayangin sekadar sepetak tanah di depan masjid atau prasasti nama donatur di tembok. Cerita wakaf di Nusantara itu panjang, berlapis, dan melibatkan banyak aktor — pedagang, ulama, penguasa lokal, penjajah, sampai negara modern dan lembaga-lembaga keagamaan kontemporer. Di balik itu semua ada satu benang merah: wakaf selalu jadi cara masyarakat Muslim mengorganisir kepedulian sosial dan menjaga institusi keagamaan-pendidikan secara berkelanjutan.
Di bawah, saya susun perjalanan sejarah itu secara kronologis sekaligus analitis — kenapa wakaf berkembang seperti itu, siapa pelakunya, apa problematikanya, dan bagaimana transformasinya sampai zaman kini.
Masuknya Islam dan akar sosial-budaya wakaf di Nusantara (abad ke-13—abad ke-16)
Masuknya Islam ke kepulauan Nusantara bukan sekadar peristiwa religi; itu proses sosial-ekonomi yang panjang. Pedagang dari Gujarat, Persia, dan Jazirah Arab membawa bukan hanya barang, tapi juga gagasan institusi sosial—antara lain konsep wakaf. Dalam konteks lokal, wakaf mudah “menempel” karena ada kesinambungan fungsi: tanah atau bangunan yang dipersembahkan untuk masjid, pesantren, surau, atau makam pimpinan agama punya signifikansi sosial yang jelas.
Di sini dua hal penting terjadi;
- Pertama, Wakaf untuk pendidikan dan religiositas Pesantren dan surau di Nusantara sering berdiri atas dukungan wakaf — tanah untuk masjid, ruang mengaji, atau hunian guru. Wakaf menjadi mekanisme pembiayaan lembaga pendidikan Islam yang bersifat komunitas, tidak bergantung pada negara.
- Kedua, Wakaf sebagai jaringan kekuasaan lokal Para sultan, kepala adat, dan elite lokal menggunakan wakaf untuk menata legitimasi: mendirikan masjid dan pesantren lewat wakaf memperkuat status politik-religius mereka dan mencipta relasi patronase dengan masyarakat.
Peneliti sejarah Islam di Indonesia seperti Azyumardi Azra menekankan bagaimana jaringan ulama (termasuk hubungan Timur Tengah–Nusantara) memperkuat praktik-praktik keagamaan seperti wakaf. Jadi, wakaf di sini bukan sekadar amal individu, melainkan bagian dari infrastruktur sosial keagamaan yang menopang penyebaran Islam.
Periode kerajaan dan kesultanan: implementasi institusional wakaf (abad ke-15—ke-18)
Seiring terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam (Samudra Pasai, Aceh, Kesultanan Malaka, Demak, Mataram, dll.), wakaf berkembang sebagai instrumen kelembagaan. Beberapa karakter yang menonjol:
- Pertama, Wakaf untuk fasilitas umum (masjid, pasar, jalan, sumur) — bukan hanya untuk ritual religius tapi juga infrastruktur sosial.
- Kedua, Wakaf ahli vs wakaf khairi — ada tradisi mewakafkan untuk keluarga (ahli/dzurri) dan juga untuk kepentingan umum (khairi). Di Nusantara, keduanya ada; pesantren sering didukung wakaf yang peruntukannya jelas untuk pendidikan keturunan dan masyarakat luas.
- Ketiga, Pengelolaan wakaf masih sangat lokal — pengelola (pra-nazhir) biasanya komunitas setempat, kiai, atau pengurus desa.
Secara hukum formal belum ada standar baku; yang mengikat adalah norma sosial, keputusan kepala adat atau pengakuan komunitas. Makanya banyak wakaf di zaman ini jadi institusi yang kuat karena ada dukungan sosial, bukan semata dokumen legal.
Era kolonial; kontrol, birokratisasi, dan implikasi sosial (abad ke-19—awal abad ke-20)
Periode kolonial Belanda jadi titik belok besar. Pemerintah kolonial mulai melihat tanah wakaf sebagai objek administrasi: mereka peduli pada registrasi, kepemilikan tanah, dan kontrol atas sumber daya. Dampaknya:
- Dampak pada Birokrasi: proses pencatatan dan pengurusan wakaf masuk ranah administrasi kolonial, yang seringkali membuat tata kelola lokal jadi rumit. Banyak nazhir tradisional yang tak terbiasa aturan administratif jadi kesulitan.
- Pada Kontrol politik: kolonial melihat institusi keagamaan sebagai potensi pusat perlawanan politik; regulasi jadi salah satu cara mengendalikan pengaruh sosial ulama dan lembaga keagamaan.
- Dalam Transformasi kepemilikan: beberapa bentuk wakaf tradisional berhadapan dengan konsep kepemilikan modern, sertifikat tanah, dan hukum tanah kolonial.
Akibat jangka panjangnya: beberapa aset wakaf menjadi “tersendat” karena masalah legalitas, administrasi, atau dikapitalisasi menurut logika pasar modern. Peneliti sejarah hukum tanah di Indonesia menunjukkan bagaimana ketidakcocokan antara adat/fiqih dan hukum kolonial menciptakan masalah sertifikasi dan legitimasi aset wakaf yang berlanjut ke masa kemerdekaan.
Masa transisi; republik awal sampai awal regulasi nasional (1945—1990an)
Setelah kemerdekaan, negara mulai menata lagi berbagai regulasi soal tanah, agama, dan institusi sosial. Prioritasnya bukan langsung wakaf, tapi stabilitas agraria dan pembangunan. Meski begitu:
- Banyak pesantren dan lembaga Islam yang tetap mengandalkan wakaf untuk bertahan dan berkembang.
- Regulasi awal (peraturan menteri, regulasi daerah) mulai muncul untuk menangani pendaftaran wakaf tanah dan pengelolaan, tapi cakupan masih fragmented.
Sudah terasa: ada kebutuhan untuk kerangka hukum nasional yang konsisten agar wakaf bisa diadministrasikan, dilindungi, dan dimanfaatkan secara produktif.
Titik balik modern; UU No. 41/2004, PP No. 42/2006, dan pembentukan BWI (awal 2000an—2007)
Ini bagian penting buat sejarah wakaf modern di Indonesia. Dua instrumen hukum negara mengubah lanskap:
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf — memperluas definisi wakaf, mengakui wakaf benda bergerak (termasuk uang), mengatur peran nazhir, pendaftaran, dan pengawasan.
- PP No. 42 Tahun 2006 — teknis pelaksanaan UU tersebut.
- Badan Wakaf Indonesia (BWI) — dibentuk sebagai lembaga nasional yang punya peran koordinatif, pembinaan nazhir, dan pengembangan wakaf. (BWI mulai beroperasi dan punya peran besar dalam pendataan, pembinaan, dan inisiasi program wakaf skala nasional.)
Kenapa ini krusial? Karena UU & PP membawa tiga perubahan besar:
- Legal recognition: wakaf bukan sekadar adat/komunitas; ia punya pengakuan negara dan prosedur administrasi.
- Objek wakaf diperluas: dari tanah/bangunan ke uang, saham, hak kekayaan intelektual, dll. Ini membuka ruang inovasi wakaf produktif.
- Institusionalisasi: BWI jadi payung lembaga untuk standarisasi dan pengembangan wakaf secara profesional.
Dokumen UU dan kebijakan inilah yang mulai menghubungkan wakaf dengan pembangunan ekonomi: wakaf bukan sekadar sosial-religius, tapi berpotensi jadi sumber pendanaan jangka panjang untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Inovasi; wakaf uang, wakaf produktif, dan instrumen keuangan syariah (2000-an—sekarang)
Setelah regulasi, yang muncul selanjutnya adalah eksperimen institusional:
- Satu, Fatwa MUI tentang Wakaf Uang (2002) membuka jalan bagi wakaf tunai (cash waqf) yang boleh diinvestasikan selama pokoknya tetap terjaga dan hasilnya dipakai untuk tujuan wakaf.
- Dua, Program-program seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) menjadi contoh bagaimana wakaf uang dikoneksikan ke instrumen pasar modal syariah.
- Tiga, Wakaf produktif: pengelolaan aset wakaf secara bisnis (mis. ruko wakaf yang disewakan, pertanian wakaf, rumah sakit wakaf) agar hasilnya sustainable.
- Empat, Digitalisasi wakaf: platform crowdfunding wakaf, e-form AIW (akta ikrar wakaf) elektronik, dan kampanye wakaf online membuat partisipasi publik makin luas — bahkan orang dengan dana kecil bisa ikut berwakaf.
Akademisi seperti Monzer Kahf menyatakan bahwa wakaf di era modern harus difungsikan sebagai endowment fund (dana abadi) yang dikelola profesional untuk memaksimalkan manfaat sosial tanpa merusak prinsip syariah.
Problem-problem struktural yang masih mengintai
Masa lalu yang panjang dan proses modernisasi membawa masalah baru yang butuh perhatian serius:
- Masalah Aset wakaf yang terlantar: banyak tanah wakaf yang tidak produktif (kosong, tidak dipelihara, atau dipakai non-optimal).
- Masalah Kapasitas nazhir: manajemen aset wakaf butuh kapasitas profesional (akuntansi, hukum, investasi). Banyak nazhir tradisional belum siap.
- Problem Transparansi dan akuntabilitas: kasus-kasus penyalahgunaan, laporan tak jelas, atau kecurigaan publik menghambat kepercayaan donatur.
- Problem Konflik kepemilikan: bekas praktik adat/kolonial membuat beberapa aset bermasalah legalitasnya.
- Masalah Literasi wakaf: publik masih sering salah paham (mis. wakaf hanya untuk orang kaya atau hanya tanah masjid).
Peluang strategis: arah kebijakan dan praktik yang menjanjikan
Meski ada masalah, transformasi wakaf membuka peluang besar:
- Wakaf sebagai instrumen pembiayaan pendidikan & kesehatan — banyak universitas dan rumah sakit besar dunia tumbuh dari wakaf. Indonesia punya potensi besar bila aset wakaf dikelola baik.
- Wakaf untuk pemberdayaan ekonomi — wakaf produktif bisa jadi modal kerja mikro, pembiayaan usaha sosial, atau modal bergulir untuk UMKM.
- Green waqf / wakaf untuk lingkungan — konversi wakaf untuk tujuan pelestarian lingkungan, reboisasi, atau energi terbarukan adalah gagasan yang relevan sekarang.
- Digital dan inklusif — platform wakaf online mempermudah partisipasi generasi muda dan masyarakat urban; ini penting untuk memperluas basis wakif.
Refleksi; apa arti sejarah perwakafan bagi kita sekarang?
Kalau kita tarik garis besar: wakaf di Indonesia bermula dari kebutuhan komunitas untuk mendanai institusi sosial-keagamaan, lalu bertahan dan adaptif menghadapi arus sejarah (kolonialisme, modernisasi hukum, dan marketisasi). Perubahan terbesar terjadi ketika negara memberi kerangka hukum modern (UU 2004) — itu memformalkan wakaf sekaligus membuka peluang inovasi.
Tapi hati-hati: legalisasi dan komersialisasi mesti seimbang dengan nilai-nilai moral wakaf: niat yang ikhlas, perlindungan hak penerima, dan orientasi pada kemaslahatan. Tantangan praktis sekarang adalah menjembatani pengalaman lokal (kearifan komunitas), kapasitas manajerial modern, dan tanggung jawab negara agar wakaf benar-benar bermanfaat luas dan berkelanjutan.
Bacaan & Referensi (untuk pendalaman)
- Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (beberapa tulisan tentang peran ulama dan jaringan dakwah).
- Taufik Abdullah, kajian tentang penyebaran Islam di Nusantara dan lembaga-lembaganya.
- Monzer Kahf, Waqf: A Historical and Juristic Perspective (analisis wakaf modern dan konsep endowment).
- Khoiruddin Nasution, “Perkembangan Wakaf di Indonesia: Dari Fiqh Klasik ke Regulasi Modern”, Al-Mawarid Journal of Islamic Law (2018).
- Badan Wakaf Indonesia (BWI), Buku Pintar Wakaf (panduan praktis, data dan kebijakan).
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang (2002).
- Literatur sejarah: karya M. C. Ricklefs dan studi-studi sejarah lokal tentang pesantren dan wakaf di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
