Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ica Alfiatun Fadilah

Gagalnya Program Pemerintah dan Krisis Kepercayaan Publik di Balik Kasus Keracunan MBG

Hukum | 2025-09-27 12:05:55
Dokumentasi pribadi/Foto by: Siti Masripah. “Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah”

Program bantuan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam masa pemerintahannya 2024-2029, awalnya diharapkan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Namun, alih-alih membawa manfaat, program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru menimbulkan polemik baru.

Kasus keracunan massal yang terjadi di sejumlah daerah menjadi alarm keras, ada yang tidak beres dalam tata kelola program. Bukannya memperkuat kepercayaan publik, MBG malah menyeret pemerintah ke jurang krisis legitimasi. Terlebih, masalah ini tak kunjung menemukan ujung penyelesaiannya. Pertanyaan yang kini menggema di ruang publik adalah di mana tanggung jawab negara?

Program MBG sejatinya digagas untuk menjawab persoalan gizi anak Indonesia yang selama ini terpuruk. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menunjukkan angka stunting nasional berada di kisaran 19,8 persen.

Pemerintah kemudian menjanjikan MBG sebagai terobosan untuk memastikan asupan gizi seimbang, khususnya bagi pelajar di sekolah dasar dan menengah. Skemanya, satu porsi makan bergizi setiap hari disiapkan oleh penyedia lokal, dengan dukungan anggaran dari pemerintah pusat. Ide ini terdengar ideal. Tapi, idealisme tanpa pengawasan hanya melahirkan ilusi.

Kasus keracunan makanan yang terjadi di beberapa wilayah seperti di Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bengukulu hingga Sulawesi Tengah menjadi bukti nyata lemahnya kontrol pelaksanaan di lapangan. Alih-alih membawa gizi, menu yang disajikan justru meracuni ratusan siswa. Investigasi Dinas Kesehatan setempat menemukan penyebab utama adalah pengolahan makanan yang tidak higienis, keterbatasan tenaga ahli gizi, dan lemahnya pengawasan terhadap pihak penyedia.

Namun, hingga kini, tidak ada langkah tegas dari pemerintah pusat untuk mengevaluasi total sistem penyediaan makanan ini. Semua berjalan seperti biasa, seolah tragedi itu hanya salah teknis, bukan kesalahan sistemik.

Dalam kacamata politik kebijakan publik, persoalan MBG bukan sekadar masalah teknis di ruang makan sekolah. Ia mencerminkan defisit akuntabilitas pemerintah. Program ini diluncurkan dengan gegap gempita, tetapi tanpa desain pengawasan yang kuat. Pemerintah daerah dibiarkan menafsirkan sendiri petunjuk pelaksanaan, sementara koordinasi lintas sektor lemah. Tak heran, setiap daerah mengelola MBG dengan standar berbeda. Padahal, program makan gratis menyangkut aspek sensitif tentang kesehatan anak. Kecerobohan sedikit saja bisa berakibat fatal. Maka wajar bila publik kini meragukan keseriusan pemerintah dalam memastikan keselamatan penerima manfaatnya.

Krisis kepercayaan ini semakin dalam karena pemerintah terkesan menghindar dari tanggung jawab substantif. Alih-alih mengevaluasi struktur kebijakan, narasi resmi justru sibuk menenangkan publik dengan janji “peningkatan koordinasi”. Padahal, publik tidak butuh jargon, tapi kepastian dan transparansi. Di era keterbukaan informasi, masyarakat kian kritis terhadap janji manis tanpa tindakan konkret. Setiap insiden keracunan yang muncul lagi dan lagi hanya memperkuat persepsi bahwa MBG adalah program politik, bukan kebijakan sosial berbasis kebutuhan rakyat.

Fakta bahwa kasus-kasus tersebut tak kunjung selesai memperlihatkan absennya mekanisme penegakan standar yang konsisten. Harusnya, sejak kasus pertama muncul, pemerintah segera membentuk tim independen lintas kementerian seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk memetakan risiko, mengaudit rantai distribusi, dan memastikan pemenuhan standar gizi. Tapi langkah itu tak pernah benar-benar terjadi. Akibatnya, evaluasi parsial tanpa koordinasi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Program terus berjalan, namun dengan risiko berulang yang sama.

Ironisnya, kritik publik yang seharusnya dijadikan momentum perbaikan justru sering dianggap serangan politis. Padahal, kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah hanya bisa pulih bila ada keberanian mengakui kesalahan dan memperbaikinya secara terbuka. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa nyawa dan kesehatan anak-anak Indonesia jauh lebih berharga dari sekadar keberlanjutan program politik.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan, kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai. Sekali rusak, sulit diperbaiki. Ketika masyarakat mulai meragukan kesungguhan pemerintah menjaga keselamatan warganya, itu bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis moral dan legitimasi. Program seideal apa pun akan kehilangan makna jika publik tak lagi percaya. Apalagi jika masalahnya terus berulang, tanpa ada penyelesaian nyata.

Kini, tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Evaluasi program ini tak bisa berhenti pada urusan mengganti menu atau penyedia jasa. Yang dibutuhkan jauh lebih mendasar adalah keberanian pemerintah untuk meninjau ulang arah kebijakannya sendiri. Transparansi mesti jadi pijakan utama mulai dari audit anggaran, pelibatan ahli gizi independen, hingga membuka ruang bagi partisipasi publik.

Lebih dari itu, harus ada jaminan bahwa setiap rupiah anggaran benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup anak, bukan sekadar memperindah laporan tahunan.

Pada akhirnya, MBG semestinya bukan sekadar program gizi, tapi simbol keseriusan negara melindungi generasi penerusnya. Jika kasus keracunan terus terjadi tanpa penyelesaian, maka publik berhak menyimpulkan, bukan hanya dapurnya yang kotor, tapi juga sistemnya. Pemerintah boleh berjanji tentang kesejahteraan, tapi janji itu hanya berarti jika tidak meninggalkan rasa getir di lidah rakyatnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image